Selaras Rasa

By zelakus

385 51 5

Secuil kisah di antara kemelut kehidupan, menghadirkan suatu hasrat yang membawa diri seorang Brielle William... More

Supernova
Selaras ....
Selaras 2
Selaras 3
Dear Friend ....
Selaras 4
Selaras 5
Selaras 6
Dear God ....
Selaras 8
Selaras 9
Selaras 10
Selaras 11
Selaras 12
Selaras 13
Selaras 14
Selaras 15
Selaras 16
Selaras 17
Selaras 18
Selaras 19
End of the Story
Keselarasan Tanpa Titik Temu

Selaras 7

16 1 2
By zelakus

Dari setiap jengkal yang memisahkan antar manusia itu tak terbaca. Ada dari mereka yang jauh berada di sana tanpa pernah bertemu, tetapi jiwanya menyatu seolah-olah terikat oleh benang tipis tak kasat mata. Ada pula mereka yang dekat, berdampingan dan mengaku saling mencintai, tetapi jiwa mereka berjarak. Seolah-olah dipisahkan oleh dunia sejauh Matahari ke Sirius.

"Semuanya baik-baik saja, dan akan berakhir baik."

Sebuah bisikan hadir menggaung di telingaku, seolah-olah itu datang dari sosok yang tertanam di dalam diriku. Aku meringis saat menyadari bahwa kalimat itu mampu menghangatkan hatiku, menyalurkan sedikit energi yang terdorong keluar secara tiba-tiba ke setiap pori-pori tangan yang ada di genggamanku. Kenapa aku tidak pernah terpikir kalau kalimat penghiburan sederhana mampu membuatku bisa sedikit lebih baik?

Sebuah pergerakan kecil tampak menginterupsi anganku, membawaku untuk menatap arah pada rautnya yang kini tersenyum dengan mata sipit yang memukau.

Aku bergerak ragu, sedikit berbisik di telinganya. "Aku datang …, Sera."

Anggukan kecil tampak mengiringi respons terhadap ucpaanku, tetapi sosok yang lemah itu kembali menutup mata dengan garis lengkung tipis di bibirnya. Aku menatapnya seksama, memastikan bahwa dadanya tetap bergerak untuk bernapas.

Aku mengembuskan napas lega. Setidaknya, penghakimannya terhadapku dan respons keras terhadap surat yang kuberikan padanya bisa ditunda. Aku belum siap jika ada lagi pertengkaran di antara kami akibat ego masing-masing yang masih meraja.

Aku mengangkat kedua tanganku dengan siku yang bertumpu pada ranjang, sedikit menunduk dan memejamkan mata. Sebuah kebiasaan yang hingga sekarang tidak pernah kutinggalkan sejak aku memulai sebuah pencarian. Pembelajaran tentang apa arti sebuah kehidupan, cinta, dan harapan.

Dalam otakku saat itu, bahkan sejak aku kecil tidak pernah sedikit pun aku terpikir dan tertanam kata 'ego' maupun mengerti maknanya. Aku terlahir sebagai gadis biasa yang bahkan selalu menpertanyakan makna-makna hidup pada setiap orang.

Di usia pra sekolah, aku pernah bertanya pada seorang guru TK tempat aku biasa bermain dan ikut mencoba bagaimana rasanya sekolah. Hanya menumpang tempat duduk di sana. "Miss, apa itu Tuhan?"

Dengan sangat hati-hati ia menatapku, kemudian menarikku ke dalam pangkuannya sembari tersenyum. "Hmmm apa, ya?" Sembari menunjukkan ekspresi berpikir keras, ia bertanya. Retorik.

Aku menatapnya dengan lugu, sembari berkedip-kedip menunggu penjelasan yang kucari.

"Tuhan adalah yang menciptakan alam semesta, bumi, dan segala isinya termasuk manusia."

"Bagaimana Tuhan menciptakannya? Semesta itu apa?"

Guru itu tampak bingung, kemudian sedikit menggaruk kepalanya yang tertutup oleh jilbab tipis.

"Dengan kekuasaanya. Semesta itu …"

"Lalu bagaimana Tuhan tercipta? Apa dia dilahirkan sepertiku?"

Wanita dengan tahilalat besar di hidung itu terdiam, rautnya berubah serius dengan embusan napas tertahan. Aku bisa merasakannya, merasakan emosi kebingungan dan ketakutan dari dalam sana. Kemudian ia menurunkanku dari pangkuannya dan menyuruhku untuk turut bermain bersama teman-teman yang lain. Aku yang menantikan jawaban apa yang ia lontarkan hanya memiringkan kepala bingung. Namun, sedetik kemudian aku mengangguk dan berlari menuju kerumunan anak yang tengah bermain keong.

Keesokan harinya, orang tuaku dipanggil ke sekolah. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Akan tetapi, ketika kakek dan mama keluar dari ruang guru, mereka menatapku aneh. Yang kusadari itu adalah sebuah tatapan penghakiman. Nyaliku menciut saat itu juga.

🌺🌺🌺

Suatu masa, pencarianku belumlah selesai. Di usia awal dua puluhan aku memutuskan untuk belajar tentang agama dari selain yang kuanut. Sebuah katedral dengan arsitektur modern tetapi masih terkesan klasik dan sakral menarik minatku. Aku menatap dari halaman depan, memperhatikan salib dengan patung Yesus di atasnya. Jantungku berdebar seolah-olah tengah menantikan sebuah pertemuan penting antar dua perusahaan besar. Namun, rasa-rasanya lebih dari itu.

