The WIP

By zzztare

2.6K 630 653

[First draft; completed] [TOP 1 MWM NPC 2021] [R15+] [Other Side Series#1] Leana hanya ingin menemukan Fuma... More

Sebelum Bulan Mei
Prolog
1. Fuma
2. Anyelir
3. Sekretaris
4. Mimpi
5. Ujian
7. Petunjuk
8. Curiga
9. Obrolan
10. Rencana
11. Kesepakatan
12. Zleth
13. Keberangkatan
14. Perjalanan
15. Hari Pertama
16. Malam
17. Suram
18. Hari Kedua
19. Diri yang Lain
20. Teka-Teki
21. Hutan
22. Rapat
23. Mata-Mata
24. Keributan
25. Dua Jam
26. Kisah Anyelir
27. Komunikasi
28. Emosi
29. Kabut
30. Mewujud
31. Melanjutkan
32. Kembali
Epilog
Kilas#1: Sudut Pandang Anyelir
Kilas#2: Sudut Pandang Gerald
Ekstra: Wisuda
Ekstra II: Episode Selanjutnya
Ini Bukan Update Bab Baru
Ekstra III: Karyawisata

6. Hilang

59 16 13
By zzztare

Kalau biasanya Leana bermimpi melihat dirinya sendiri yang sedang tertidur di kamar, kali ini ia merasa masuk ke alam mimpi. Seluruh indranya berfungsi, tetapi suasana yang dilihat sangat aneh.

Kabut.

"Aku … bisa ngomong?"

Leana komat kamit tak jelas, sesekali menyentuh mulutnya. Ia panik. Jangan-jangan ini bukan mimpi. Jangan-jangan ia bangun di dunia lain.

Leana …?

"Ah!"

Leana terdorong sesuatu. Kakinya menjejak air. Dingin terasa, apalagi tiba-tiba pijakannya menghilang.

Splash!

Leana terbangun tiba-tiba. Ia tertelungkup di … lantai kamarnya?

"Sungguhan mimpi?" Leana mengucek matanya. Ia lega meski agak malu. Terakhir ia jatuh dari kasur sepertinya awal SD. ia tak pernah lasak saat tidur. Posisi saat hendak dan bangun tidur hampir tak berubah.

"Mimpi buruk, berarti." Leana mengeluh. "Aku sudah baca doa, tapi masih kacau aja. Aku ngantuk …."

Pukul tiga. Leana bisa tidur tenang setelah itu, meski bangun dalam keadaan terkantuk-kantuk. Mengingat hari ini akhir pekan, tak ada sekolah, Leana ingin tidur seharian saja di kamar. Ia bisa lanjut kerja malam hari, ketika justru kasur menjadi momok baginya.

"Kenapa pas diam di kamar begini, aku susah tidur?" Leana heran. Kasurnya lumayan nyaman, kamarnya tenang dan damai. Suasana yang cukup enak untuk tidur. Namun, Leana lebih sering mengantuk dan tertidur tiba-tiba ketika di sekolah. Kenapa, sih?!

Leana akhirnya bengong sambil melihat-lihat feeds instagram-nya. Muncul satu gambar Fuma tertanggal satu hari lalu. Leana membukanya. Tumben hanya sketsa. Ia kenal satu karakter itu. Ia menggambarnya berkali-kali. Ia pula yang menghitamkan garisnya dan memberi warna dasar.

Itu Zleth, sang Ratu Mimpi.

Tunggu. Mimpi?

Leana merinding. Ia ingat ada yang memanggil namanya semalam, dalam mimpi aneh itu. Suara yang seperti memastikan bahwa ini memang dirinya.

"Ah, apa sih!" Leana menggeleng kuat-kuat. Ingat kata Anya. Tak semua hal berkaitan dengan mistis. Namun, mengapa ia jadi sering parno begini?

Leana mengecek unggahan tadi. Sebuah sketsa yang cukup bagus. Meski lebih muda darinya, Fuma punya bakat lebih soal menggambar karakter. Leana memicing ketika membaca takarirnya.

