Selaras Rasa

By zelakus

385 51 5

Secuil kisah di antara kemelut kehidupan, menghadirkan suatu hasrat yang membawa diri seorang Brielle William... More

Supernova
Selaras ....
Selaras 2
Selaras 3
Dear Friend ....
Selaras 4
Selaras 5
Selaras 7
Dear God ....
Selaras 8
Selaras 9
Selaras 10
Selaras 11
Selaras 12
Selaras 13
Selaras 14
Selaras 15
Selaras 16
Selaras 17
Selaras 18
Selaras 19
End of the Story
Keselarasan Tanpa Titik Temu

Selaras 6

15 4 0
By zelakus

Setidaknya, kedatangan Rosela hari ini mampu membuatku sedikit mengikis ketakutan dalam benak. Namun, meski ia berhasil mendorongku dengan kekuatan, Rosela sendiri tampak gamang pada keyakinannya. Dari sorot matanya yang lembut itu muncul guratan dan sorot yang berbeda.

Aku tahu ... dan itu membuat ingatanku berputar pada garis waktu semu yang membatu. Rencana besarnya untuk bertindak akan sesuatu yang meragu.

"Ro ...."

"Aku tahu kau merasakannya."

"Keraguanmu terlalu besar, padahal tadi siang saat bicara di telepon kaulah yang paling optimis."

Helaan napasnya terembus sempurna, meniup pori-pori keningku yang terbebas dari helaian keriting di kepalaku.

"Mungkin ... karena ini tindakan berisiko, Elle."

Aku mengangguk mengiyakan. Dekapanku mengerat pada tubuhnya. "Aku akan membantumu sebisaku."

Pembicaraan kami terhenti ketika pintu yang dibuka terdengar nyaring. Suara kaki yang lebih dari sepasang melintasi sepanjang lantai menuju ke arah kami berdua. Aku dan Rosela menoleh, menangkap dua sosok pria dengan tinggi badan yang hampir sama mendekat.

"Kalian sudah siap?" Razel bertanya, sembari menilik mesin waktu yang ada di pergelangan tangannya.

Jarrel mendekat padaku, mengelus wajahku pelan, menyusuri jejak-jejak air mata yang telah mengering.

"Kita berangkat sekarang," ucapnya pelan.

"Di mana Melissa?"

"Di kamar. Paul berusaha menahannya untuk tidak keluar."

Rosela mengangguk, kemudian menghampiri Razel, suaminya. Aku berdiri, kemudian menatap dalam iris kehijauan yang mirip denganku ini. "Aku mau ke kamar mandi sebentar untuk mencuci muka."

Ia mengangguk perlahan, kemudian melepaskan tangannya dari wajahku.

Berjalan rasanya begitu berat. Bukan karena keengganan, tetapi tubuhku rasanya seperti tengah menuntut untuk beristirahat. Sayangnya, aku tidak akan bisa tidur, seperti malam-malam sebelumnya yang terus membuatku terjaga akibat overthinking. Hal itu hanya akan membuatku lebih menyiksa diriku sendiri.

Aku hanya mencuci wajah cepat dan mengeringkannya dengan handuk. Merapikan sedikit bentuk pakaianku yang agak kusut di bagian rok. Aku menarik napas, kemudian mengembuskannya guna mengisi ruang di paru-paruku untuk mengembang dan mampu memberiku kekuatan jika tiba-tiba aku menahan napas akibat ketakutan.

Saat aku keluar, semuanya menatap, membuat nyaliku seketika menciut. Namun, mereka sama sekali tidak menghakimi, sehingga aku masih tetap mampu melangkah ke depan untuk menghampiri mereka.

🌺🌺🌺

Suasana di dalam mobil begitu senyap. Jarrel kembali terdiam sembari merangkulku. Sesekali ia menjawab pertanyaan dari Rosela dan Razel. Aku yang hanya menyimak sedari tadi, merasa bahwa nyala lampu di jalanan tampak lebih menarik di mataku.

Laju lalu lintas ramai lancar, sehingga tidak kesulitan bagi mobil Razel melaju meski tidak bisa menyalip kendaraan lain.

Tanganku gemetar menahan gejolak menakutkan yang mneyeruak dalam dada. Setan-setan di kepala seolah meracuni pikiranku lagi setelah sehari dibiarkan tenang. Kugenggam jaket yang Jarrel kenakan hingga membuatnya kusut dan tak beraturan. Pria itu langsung menatapku. Hanya beberapa detik yang disertai senyuman sebelum kembali menanggapi pertanyaan Razel di dalam mobil. Tangannya mengelus lenganku secara terus menerus, bahkan hingga kami sampai di pelataran rumah sakit.

Turun dari mobil, aku kesulitan melangkah. Satu kakiku terpaku begitu yang lainnya mencoba terangkat, membuatku limbung dan hampir menghantam permukaan tanah. Beruntung, Jarrel dengan sigap menangkap dan menuntunku untuk berjalan menuju ke mana kami akan singgah.

Bau obat yang menyebar di atmosfer membuatku sedikit merasa mual. Kakiku mengikuti ke mana sosok besar ini membawaku. Menaiki lift hingga ke lantai tiga dan membiarkan aku tetap di sampingnya meski semua ketakutanku semakin menggelayut kurang ajar di atas punggung.

"Lihatlah, Elle! Lihat bagaimana pandangan semua orang yang menghakimimu!"

Suara itu lagi! Tuhan, aku ingin egois dan berbalik pulang. Namun, naluriku menolak. Aku pun tetap mengikuti Jarrel seberat apa pun magnet-magnet pada telapak kakiku menahan. Aku gemetar ketakutan.

