Selaras Rasa

By zelakus

384 51 5

Secuil kisah di antara kemelut kehidupan, menghadirkan suatu hasrat yang membawa diri seorang Brielle William... More

Supernova
Selaras ....
Selaras 2
Dear Friend ....
Selaras 4
Selaras 5
Selaras 6
Selaras 7
Dear God ....
Selaras 8
Selaras 9
Selaras 10
Selaras 11
Selaras 12
Selaras 13
Selaras 14
Selaras 15
Selaras 16
Selaras 17
Selaras 18
Selaras 19
End of the Story
Keselarasan Tanpa Titik Temu

Selaras 3

22 4 0
By zelakus

Bulir-bulir ingatan itu hadir seperti hujaman air terjun, mencocok pori-pori kulit yang bebas tanpa perlindungan. Sabetan sebilah pedang tidak membuat sosok lelaki berambut cokelat terang itu gentar. Ia tetap berdiri, bersiap dengan kuda-kuda untuk siap berlari. Namun, ketika ia masih menggaungkan nama Sang Agung dalam doanya, sebuah anak panah memelesat dan menghujam tepat di jantungnya. Sekali lagi … jiwa terpilih dalam takdir seorang Grenda Argavel harus berpulang.

Rest In Peace, Axel Granger.

🌺🌺🌺

Debaran jantung yang nemacu, membuat kesadaranku seolah-olah ditarik untuk keluar, melihat betapa senja memekik dari ufuk di ujung cakrawala.

Perlahan aku mengerjap, berusaha menarik napas dalam demi mengisi paru-paruku yang terasa kosong. Ingatan itu kembali menyeruak dalam sebuah mimpi buruk yang membuatku selalu teringat akan karma yang tercipta akibat kematian ia yang dicintai. Kalau Jarrel bilang, itu adalah pengorbanan dalam kebodohan.

Aku mengedarkan mataku ke seluruh batas pandang ruang dalam putaran mata, hingga menemukan helaian rambut pirang yang sudah lebih pendek dari sebelumnya ada di sebelah kiri tengah pulas memunggungiku. Aku mencoba untuk duduk, menarik tubuhku yang remuk redam perlahan. Kulihat pakaianku yang sudah berganti, lalu beralih pada sinar kemerahan yang menembus pepohonan dan membentur kaca jendela tanpa teralis di sisi kanan.

Aku menghela napas kuat-kuat, kemudian beranjak turun untuk ke kamar mandi. Saat aku kembali, pria yang terlelap di sisi ranjang sudah tidak lagi terlihat, dengan selimut yang tampak berantakan seperti ditarik paksa. Kaki membawaku berjalan ke arah meja, menatap onggokan biola rusak yang bahkan tidak dibungkus oleh apa pun. Strip merah yang melingkar di pinggirannya memantulkan cahaya dari lampu yang temaram. Aku bahkan bisa melihat bayanganku di sana.

"Elle …."

Suara yang tidak asing menyapa dari balik punggungku. Aku tidak merespons, tetap asyik dengan kecamuk pikiran dan serpihan kayu cendana berukir yang teronggok tak berdaya.

Langkah pelan itu terdengar mendekat, lalu berbisik, "Apa kau baik-baik saja?"

Tanpa menoleh, tanpa harus bersembunyi di balik kepura-puraan aku menyahuti. "Tidak."

Embusan napas pelan terdengar begitu dekat dengan telinga, sebuah rengkuhan ringan mengunci pergerakanku. Aku bahkan tidak memiliki cukup tenaga untuk memberontak.

"Tinggalkan aku sendiri," pintaku pelan.

Sebuah kecupan mendarat di kepalaku, membuatku memejamkan mata untuk menyesap setiap kekuatan yang ia salurkan, kemudian pelukan itu terlepas. Ia menjauh. Namun, sebelum ia mencapai lorong, aku memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya.

"Arthur …."

Sosok menawan yang akhir-akhir ini kembali mengisi hariku setelah sekian lama itu berhenti dan menoleh.

"Terima kasih."

Ia mengangguk, kemudian pergi.

🌺🌺🌺

Jeblakan pintu mengagetkan lamunku, cukup keras hingga membuat debaran menakutkan itu muncul tanpa bisa kucerna. Aku refleks meletakkan bross cantik dengan permata hijau kembar itu ke atas kabinet di samping sofa, kemudian melirik ke asal suara yang kini tengah menuntut perhatian.

"Brielle! Apa yang kau lakukan saat temanmu sedang terbaring di rumah sakit, hah?!"