Apakah ada yang menunggu?
Kerja ini berat, tapi harus diselesaikan.
Hati-hati, dihantui Zleth dalam mimpi.

"Yah, kerja berat, memang," gumam Leana. Ia membaca beberapa komentar. Sebagian besar memuji episode pertama yang belum lama tayang. Leana menghela napas lega. Namun, beberapa komentar memprotes soal lamanya waktu antar episode. Leana nyengir.

Mau gimana? Anggap aja ini komik di majalah bulanan.

****

Matahari terus bergulir. Leana tetap tak bisa tidur. Ia sempat berprogres sampai berhasil menghitamkan setengah episode, lalu tangannya nyaris tak bisa digerakkan. Ia kembali mengeluh mendengar panggilan ibunya.

"Di kamar mulu, bantuin bikin makan sini!"

Leana memang mengurung diri seharian di kamar. Ada Bapak di luar. Ia takut ditanyakan soal ujian.

Leans tersentak karena tiba-tiba pintu kamarnya dibuka. Seraut wajah muncul, membuat jantung Leana menggila. Itu Bapak. Untungnya, beliau tampak normal, bukan mode murka. Bapak seolah menjadi orang lain kalau marah.

"Len, bantu ngulek sini!"

Leana istigfar dalam hati. Namun, daripada memperkeruh mood Bapak yang amat sangat jarang tampak begitu bagus, Leana memilih menurut. Ia keluar kamar dan berjalan lunglai ke dapur.

"Bu, enggak pakai blender?" tanya Leana. Ia menelan ludah melihat cobek berisi bumbu yang siap dihaluskan berikut ulekan.

"Blendernya mendadak rusak. Tolong ulek, Len. Ibu enggak bisa ninggalin ini."

Ibu tampak mengaduk-aduk sesuatu di panci besar. Sedang ada pesanan katering kah? Durhaka sekali aku, enggak membantu, batin Leana. Ia penasaran bumbu apa yang harus diulek, tetapi ia menutup mulutnya rapat-rapat. Tangan kanannya yang penuh koyo ia gerakkan dengan lambat.

Duh, andai tangan bisa dilepas sementara.

Setengah jam kemudian, Leana masih berkutat dengan bumbu yang tak kunjung halus. Ibu sampai mengambil alih.

"Ke mana tenaga kulimu? Udah berapa menit ini, enggak alus-alus juga?" Ibu bertanya dengan nada tajam bercampur heran. "Tanganmu kenapa? Keseleo? Duh, kok enggak bilang. Sudah-sudah, Ibu saja! Kamu cek nasi."

Leana mengiakan. Ia paham maksudnya. Saat ia sedang memasukkan nasi ke beberapa kotak makan, suara Bapak terdengar. "Leana, kapan hasil ujian diumumkan?"

Leana menelan ludah. Pertanyaan yang mengerikan. "Akhir Mei, mungkin."

Bapak mengangguk-angguk. Beliau mengintip dapur. "Pesanannya buat jam enam, ya? Udah jadi belum? Harus diantar lima menit lagi biar tepat waktu."

Ibu memang membuka usaha katering, tetapi pesanan tidak datang setiap hari. Usaha mau-mauan, kalau kata Leana. Untung, Ibu punya pelanggan tetap. Leana jarang membantu kecuali disuruh. Ia terlalu sering mendekam di kamar sampai tak sadar suasana rumahnya. Sebenarnya, Ibu juga jarang mau dibantu. Beliau tak suka merepotkan orang lain. Ibu dan anak yang idealis dengan jalannya masing-masing.

Leana terkesiap. Tangan kanannya yang demikian lemas gagal mengangkat centong. Nasi berhamburan di lantai.

"Leana!" seru Ibu. "Ada kotak yang jatuh?"

Leana menggeleng, masih syok.

"Leana, nasi yang jatuh tuh jatah kamu," ucap Bapak.

Leana tahu itu bercanda, tetapi ia terlalu tegang untuk menanggapi. Ia hampir menangis. Tangannya mati rasa. "Ma-maaf. Tangan kananku enggak kuat."