Di sana, berkumpul beberapa orang di depan sebuah ruang rawat. Mataku mengedar memperhatikan semua orang yang ada di sana. James, Marcus, dan Paman Reynald tengah berkumpul entah untuk menyelenggarakan konferensi macam apa. Tatapan mereka tampak tajam satu sama lain. Semua emosi terasa menusuk, membuat ketakutanku menggelap dan semakin pekat. Terlebih, saat tatapan penghakiman itu terarah padaku. Aku tidak bisa bernapas.

"Bagaimana kondisinya?" Razel bertanya pada Marcus yang berdiri, bersandar pada dinding bercat putih tulang tersebut.

Tatapan Marcus yang terarah padaku membuat nyaliku semakin tak berbentuk. Mungkin jika bisa terlihat, emosi yang satu itu hanya akan berbentuk neuron kecil yang siap lebur bersama non-partikel.

Helaan napas pria berambut hitam yang dikuncir kuda itu tampak pasrah. "Siang tadi dia tidak sadarkan diri setelah membaca surat dari Elle. Dan Zo pingsan."

Hantaman keras pada jantungku membuatku membeku seketika. Aku menatap Marcus yang masih memperhatikanku. Kini tatapannya melunak dengan senyum teduh yang ia salurkan melalui gelombang udara. Rasa-rasanya aneh melihatnya selunak itu.

Sedangkan Paman Reyn masih menatapku. Matanya membengkak dengan guratan keriput yang tampak jelas. Wajahnya tampak garang meski aku tahu dia tidak seburuk penampilannya. Aku cukup dekat dengannya sebelum semua permasalahan ini datang.

Aku semakin menyembunyikan diriku di balik tubuh tegap Jarrel. Namun, Rosela malah menggenggam tangaku dan menariknya agar aku keluar dari persembunyian.

"Ayo ...."

Aku menggeleng pelan. "Seharusnya aku tidak datang."

Rosela tersenyum, menangkupkan tangannya yang lain pada tangan kiriku yang berada di genggamannya. Ia menepuk-nepuk perlahan.

"Dia mengharapkanmu, Elle."

Aku menunduk semakin dalam, menutupi wajahku yang kini memerah menahan tangis. "Aku takut kedatanganku malah membuatnya semakin parah."

"Tidak akan."

"Aku takut, Ro."

"Aku akan masuk bersamamu."

"Jangan ditinggal berdua," pintaku pelan.

Rosela mengangguk, kemudian menuntunku masuk ke dalam ruangan yang cahayanya jauh lebih terang daripada lorong lengang di luar.

Sosok Zo tengah duduk di sofa menyandarkan kepalanya. Ia menoleh saat mendengar suara pintu yang tertutup. Tatapannya langsung tertuju padaku yang kini bersembunyi di balik tubuh tinggi Rosela. Wajah lelaki itu tampak pucat pasi, membuatku seketika menyalahkan diri sendiri.

Pasti gara-gara aku.

Setan-setan yang bergerombol di kepalaku seolah tertawa terbahak-bahak menistakan inangnya.

Ekspektasiku ambyar seketika, saat sosok itu berjalan mendekat dengan agak terhuyung. Bibirnya membentuk simpul tipis seperti garis lengkung ke atas. Persis seperti bulan sabit yang kulihat dari halaman rumah tadi. Ia menatapku lembut sebelum tangan itu terulur untuk mengelus kepalaku.

"Terima kasih sudah datang. Aku akan menunggu di luar," bisiknya sembari masih berusaha berjalan dengan normal. Hingga saat ia membuka pintu, Jarrel sudah berada di sana untuk bersiap memapahnya.

Helaan napasku kembali terembus. Langkahku gamang mendekati sosok yang tengah terbaring dalam lelapnya. Wajahnya pucat, sepucat kulit tanpa aliran darah di musim dingin. Dadanya bergerak teratur dengan selang oksigen yang menancap di kedua lubang hidungnya. Sosok itulah Seraphine.

Kududukkan diriku di kursi di sisi ranjang. Dengan gemetar, jemariku merangkak untuk menyentuh tangan yang tampak kecil itu. Dia lebih kurus daripada terakhir kali kami bertemu.

Omong-omong, kapan terakhir kali kami bertemu?

Aku merunduk, meratapi betapa takdir harus membuat sebuah pertemuan yang baik-baik harus renggang dengan cara seperti ini. Kuelus jemari kurusnya yang bebas dari selang infus. Kuangkat untuk kutumpukan pada tangan kiriku dan menggenggamnya lembut.

"S-sera ...."

Air mataku menetes, seolah-olah memang sengaja mendesak keluar untuk menghukumku yang telah bertingkah kekanakan.

Maafkan aku, maafkan egoku yang membuat aku tampak tak berempati.

Maafkan ambisiku yang membuatku tenggelam dalam ayal tak berdasar.

Maafkan anganku yang selalu berekspektasi tentang mimpi yang sebenarnya aku sendiri pesimis untuk mewujudkannya.

Maafkan aku ... karena itu adalah ... aku.

Continue Reading

You'll Also Like

7.4M 227K 46
Beberapa kali #1 in horror #1 in thriller #1 in mystery Novelnya sudah terbit dan sudah difilmkan. Sebagian cerita sudah dihapus. Sinopsis : Siena...
4.4M 132K 88
WARNING ⚠ (21+) 🔞 𝑩𝒆𝒓𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 �...
757K 3.3K 12
Hts dengan om-om? bukan hanya sekedar chatan pada malam hari, namun mereka sampai tinggal bersama tanpa ada hubungan yang jelas. 🔛🔝 my storys by m...