AEONIAN [Completed]

By wordsbytata

27.4K 3.9K 1.6K

Hwang Jian tidak pernah mengharapkan cinta yang sempurna sementara kisahnya dimulai dari benang kusut yang ta... More

Introduction: Aeonian
00] Prologue
01] Someone To Rely On
02] Feels Different
03] Each Other's Arms
04] If Only
05] I Am Overboard
06] Pretending
07] Our Feeling
08] The Two Men
09] Uncontrollable Desire
10] Cigarettes And You
12] Guarantee
13] Jealousy
14] The Selfish Way
15] We're Going Crazy
16] Locked Heart
17] Full of Scars
18] Between You and Her
19] It's a Mess
20] Whose?
21] The News
22] Separated
23] The Memory of That Day
24] Can't I just Stay Here?
25] My Immortal
00] Epilogue: Eternal
Aeonian's Side Story
Aeonian's Side Story II
Aeonian II : F a i t h
Aeonian II : E f f o r t
Aeonian II : U s
Aeonian II : P a r a d i s e
Aeonian II : F i g h t
Aeonian II : M a k e u p
Aeonian II : H o n e y m o o n
Aeonian II : M o m e n t
Aeonian II : H a p p y e n d i n g ?
Aeonian II : Preview
Pre-Order Aeonian II
Aeonian II : Preview
Promo E-book!

11] Nobody Knows

743 92 40
By wordsbytata

"But we know this, we got a love that is hopeless."

Bab 11

"SAMPAI kapan kau mau mempertahankan keegoisanmu?" Entah kenapa, kalimat tersebut terdengar sangat menyebalkan dan menyudutkan posisinya. Jeon Jungkook mendesah pelan, mengacak surainya selama beberapa saat sebelum menengadah guna mempertemukan iris kelamnya dengan sepasang netra teduh milik Bae Jena.

Suara rintik hujan masih menemani suasana makan malam antara ibu dan anak tersebut.

"Ibu menyuruhku datang hanya untuk mengatakan ini?" tanya Jungkook, setengah kesal. Jena memutar bola matanya, sejenak mengucapkan terima kasih saat bibi Im—pelayan di rumah tangga datang membawa buah sebagai makanan penutup.

"Beberapa hari yang lalu, Jihyo berkunjung ke sini." Jena mengambil napas sesaat, menjeda, lalu melanjutkan, "Katanya kau tidak pulang hanya karena hobi balapan liarmu itu."

"Jihyo mengadu padamu?" Jungkook seperti tidak terima dengan kenyataan tersebut. Ia paling tidak suka dengan sikap mengadu seperti itu. Lagipula, Jihyo mengatakan bukan masalah jika Jungkook masih sering melakukan hobi balapannya. Namun kenapa gadis itu justru bertindak sebaliknya di belakang Jungkook? Kenapa tidak mengatakannya secara langsung bukan malah mengadu pada Jena.

"Dia hanya mengutarakan isi hatinya. Berhenti melakukan balap liar, Jungkook. Kau punya istri sekarang. Dan tidak ada menunda anak. Ibu mau secepatnya Jihyo mengandung anakmu." Jadi ini alasan Jena memaksanya datang pulang kuliah? Bahkan terpaksa makan malam bersama di rumah Jena. Padahal ia sudah memiliki janji lebih dulu dengan Jian.

"Kenapa jadi anak? Aku belum ingin memiliki anak, Bu. Tidak akan." Pria Jeon itu bersunggut kesal. Tindakkannya itu sontak saja mendapat pelototan tajam dari sang ibu.

"Kau tidak lupa apa alasanku menerima permintaan Hwang agar kau menikahi putrinya, bukan?" Jena menukas tajam sementara Jungkook semakin frustasi dibuatnya. Pria Jeon tersebut lantas meneguk segelas air putih di hadapannya. Sial. Dia tidak ingin memiliki anak. Demi Tuhan, tidak sekarang. Lagipula... mana mungkin ia melakukannya pada Jihyo sementara hatinya sepenuhnya milik Jian.

"Tapi Bu, aku tidak—" Ucapannya terhenti manakala terdengar suara tawa seorang wanita disusul dengan presensi Jeon Joonki dan wanita muda—yang tak pernah Jungkook ingin ketahui namanya tersebut, melangkah melintasi dapur sebelum menapaki kaki pada undukkan anak tangga. Mengabaikan Jena dan Jungkook yang mengamati dari kursi masing-masing. Kesialan macam apa yang tengah menimpanya malam ini sehingga harus menyaksikan kebrengsekkan Jeon Joonki tepat di depan matanya. Memuakkan.