"Rapikan dulu tumpahannya, nanti kamu istirahatin tanganmu dulu," ujar Ibu. "Kenapa sih? Keseleo kenapa?"

"Yah … kepentok." Leana mengempaskan diri di sofa ruang tengah. Orang tuanya belum tahu ia menggambar komik. Ibu mungkin tahu Leana cari duit, tapi tak tahu caranya.

"Tanganmu kenapa? Butuh diurut?" tawar Bapak.

Leana menggeleng. "Mungkin besok udah sembuh. Cuma … lemes banget." Ia mencoba mengepal dan membukanya. Jempolnya hampir tak bergerak.

"Sini Bapak tarik." Bapak tiba-tiba menyentak jempol Leana, membuat anak itu berseru kesakitan.

"Ya Allah Pak, tega bener," komentar Ibu.

Bapak nyengir lebar, Leana meringis. "Enggak papa. Makasih, Pak. Semoga beneran ngefek."

Bapak pergi mengantar katering setelah itu, pekerjaan sambilannya. Leana merasa agak sayang. Jarang-jarang mood Bapak sebagus tadi.

"Bapak dapat promosi," kata Ibu. "Semoga aja kamu enggak menghancurkan kebahagiaannya karena nilaimu."

"Bu!" keluh Leana.

Ibu melambai sambil tertawa. "Makan malam udah siap. Kayaknya kamu bakal sendiri, Len. Ibu Bapak mau keluar. Ada acara."

Leana membayangkan aneka acara yang bisa tiba-tiba didatangi Bapak dan Ibu. Acara keluarga, saudara, tetangga, RT, RW, masjid komplek, macam-macam. Yang Leana tahu, kebanyakan isinya adalah mengobrol. Orang-orang tua yang saling merumpi. Ya sudahlah!

Jadilah malam itu Leana tinggal sendirian, bersama mimpi buruk yang membayangi. Leana tak kuat menggambar lagi. Bisa-bisa ia harus berhenti sepekan penuh kalau tak mau tangannya cedera permanen. Tak tahu apa lagi yang harus dilakukan, Leana menatap tempat tidur tajam sambil membaca-baca doa. Ah, harusnya ia mengontak Anya, menanyakan aneka doa yang mungkin manjur. Anya lebih religius darinya, bukan? Gadis berjilbab itu rajin salat, tak seperti dirinya.

"Yah, semoga enggak mimpi buruk." Leana merebahkan diri di kasurnya. Sebelum tidur, ia sempat mencari-cari kontak Anya dan menemukan percakapan singkat mereka. Leana baru sadar, ia jarang mengontak Anya lewat media sosial. Ia lebih sering berkutat dengan akun gambar dan mencari inspirasi atau berbalas obrolan dengan Fuma dan beberapa mutual-nya yang lain.

Len: Nya, ajarin aku doa-doa, dong.

Tak ada balasan. Leana menguap. Gawat, ia mulai mengantuk. Ponselnya terlepas, ia tertidur begitu saja.

****

Lagi-lagi kabut.

Leana duduk di kubangan air, basah kuyup. Entah apa yang ia lakukan di sana. Begitu bermimpi, ia sudah dalam posisi itu.

"Iyuh," keluh Leana mendapati lumpur di kakinya. Ia berdiri dan mengibaskan tangannya. Menjijikkan. Tempat berkabut ini sepertinya rawa.

"Leana …."

Leana menoleh, kaget dan ketakutan. Siapa yang memanggilnya? Suara perempuan itu asing. Ia terlalu kelu untuk bicara.

"Kamu belum bisa melihatku, ya …."

Suara itu kini terdengar menyayat, seperti memohon-mohon. Leana jadi merasa kasihan, meski tetap ketakutan.

"Tidak apa-apa. Makin lama kamu akan semakin kuat. Kalau saat itu tiba, mereka semua akan bertekuk lutut padamu."

"Apa …?" Leana akhirnya mampu bersuara.

Kak Len!