Sebuah tepukan pelan di pundakku menyadarkan waktuku bahwa saat itu kami—aku dan Antonius—akan mengikuti misa harian di hari selasa. Aku menoleh ke arahnya, mendapati dua senyum merekah yang menyambutku dengan tangan yang terbuka lebar. Antonius dan Rangga adalah dua teman yang mengenalkan dan membantuku belajar dari sisi agama mereka. Aku beruntung.

Jalanku memasuki bangunan itu tampak ringan, terbuka lebar, seolah-olah sambutan hangat menanti dari ujung paroki. Aku tersenyum bangga dengan keberanianku menembus batas doktrin kali ini.

Seusai dari katedral, aku, Antonius dan Rangga makan malam bersama di sebuah convenient store. Makanan instan biasa yang kami beli dengan harga tidak lebih dari dua dolar. Kehangatan setiap interaksi pun terasa lekat mengiringi diskusi kami yang cukup serius meski penuh tawa.

"Menurutmu, Tuhan itu apa?" tanyaku langsung.

Rangga tersenyum sembari mengelus tanganku. Pemuda seumuranku yang sedikit feminim ini menjawab, "Tuhan adalah kasih, Tuhan adalah yang ada di dalam dirimu."

Antonius mengangguk, membuatku mengernyitkan dahi. "Kasih? Dalam diriku?"

"Ya. Tuhan bersemayam dalam hati setiap insan yang meyakininya."

Aku semakin bingung. "Lalu, bagaimana kita bisa menemukan Tuhan itu sendiri untuk meyakininya?"

Rangga dan Antonius terdiam. Aku pun bungkam dengan masih menunggu jawaban yang mereka lontarkan untuk bisa kupertanyakan kembali.

Rangga kemudian menarik sudut bibirnya, menunjukkan guratan memesona di raut itu. Wajah yang tampak cantik bagi seorang laki-laki, pikirku.

"Melalui aksimu."

"Aksiku?"

"Kita, manusia, dilimpahi kasih dan berkat yang luar biasa dari Tuhan. Dengan menunjukkannya pada sesama, berbagi cinta dan rejeki adalah cara termudah untuk melakukannya disamping peribadatan."

"Aku tak paham."

Antonius mendengkus perlahan, kemudian mengangsurkan sebungkus wafer yang sudah terbuka padaku. Aku mengambil satu potong dan melahapnya. Selesai Antonius menelan kunyahan dalam mulutnya, ia berkata, "Seperti yang kulakukan barusan."

"Antonius berbagi berkat dan kasihnya padamu. Berkat berupa makanan, dan kasih berupa ketulusan."

"Aku semakin tidak paham."

"Jadi begini …." Rangga memperbaiki posisi duduknya, kemudian menatapku. Manusia diciptakan dengan apa?"

"Nafsu dan akal?"

"Ada satu lagi."

"Apa itu?"

"Kehendak."

Aku terdiam, masih dengan gamang berusaha merekam setiap kalimat yang Rangga terangkan untukku. Membuatku mengerti akan sesuatu yang tidak bisa dilihat secara kasat atau logika memanglah sulit karena sejak kecil aku terlalu terpendam dalam kata 'Logika di atas segalanya'.

"Ketiga hal ini jika bekerja akan mengendalikan aksimu berdasar dua hal. Jika nafsu dan kehendak bekerja, maka itu ego. Jika akal dan kehendak bekerja, maka itu cinta."

Kini, giliran Antonius yang bersuara, "Jika ketiganya bekerja bersama-sama maka itu adalah harmoni."

"Keselarasan," sahut Rangga. "Jika kau ingin menemukan Tuhan, maka kau harus memahami ketiga hal itu."

"Dan menerapkannya dalam hidup."

"Apa itu ego, cinta, dan keselarasan?"

Mereka diam. Keduanya saling bersemuka, lalu secara bersamaan menatapku dengan lesu.

"Kami pun belum menemukan jawabannya."

"Aku saja masih jadi domba yang tersesat."

Keterdiaman sesaat tercipta, sebelum tawa mereka berdua meledak memenuhi teras toko yang ramai. Tatapanku yang lekat ke arah mereka pun teralihkan ke jalanan padat kota metropolis yang sedang diguyur hujan.

Suara di dalam kepalaku berbisik, "Mungkin … waktu yang akan menjawabnya."

🌺🌺🌺

Mataku masih terpejam dengan napas yang kaku. Kedua tanganku yang tegenggam menempel di dahi dengan perasaan kecamuk luar biasa.

Teringat saat Ajra membawaku berjalan-jalan di sebuah padang rumput luas, seperti samudera hijau yang ranum.

Aku bertanya, "Kakek, apa itu ego? Apa itu cinta? Apa itu keselarasan?"

Beliau tersenyum sembari mengelus kepalaku. "Suatu hari … kau akan menemukan jawabannya."

Ego, cinta, dan selaras … bisakah aku membedakan antara ketiganya?

Pada detik ini pula aku masih tidak memahami. Namun yang aku tahu, Cinta bisa bersembunyi di dasar ego, segangkan ego bisa mendobrak sanubari mengatasnamakan cinta.

Sedangkan keselarasan? Bagaimana jadinya jika ego dan cinta bersatu? Bukan, bukan ... Tampaknya itu hal yang berbeda lagi.

Nafsu, akal, dan kehendak ... Apa itu ...?

Namun kali ini … perasaanku … bagaimana?

Jika aku menginginkan Sera sembuh dan tetap bertahan untukku. Apakah itu sebuah ego?

Mika …, tolong bantu anak manusia yang nakal ini.

Continue Reading

You'll Also Like

9.8M 886K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...
1.8M 59.5K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...
13.8M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
1.4M 113K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...