"Apa setiap hari kau membiarkannya membawa jalang itu keluar-masuk rumah ini, Bu?" Jungkook bertanya malas. Bae Jena berusaha menebarkan senyum tipis, senyum kepalsuannya.

"Biarkan saja. Sekarang, dengarkan dua permintaanku. Kau harus menurutinya." Jena mengalihkan perbincangan. Bibi Im kembali datang, membawa obat-obatan milik Jena yang setiap hari harus diminum tanpa terlewati.

"Apa?" tanya Jungkook, berubah lembut. Mendadak hatinya terasa patah dan terluka. Menyaksikan bagaimana sang ibu yang bersikap seolah apa yang dilakukan Joonki bukanlah apa-apa. Seakan wanita yang tak berdaya di atas kursi rodanya tersebut sudah sepenuhnya menerima takdir hidupnya sendiri. Tidak mengeluh atas pengkhianatan terang-terangan yang dilakukan oleh Joonki.

"Seburuk apapun perlakuan Ayahmu, jangan lakukan apapun untuk menjatuhkannya. Dia sudah sejak lama menderita selama hidup denganku. Kedua, jangan sakiti Jihyo, seberat apapun kondisi kalian."

---

Jian sedang bergelung malas di sofa dengan televisi menyala saat suara rintik hujan mulai terdengar mengguyur permukaan tanah. Sejenak, gadis itu melirik jam yang telah menunjukkan nyaris pukul duabelas malam. Ayah dan ibu sudah masuk ke kamar setelah selesai makan malam sementara dirinya dan Jihyo menghabiskan waktu di ruang keluarga dengan dua kegiatan yang berbeda. Jihyo sibuk mengerjakan tugas akhir dengan laptop menyala di atas meja dan Jian tidak berhenti mengganti channel televisi mencari drama yang tayang.

Sebenarnya, sedikit bertanya-tanya ke mana perginya Jungkook. Akan tetapi, Jian tidak mungkin mengundang kecurigaan dengan bertanya pada Jihyo. Gadis itu pun malas mengirimi Jungkook pesan singkat. Takut nanti pemuda itu menjadi besar kepala dan berpikir Jian sangat tidak bisa berjauhan darinya.

"Kau tidak lelah, Jiy?" tanya Jian heran. Pasalnya, entah sudah berapa lama kembarannya itu berkutat di depan laptop dengan tumpukkan buku referensi tugas akhirnya.

"Besok aku bimbingan." Jihyo menyahut, sejemang merentangkan kedua tangannya letih. Jian mengangguk. Patut diacungi jempol tingkat kerajinan adiknya itu. Berbeda sekali dengan dirinya yang masih belum beranjak dari bab dua tugas akhirnya.

"Jangan terlalu lelah. Ibu dan Ayah bisa memarahimu," kata Jian mengingatkan. Jihyo hanya mengangguk, ikut melirik jam di dingin sebelum mendesah kecewa.

"Jungkook benar-benar lupa waktu kalau sudah berkumpul dengan geng motornya." Keluhan itu terdengar menyapa rungunya. Diam-diam Jian merutuki sikap keterlaluan pemuda Jeon tersebut. Sudah dibilang, jangan terlalu sering pulang malam, tetap saja tidak mendengarkan. Katanya sih, hanya itu satu-satunya cara melampiaskan kepenatannya.

"Kau tahu sendiri secinta apa dia pada gengnya itu." Berusaha terdengar biasa saja, Jian harap Jihyo menganggapnya sama. Sekali lagi, ia tak ingin memicu kecurigaan Jihyo jika berkata kelewat batas.

"Omong-omong Ji, menurutmu, apa pria suka jika kita mengirimkan foto-foto seksi?" Tiba-tiba saja Jihyo menyudahi kegiatannya, mematikan laptop sebelum bergabung dengan Jian di atas sofa. Bergelayut manja di lengan sang kakak yang hanya berbeda dua menit lebih tua darinya. Jian jadi menyesal mengingatkan Jihyo untuk tidak terlalu larut dalam pekerjaannya.