Leana bisa mendengar seruan samar, entah dari mana. Ia merinding.

Kak Len! Berhenti!

"Aku ngapain?" gumam Leana.

"Teruskan apa yang kamu mulai, Leana. Anak itu tidak bisa diandalkan."

Leana merasa dunia tempatnya berpijak kini berputar. Ia pusing. Aneka suara terdengar. Ada yang mengajak. Ada yang melarang. Ada yang menyemangati. Ada yang menjatuhkan.

Ini mimpi apa?!

Ketika bangun, Leana basah kuyup oleh keringat. Ia langsung menyambar ponselnya. Pukul empat. Ada pesan dari Anya.

Anya: baca Al-Fatihah, tiga surat terakhir Al-Qur'an, ayat kursi, dan doa tidur yang biasa.

Leana meringis. Mungkin, besok-besok, ia akan memanggil Anya "ustazah" saja. Ia membalas pesan itu, sekadar mengabari kalau ia makin sering bermimpi buruk.

****

Pekan ujian terakhir datang dan berlalu dengan cepat.

Anak-anak kelas 9 meluapkan emosi mereka, juga kegembiraan yang melimpah. Libur dua bulan penuh ditambah beberapa pekan sebelum mengecap neraka SMA membuat semuanya menggila.

"Kemarin pada fokus ujian ya, sekarang kita fokus rampingin dana!" seru Gerald saat rapat khusus panitia.

"Belum nemu vila, Ger," lapor Rio. "Terakhir nemu cuma dua bangunan dan kayaknya enggak cukup buat semua. Guru-guru tinggal di hotel, jadi kayaknya kemahalan."

"Apa uangnya full dari kita?" tanya Anya.

"Enggak. Ada dari sekolah juga. Tapi masih kurang," sahut Kania.

"Vila yang dibutuhin harus kayak gimana?" tanya Roy.

"Minimal ada tiga vila yang berdekatan, dengan harga satuan per malam enggak lebih mahal dari tiga juta," gumam Anya. "Len, kamu udah cari?"

Leana menunduk sejak tadi. Ia mengantuk, tetapi pikirannya berkelana. Ia kalut. Saking tak fokusnya, ia melonjak saat Anya mengetuk bahunya. "Y-ya?"

"Len, mukamu pucat banget. Sakit?" tanya Anya.

Leana bisa menangkap raut wajah khawatir, tegang, sekaligus takut pada Anya. Ia juga sadar kalau Anya sering mencuri pandang ke sebelahnya. Ada apa? Kini Leana dipenuhi prasangka. Namun, itu belakangan. Ada yang lebih penting.

"Sudah seminggu," bisik Leana, "sudah seminggu Fuma enggak mengabari aku. Dia hilang."

(Bersambung)

****
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
1535 words

Fyuh update dua kali hari ini. Besok gimana ya? Rencananya sih mau up pagi-siang, kalau sempat

Ya ... kalau sempat. :'3

Btw, saya lupa bilangin hal ga penting (?). Kenapa domisili Fuma di Bandung? Karena ini terinspirasi dari mimpi yang latarnya pas aku jalan-jalan kelas 9 ke Bandung. XD

Udah ah, ngantuk.

Jkt, 3/5/21
AL. TARE

Continue Reading

You'll Also Like

3.2K 494 12
Kisah Khaotung yang menjalin kasih dengan pria 30 tahun.
CIRCLE [Revisi] By Arabicca

Mystery / Thriller

79.1K 4.1K 13
[Thriller+investigation] #2: Dendam bermula dari masa lalu. Saat itu Tim Satu Divisi Pembunuhan Kepolisian Sektor Sekupang, yang diketuai oleh Abraha...
6.3M 471K 25
[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Syafira tak menyangka apartemen yang disewanya ternyata berhantu. Pantas saja harga sewanya sangat murah dan para t...
5.3K 1.5K 34
Sabotase alur kehidupan. Rentang kisah yang terburai. Semua ini berawal ketika Luna menerima pulpen-yang ternyata berupa alat untuk memutar ulang wak...