Mataku memelotot, menatap sosok pria berambut pirang yang mirip dengan Jarrel tengah berdiri dengan angkuh di hadapanku. James, mantan pelatih memanahku itu tengah menatapku dengan pandangan menghakimi.

Aku yang sedikit memiliki rasa tidak nyaman pun mundur perlahan. Tanganku mencengkeram sisi sofa agar tidak langsung tersandung ke belakang.

Iris tajam itu menuntut jawaban.

"Kau bahkan tidak menjenguknya!"

Aku menunduk, refleks satu kakiku mundur dengan sigap ketika ia kembali melangkah untuk memperpendek jarak di antara kami. Dia bukan orang jahat, aku tahu. Namun, memang aku merasa kurang nyaman jika berhadapan dengan orang mesum sepertinya.

Kuberanikan diri untuk menatap paras dengan rahang tegas itu. Aku meneguk ludah sebelum suaraku terbata.

"D-dia bahkan … tidak ingin menemui … ku."

"Brielle, demi Tuhan! Dia bertindak seperti itu, tapi dia masih mengharapkanmu datang!"

Aku terdiam, menatap kosong. "Dia … dia telah mengusirku."

"Karena egomu!"

Mendengar itu, jantungku serasa tersengat aliran bertegangan tinggi. Emosi, itulah yang kurasakan. Namun, aku tidak bisa meledak begitu saja karena bagaimanapun ada seseorang yang kondisinya begitu kukhawatirkan.

Aku menatap James tajam, kemudian memberanikan diriku mendekat ke arahnya. Entah dorongan dari mana aku jadi berani berhadapan dengan orang yang tabiatnya paling kuhindari ini.

Dengan pelan, tetapi penuh tekanan, sembari menahan air mata aku membalas, "Aku bukan malaikat, James. Aku hanya manusia biasa yang memang tumbuh dengan ego. Aku hanya harus belajar untuk waktu yang lebih panjang agar bisa terbebas dari sifat sialan ini. Aku tidak bisa memaksa untuk bisa menyesuaikan diri dengannya secepat kedipan mata karena itu akan membuatku hancur dengan jurang ego itu sendiri."

James terdiam, ia terduduk di atas kursi kayu yang mendampingi meja bundar di tengah ruangan. Tempat di mana onggokan biola rusak itu masih tak tertata. Pria itu memijat pelipisnya, kemudian mendengkus.

"Jadi kau akan menyerah?"

Aku menggeleng, seiring dengan tatapanku yang melunak. "Aku masih terus berusaha. Namun, mengendalikan ego tidak seperti aku bisa mengendalikan layangan. Aku bahkan tidak punya dukungan yang bisa menyeretku langsung menuju pintu kemurahan sepertinya."

James mengangguk, kemudian berdiri dengan tatapan yang sama sepertiku. Ia mengembuskan napas sembari merentangkan kedua tangannya. "Boleh aku memelukmu?"

Rasa syok kembali hadir menangkupku. Mataku memelotot, melontarkan pertanyaan retorik tak berkata. Sontak hal itu memunculkan senyum teduh lelaki bermata hijau terang tersebut.

"Aku tidak akan melakukan apa pun. Aku hanya ingin memeluk dan memberimu kekuatan, sama seperti Sera."

Perlahan, ia mendekat. Meski degub jantung sialan ini tidak bisa membohongi rasa takutku, aku tetap diam mematung. Entah kenapa … kali ini aku mempercayainya. Namun, satu tingkat image ketampanannya menurun akibat kelakuan hari ini yang dengan seenaknya mendobrak pintu kamar orang lain. Pelabrak!

Tubuhnya semakin dekat, tangkupan tangannya melingkari pundak dan leherku. Ia membawaku ke dalam dekapan yang cukup hangat, kemudian berbisik, "Teruslah mencoba, gadis kecilnya Jarrel."

Dalam sesak yang menghimpit. Aku hanya bisa mengangguk, kemudian berterima kasih padanya dalam ucapan lirih parauku.

Selemah ini aku rupanya jika sedang dalam masalah. Menerima siapa pun yang datang untuk menawarkan kekuatan. Seketika, tubuhku yang tegang pun melemas. Tanganku terulur untuk membalas pelukan yang ternyata cukup nyaman tersebut.

Menenggelamkan kalutku dalam senyap. Lagi-lagi, aku menangis.