Gadis itu tentu ingat kejadian beberapa minggu lalu, di mana Jihyo mengirimkan foto seksi dirinya dalam balutan lingeri seksi kepada Jungkook.

"Tergantung," sahut Jian seadanya. Jihyo terdengar mendengus sebelum kembali melempar tanya. "Menurutmu Jungkook suka tidak kalau aku mengirim foto-foto seksi?"

Hampir saja tersedak oleh air liurnya sendiri, Jian berusaha keras mengontrol ekspresi wajahnya. Terbayang-bayang dengan percintaan manisnya dan Jungkook di dalam kepala. Terbesit sedikit rasa bersalah walau Jian tahu, perasaan bersalah itu tak berarti apapun sebab dirinya telah menjadi sosok bajingan yang menginginkan suami adiknya.

"Kenapa harus lewat foto? Kau bisa menunjukkannya secara langsung di kamar setiap malam." Sebenarnya, Jian hanya ingin memancing. Ia ingin tahu apakah ucapan Jungkook padanya sungguh-sungguh: mengenai pemuda Jeon itu yang tidak pernah menyentuh Jihyo walaupun sudah terhitung beberapa bulan keduanya menikah.

"Pernah sekali. Dia hanya menatapku tanpa ekspresi sebelum memutuskan tidur. Apa mungkin aku tidak seksi?"

"Kau seksi. Siapapun tahu kau memiliki tubuh ideal." Sangat cepat, Jian menyahuti keluhan Jihyo.

"Mungkin aku harus memulainya lebih dulu supaya dia mau bercinta denganku." Jihyo berucap sedih sedangkan Jian menahan napasnya. Tidak sanggup menanggapi lebih jauh. Bagaimana jika Jihyo benar-benar melakukannya kemudian Jungkook tergoda dan tidak bisa menolak? Lalu bagaimana dengan nasibnya yang sudah terlanjur lebih dulu menyerahkan segalanya kepada Jungkook? Astaga Jian, memang apa yang kau harapkan? Kau yang memutuskan untuk menyerahkan diri. Batinnya mengingatkan telak.

Manakala kedua gadis itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing, terdengar suara derap kaki yang mendekat. Lampu ruang keluarga masih menyala, mendadak padam dalam hitungan detik. Tak lama setelah itu, lagu selamat ulang tahun mengudara, bersamaan dengan lampu yang kembali menyala. Dua sosok pemuda dengan masing-masing kue di tangan, kini berdiri menghampiri Jian dan Jihyo. Siapa lagi kalau bukan Jungkook dan Jimin.

"Selamat ulang tahun." Ucapan itu terlontar dari kedua pria yang selalu memberi kejutan di hari ulang tahun gadis kembar itu. Tidak pernah absen setiap tahunnya. Jian hanya mampu menahan senyum getir tatkala Jungkook menghampiri Jihyo dengan kue di tangan sementara Jimin mendekat padanya.

"Tiup lilinnya, Jia." Pemuda Park itu berucap lembut. Jian tersenyum, memejamkan mata untuk berdoa sebelum meniup lilin menyala di atas kue.

"Terima kasih, Sayang!" Jihyo memekik girang, setelah Jungkook meletakkan kue di meja, gadis itu langsung memeluknya. Memberi ciuman singkat yang terlihat sangat manis bagi sepasang pengantin baru.

Jian mengalihkan pandangan, masih mempertahankan senyumnya. Ditatapnya Jimin yang tengah memotong kue. "Mana kado untukku, Park Jimin?"

"Tentu saja di sini, Nona Hwang." Jimin menyahut sembari menunjuk dadanya dengan kerlingan jail. Tingkah polanya itu sontak mendapat tatapan geli dari Jihyo dan Jian. Tidak perlu ditanya bagaimana ekspresi Jeon Jungkook. Wajahnya itu sudah seperti hendak mengibarkan bendera perang.

"Mau minum untuk merayakan?" tanya Jungkook menunggu persetujuan. Ketika Jimin dan Jian mengangguk, pemuda itu segera mengambil persediaan wine-nya di dapur.

"Ini untuk kekasih tersayangku. Dan ini untuk Jihyo manisku," ujar Jimin seraya memberi dua kotak berukuran sedang kepada Jian dan Jihyo. Kedua gadis itu menerima dengan senyuman lebar.

"Thanks, Jim. I love it!" seru Jihyo tatkala membuka hadiah dari Jimin. Sebuah jam tangan seharga puluhan juta. Jian mengerucut saat hanya mendapat gantungan babi kecil.

"Curang! Kau mengejekku seperti anak babi, kan?" tuding si gadis, tepat saat Jungkook datang dengan dua botol wine di tangan.

"Tidak, Sayang. Hadiah sebenarnya ada di sini," sahut Jimin sembari mengeluarkan seuntai kalung berlian dengan cincin yang menggantung dari dalam saku jaketnya. Sederhana, tetapi tampak sangat mahal dan mewah.

Jian hanya mampu terpaku saat Jimin berdiri dan memasangkan kalung tersebut di lehernya. Senyuman pemuda Park itu tidak luntur sama sekali. Tangannya secara spontan menyentuh kalung tersebut, menatap Jimin dengan pandangan yang sulit diartikan. Tidakkah hadiah ini terlalu berlebihan?

"Terima kasih, Jim. Such a beautiful necklace." Nyatanya, hanya itu kata-kata yang bisa Jian berikan sebagai tanda terima kasih. Netranya melirik Jungkook yang mematung tanpa berkata apa-apa. Pria Jeon itu pun tidak berniat memberi hadiah kepadanya dan Jihyo. Justru sibuk membuka tutup botol wine dan menyiapkan seloki.

"Kau tidak memberiku hadiah?" protes Jihyo sembari mengerucutkan bibirnya.

"Ada di kamar." Jungkook menyahut.

Sebisa mungkin, Jian mencoba untuk tidak peduli dengan konversasi antara dua manusia tersebut. Dirinya lebih baik berbincang dengan Jimin ditemani segelas wine yang mengosongkan kepala.

"Jim!" gerutu Jian mengingatkan sebab pemuda Park itu nyaris kehilangan kesadarannya kendati baru meneguk beberapa kali. Ingat kan kalau toleransi Jimin terhadap alkohol itu payah sekali? Tidak seperti dirinya dan Jungkook.

"Aku mengantuk. Kalian berdua lanjutkan saja," tutur Jihyo tatkala menyadari seberapa mabuknya Jimin di sofa. Jihyo tidak minum. Lebih tepatnya, berhenti minum. Dahulu, gadis itu kuat sekali minum, tetapi mulai beberapa bulan belakangan ini, Jihyo terpaksa berhenti.

"Koo, ayo tidur." Entah untuk keberapa kalinya Jian mendengar rengekkan manja Jihyo pada Jungkook malam ini. Rasanya memuakkan. Namun lagi-lagi, Jian tak mampu bertingkah banyak. Melakoni perannya dengan begitu apik kendati hatinya nyaris terbakar oleh rasa cemburu.

"Kau duluan. Aku harus membawa Jimin ke kamar tamu," sahut Jungkook melirik Park Jimin yang sepenuhnya kehilangan kesadaran. Selalu seperti itu. Jika mereka berempat mabuk, pasti Jimin menjadi yang pertama kalah.

Jihyo mengangguk sebelum beranjak pergi. Meninggalkan Jian dan Jungkook dalam kecanggungan luar biasa. Gadis Hwang itu lantas membereskan sisa makanan dan minuman mereka, membawanya ke dapur. Mencoba mengabaikan Jungkook yang Jian tahu sedang mengawasi pergerakkannya.

"Jia." Hampir saja gadis itu menjatuhkan gelas saat merasakan sepasang lengan kekar Jungkook memeluknya dari belakang. Mendadak tubuhnya tak bisa bergerak barang secenti. Stagnan. Jantungnya menggila, sebagian merasa gugup oleh pelukkan Jungkook, sisanya ketakutan jika Jihyo ataupun Jimin memergoki mereka.

"Jeon, lepas. Kau cari mati?" Terdengar helaan napas Jungkook yang kecewa. Lelaki itu melepas dekapannya, memasukkan sesuatu ke dalam saku piama Jian. Tersenyum manis.

"Selamat ulang tahun." Bisikkannya terdengar sangat manis dan memabukkan pada heningnya malam. Jian merogoh saku piyamanya, merasakan benda yang terasa familiar. Sebuah cincin.