🌺🌺🌺

Malam semakin larut, ribuan bintang menggantung bebas, menunjukkan konstelasinya yang berjejak. Andromeda, adalah rasi bintang yang cukup terkenal selain kedua belas rasi zodiak. Aku tersenyum menatap guratan cahaya yang berpendar di sana, mengingatkanku kembali pada sosok Seraphine dalam angan. Embusan napasku kian berat karena sesak kembali membanjiri. Namun, aku sama sekali tidak bisa menangis.

Arthur yang selepas isya tadi menemaniku di sini pun kini kembali ke kamar tamu, tempat biasa ia menginap. Sedangkan Jarrel, tidak lagi datang ke sini untuk menegurku. Kini, aku kembali sendirian, melanjutkan ke-overthinking-anku yang berlarut.

Aku menatap sepucuk surat yang tadi Melissa bawa ke kamar. Aku ingat amplop berwarna krem dengan stempel berwarna emas tersebut adalah surat yang datang dua hari lalu. Surat yang jelas-jelas membuatku berguncang dengan seluruh pekat yang menyerang. Embusan napasku kembali meluncur, membuatku semakin dilema untuk menatapnya.

Secara refleks, tanganku terulur untuk mengambil benda itu dan membukanya. Beribu keberanian bertumpuk menjadi satu untukku yang tengah kacau.

Mataku memejam sesaat sebelum aku mulai membacanya, berjaga-jaga ketika nantinya tangisku pecah dalam lamunan.

Dan benar … derai itu kembali mengalir penuh sesal.

🌺🌺🌺

Pagi ini, Melissa datang ke kamarku, berjalan pelan sembari menunduk. Aura ketakutan terpancar saat ia berada dalam jarak dua meter dariku.

"Elle ...," cicitnya.

Mata bengkaknya tampak masih menggantung dengan warna kemerahan. Aku tahu dia masih menangis semalam. Suaranya terdengar jelas karena kamar kami yang bersebelahan.

Aku mengembuskan napas dan tersenyum sebaik yang kubisa, meski aku tahu, Melissa tidak menyukainya. Hingga tanganku terulur dan memintanya mendekat.

Ia pun datang terseok, mengikis jarak di antara aku dan dia. Tanganku yang terulur kini bisa menariknya, kemudian membawanya dalam pelukanku yang memaksa.

"Maaf," bisikku.

Isakannya kembali terdengar dan yang kulakukan hanyalah mengelus punggung kecil yang saat ini terasa menggumpal. Segera aku melepaskan pelukan, menangkup pipi gempil itu, kemudian mencium keningnya cukup lama. Dengan hati yang lebih baik ketimbang kemarin, aku pun menggendong gadis kecil Jarrel tersebut untuk keluar.

Suasana sarapan pagi ini masih sesenyap kemarin. Hanya Melissa yang sesekali mengajakku untuk bicara, mengundangku untuk menanggapi setiap ocehannya dengan tenang, membuat Papa yang memperhatikan dari seberang meja makan pun kini menjadi lebih lembut untuk menatapku.

Dalam doa, aku berharap agar sosok pria yang paling kucintai itu tidak sedang menghakimi.

🌺🌺🌺

Aku berjalan pelan menuju kamar, diikuti Jarrel yang menggendong Melissa, kemudian masuk ke kamar mereka. Embusan napasku memberat, mengingat lelaki itu tidak menyapaku sama sekali. Aku tahu sesuatu terjadi dan membuatnya bungkam. Aku tidak ingin bertanya apa pun lagi jika ia tidak mengatakan terlebih dahulu.

Aku menghela napas saat tanganku meraih sebuah amplop biru dengan stempel burung merpati berwarna putih yang kugeletakkan di atas meja, lalu tersenyum.

"Kuharap kelapangan hatinya bisa menerima ini."

Aku pun bergegas keluar, tepat saat Jarrel tengah menutup pintu kamarnya.

"Abang!"

Pria itu menoleh, kemudian menghampiriku masih dengan diamnya. Aku mengulurkan surat yang sudah kutulis dini hari tadi dan diterimanya begitu saja. Ia membaca sejenak apa yang tertulis di sisi amplop tersebut sebelum menatapku.

"Kau yakin?"

Aku tersenyum dan mengangguk, membuatnya tertular untuk menunjukkan sudut bibirnya yang terangkat. Ia pun memelukku kembali, seperti beberapa hari lalu saat mencoba memberiku kekuatan, menyampaikan kasihnya yang tak pernah habis sebagai seorang kakak.

"Sampaikan salamku padanya," lirihku yang dibalas dengan anggukan.

Setidaknya, aku menganggap apa yang kulakukan ini adalah benar.

Continue Reading

You'll Also Like

1.9M 92.2K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
3.7M 40.1K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
15.5M 876K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...