"Jeon—"

"Harus dipakai. Mengerti, hm?" sela lelaki itu masih menampilkan senyumnya. Jian turut menuai senyum. Mengangguk. Namun, belum juga detak jantungnya berubah normal, pergerakkan Jungkook selanjutnya berhasil melumpuhkan total kaki Jian di bawah pijakkannya. Lelaki itu menarik tubuhnya mendekat, mengikis jarak sebelum melumat lembut bibirnya. Memeluk pinggangnya erat. Ciuman Jungkook bagai ekstasi jenis baru untuk Jian. Candu sekali sampai Jian tidak ingin berhenti kalau saja tidak mengingat di mana mereka berada sekarang.

Sensasinya benar-benar gila.

Saat dua labium itu masih memangut dalam, terdengar suara derap langkah memasuki dapur. Jian segera melepaskan diri, mencoba mengatur deru napas juga detak jantungnya yang tak karuan.

"Koo, bisa tolong ambilkan kotak obat?" Jihyo datang dengan tissue yang menyumpal lubang hidungnya. Tissue yang bahkan nyaris berubah warna menjadi merah.

Jian berusaha menyibukkan diri dengan berdalih sedang mencuci piring sementara Jungkook memasukan kue ke dalam lemari pendingin.

"Jiy? Kau baik-baik saja?" Jian berusaha keras untuk tidak terganggu oleh rasa khawatir dalam nada suara Jungkook saat bertanya. Gadis itu ikut memandang Jihyo yang mimisan.

"Tidak apa, tolong kotak obatnya, Koo." Si gadis tersenyum. Jian mengigit bibir bawahnya, mendadak terserang rasa bersalah yang teramat dalam. Apa yang baru saja ia dan Jungkook lakukan benar-benar brengsek dan tak termaafkan. Jian tahu itu. Sepenuhnya sadar seberapa besar dosanya kepada Jihyo yang memiliki hati selembut sutra.

"Kembali ke kamar, dan tunggu aku." Setelah menyuruh Jihyo kembali ke kamar, Jungkook sama sekali tak mengalihkan atensi padanya. Jian tersenyum pias. Betapa cemasnya lelaki Jeon itu mencari kotak obat sebelum akhirnya beranjak pergi menyusul Jihyo ke kamar mereka. Meninggalkan Jian dengan kepingan hatinya yang kembali hancur tanpa bisa dicegah.

---

"Apa yang kau lakukan seharian ini? Berapa kali kuingatkan untuk tidak terlalu lelah dan banyak beraktivitas?" Jungkook berujar dengan ekspresi datar ciri khasnya begitu selesai membantu menghentikan aliran darah yang keluar dari hidung gadis itu. Membuang sisa tissue ke dalam tempat sampah.

"Aku hanya mengerjakan tugas akhir. Besok ada bimbingan, Koo." Jihyo menundukkan kepala. Jungkook tahu, gadis itu sedang berusaha merajuk dan menghentikan dumalannya.

"Tidak harus seharian penuh kan? Sekarang istirahat, Jiy." Si Jeon menyahut, masih mempertahankan suara datarnya. Lelaki itu lekas berganti pakaian dengan celana tidur dan kaus lengan pendek. Menyalakan laptopnya sementara Jihyo merebahkan diri di ranjang.

"Koo, hadiahku mana?" tanya Jihyo, lebih mirip cicitan burung kecil. Jungkook menahan tawanya. Mengambil sekotak hadiah dan memberikannya pada Jihyo. Sepasang anting berlian.

"Tidak suka?" Jungkook melempar tanya ketika tanpa sengaja menangkap raut kecewa dari istrinya itu.

"Suka, kok."

"Kau mengharapkan apa?" kata Jungkook, memusatkan seluruh atensinya pada Jihyo. Sebenarnya, sebagian kecil hatinya masih memikirkan Jian yang terpaksa ia tinggalkan begitu saja di dapur. Lihatlah seberapa bajingannya Jungkook saat ini.

"Kupikir kau akan mengajakku berlibur. Kau tahu, aku sangat ingin berlibur berdua denganmu sebelum—"

"Ke mana? Kau ingin ke mana?" potong Jungkook kelewat cepat. Jihyo menahan senyum, memainkan jemarinya sendiri. "Ke mana pun. Tidak apa walau hanya di Korea, yang penting bersamamu."

Jungkook mengangguk, mengalihkan kembali atensinya pada layar laptop di hadapannya. Merasa diabaikan oleh Jungkook, Jihyo kemudian berusaha memejamkan mata untuk terlelap. Menghalau segala perasaan risau dalam benaknya. Membiarkan Jungkook menyelesaikan apa yang tengah lelaki Jeon itu kerjakan sementara dirinya berkelana ke alam mimpinya.

Ketika jarum jam nyaris menyentuh angka dua dini hari, Jungkook baru benar-benar menyelesaikan tugas kuliahnya. Lelaki itu duduk di tepi ranjang. Memandangi wajah pulas Jihyo yang terlelap di balik selimut. Menghadap ke arahnya. Jungkook tahu, sudah seberapa banyak ia menyakiti hati gadis di hadapannya ini, tetapi bukan hanya Jihyo... Jungkook pun sadar betul bahwa ia telah melukai dua hati perempuan dalam hidupnya. Jian dan Jihyo. Hubungan ini, seperti kubangan hitam yang menjerat semakin dalam. Tidak bisa keluar untuk berhenti atau sekadar kabur sementara waktu. Entah sampai kapan, Jungkook tidak tahu.

Merebahkan diri di ranjang dengan posisi membelakangi Jihyo, lelaki Jeon itu hampir kehilangan napasnya sendiri saat merasakan sepasang lengan hangat Jihyo memeluknya dari belakang. Sejak kapan gadis itu terjaga?

"Jiy." Jungkook mencoba untuk menjauhkan diri, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, dekapan itu kian mengerat. Disusul dengan kecupan-kecupan kecil di punggung hingga merambat ke bahunya.

"Koo, bisakah kita melakukannya? Aku sangat menginginkanmu. Aku ingin memilikimu seutuhnya, Koo...." Entah sudah seberapa kakunya tubuh Jungkook sekarang. Lidahnya mendadak kelu, tak mampu mengucapkan sepatah kata.

"Jiy, kurasa aku tidak bisa." Begitu kejam penolakkan itu terlontar dari bibirnya. Jungkook bahkan tidak menyadari bahwa Jihyo berkaca-kaca menahan tangis di belakang tubuhnya.

"Aku tidak akan memaksamu lagi tentang anak. Ak-aku hanya ingin kita melakukannya seperti pasangan pada umumnya, Koo."

"Jihyo," bisiknya. "Tidak apa, kau tidak harus mencintaiku jika itu yang kau takutkan."

Jungkook benar-benar tidak bisa memproses segalanya dengan baik. Yang terjadi selanjutnya lebih mengejutkan. Ia membiarkan Jihyo memeta seluruh tubuhnya dengan kecupan ataupun sentuhan gadis itu. Ketika bibir itu menyentuh, mengecup, memberi sentuhan, hanya Jian yang Jungkook pikirkan. Janji mereka, terpaksa sirna oleh desakan gadis yang kini berada di atasnya.

Jihyo sayu, berantakkan, bergerak acak di atasnya seolah-olah ini bukan yang pertama baginya. Jungkook mencoba keras tetap pada kewarasannya. Mengalihkan pandangan saat desakan itu kian melambung menghampirinya. Tangannya terulur, menahan gerakkan Jihyo yang semakian tak karuan mencari nikmatnya. Berusaha melepaskan diri, tetapi Jihyo mengabaikannya. Membungkamnya dengan ciuman saat dirinya datang di dalam. Apa yang baru saja Jihyo lakukan melanggar perjanjian mereka. Gadis itu baru saja membohonginya. Menjebaknya. Dan Jungkook bahkan tidak tahu, Jian tanpa sengaja berdiri di ambang pintu kamarnya dengan tangan gemetar juga hati yang patah. 





***

Wow, enaknya Jungkook abis dapet Jian, dapet Jihyo juga :)

Terima kasih banyak buat kalian yang mau baca cerita absurd ini, bahkan masukin cerita ini ke reading list /mengsedih di pelukan Jungkook/

Ayo vote dan komen, biar aku semangat upnya hehe.

MLEYOT GAK? MLEYOT GAK? MLEYOT LAH! MASA ENGGAK. /mengleyot bersama ami lainnya/

Continue Reading

You'll Also Like

218K 19.7K 33
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
63.3K 8.4K 92
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading💜
55.6K 5.1K 14
[FOLLOW SEBELUM BACA] Brothership, Harsh words, Skinship‼️ ❥Sequel Dream House ❥NOT BXB ⚠️ ❥Baca Dream House terlebih dahulu🐾 Satu atap yang mempe...
84.6K 6.5K 47
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote