Detak. ✔

By fuchsiagurl

166K 21.9K 8.6K

Laksana jantung dan jam dinding yang berdetak, hadirmu terus mengintari hariku tanpa tahu malu, tanpa tahu wa... More

❱ DETAK : Prakata
BAB 0. Trailer
BAB 1. Galaksi yang berbeda
BAB 2. Antara Sena dan Ares
BAB 3. Firasat
BAB 4. Bimbang
BAB 5. Ketakutan Aksa
BAB 6. Pertengkaran
BAB 7. Air Mata
BAB 8. Sakit
BAB 9. Perspektif Ares
Hai, kesayangan.
Jawaban mereka
BAB 10. Sulit
BAB 11. Baik-baik saja
BAB 12. Tetap di sini
BAB 13. Tiga Sisi
BAB 14. Jangan Pergi
BAB 15. Tahu diri
BAB 16. Alasannya
BAB 17. Pulang
Bab 18. Bandung malam ini
BAB 19. Saling menyakiti
BAB 20. Sekali lagi, jangan pergi
Question?
Answer.
BAB 21. Mimpi buruk
BAB 22. Kejadian tahun lalu.
BAB 23. Diam.
BAB 24. Tunggu aku bangun.
BAB 25. Cerita Devan
BAB 26. Seandainya.
BAB 27. Aksa.
BAB 28. Amarah
BAB 29. Percaya
BAB 30. Pergi
BAB 31. Daun yang gugur.
BAB 32. Bertahan.
Last Conversation.
Last Answer.
[ PREVIEW ] BAB 34. Terikat.
[ PREVIEW ] BAB 35. Bangun
[ PREVIEW ] BAB 40. Jatuh
❱ DETAK : Bonus Chapter & Mini Series
OPEN PO BATCH 3

BAB 33. Berkorban.

4.4K 535 286
By fuchsiagurl





Dalam kamar dengan lampu tidur temaram yang menyala, Sena duduk pada kursi meja belajarnya. Membolak-balikkan salinan formulir pendaftaran Olimpiade Sains Nasional yang mencantumkan namanya dan telah ditandangani kepala sekolah.

Bidang kimia, Senarai Chandra Dione.

Sena merobek salinan formulir pendaftaran di tangannya menjadi dua bagian. Dengan pandangan kosong dan tanpa ekspresi, Sena lantas menumpuk kedua bagian formulir yang telah ia sobek untuk dirobek lagi menjadi empat bagian. Sena tidak lagi membutuhkan salinan formulir itu.

"Kak."

Ares memanggil Sena dengan pelan, suaranya bersaut-sautan dengan gemercik air hujan yang mengguyur kota Bandung malam ini. Sena memundurkan kursi dan berdiri. Ia lempar potongan-potongan kertas pada tempat sampah.

"Tidur di kamarmu sendiri, Res."

Sena melangkah ke luar kamar, menuju dapur yang lampunya sudah dimatikan oleh Aksa.

"Kecewa karena gagal maju di olimpiade?"

Ares mengekori Sena, dengan gesit bersandar pada lemari pendingin sebelum Sena membukanya. Sebelah alis Sena terangkat, tangannya masih menyentuh ujung lemari pendingin. Sena menjawab ragu. "Tidak?"

"Lalu?"

Sena mengendikkan bahu. "Marah."

Ares mengangkat sebelah alisnya tidak mengerti. Sena terdiam beberapa saat kemudian kembali melanjutkan ucapannya. "Pada diriku sendiri ... karena punya jantung rusak seperti ini."

Pagi, siang, malam sudah Sena habiskan untuk belajar dan pembinaan di sekolah setelah lolos seleksi kecamatan untuk maju pada seleksi kabupaten. Namun, Sena malah gagal sebelum berperang. Sena mendadak drop dan masuk ICU tepat lima hari sebelum seleksi OSN kabupaten dilaksanakan. Sayangnya, saat hari pelaksanaan seleksi tingkat kabupaten, Sena masih belum bisa keluar dari ICU. Sekolahnya didiskualifikasi dan Sena langsung masuk dalam daftar hitam peserta olimpiade.

"Lagipula, sudah tahu jantungnya tidak mampu masih juga memaksa ikut. Kalau lolos lagi dan maju ke tingkat nasional, bisa-bisa nanti Kakak mati muda."

Ares menyambung kalimatnya.

"Ayah, kan, sudah bilang kalau Kak Sena tidak akan bisa ikut kejuaraan apa pun karena jantung Kakak."

Sena menghela napas seraya menatap Ares dengan jengkel. Saudara kembarnya ini memang tidak tahu cara menghibur orang yang sedang bersedih. Terlalu blak-blakan dan kelewat jujur.

"Pantas saja kamu tidak pernah punya pacar meskipun digilai banyak gadis dan populer."

Sena membalikkan badan, membatalkan niatnya untuk mengambil air dari lemari pendingin. Ia mengambil gelas, mengisinya dengan air dari dispenser. Hujan turun semakin deras, suara rintiknya mendominasi dapur yang terasa lengang.

"Heh? Apa hubungannya?" Ares mencibir usai berpikir cukup keras selama beberapa saat. "Mau menuduh kalau aku gay lagi?"

Sena tersedak, airnya masuk ke hidung. Ia terbatuk, kembali meneguk air untuk meredakan batuknya. Sena masih terbatuk beberapa kali, kemudian menatap Ares dengan sebal. Untung-untung Sena tidak menyemburkan airnya.

Sena berdeham gugup. "Apa-apaan, sih? Itu, kan, sudah lama."

Kini giliran Ares yang mengendikkan bahu. "Semua orang bilang begitu, termasuk Kakak juga nyaris seperti mereka. Kalau Ayah tahu, aku bisa dicoret dari kartu keluarga ... mungkin?"

"Besok aku mengadu pada Ayah kalau kamu dihina gay," celetuk Sena santai seraya meletakkan gelas kaca yang ada di tangannya. Menggoda adiknya. Ares menegakkan badan, lantas merengek. "Ih, Kak! Pikasebeleun pisan sih!"

Sena nyaris tertawa mendengar Ares yang langsung menggunakan bahasa sunda ketika merengek. Nyebelin banget sih, maksud Ares.

Melihat Sena tersenyum menahan tawa, Ares sekonyong-konyong mengulas senyum tipis tanpa sadar. Sena menghela napas, menatap ruang tengah yang hanya diterangi oleh lampu kecil redup. Ia menyentuh dadanya.

"Menurutmu, aku bisa bertahan dengan jantung seperti ini sampai aku tua nanti?"

Senyum Ares luntur. "Dokter saja bilang Kakak hanya bisa bertahan lima bulan lagi."

Sena meremas bajunya seraya menurunkan arah pandangannya. Ia tatap lantai marmer dapur yang dingin.

Benar, lalu untuk apa bertahan hidup? Pikir Sena. Toh, Sena juga tidak bisa melakukan hobi-hobinya dengan leluasa. Tidak bisa meraih mimpinya semudah orang lain, semudah Ares.

"Aku boleh minta peluk, Res?"

Dahi Ares perlahan memerah. Ia mengalihkan pandangannya dan berjalan melewati Sena. "Untuk apa? Tidak mau. Aku mau tidur saja."

"Sesama laki-laki berpelukan seperti teletubbies, hih. Tidak mau," gerutu Ares seraya berjalan menjauh.

Sena menurunkan tangan, kepalanya tertoleh. Kedua manik Sena menatap rak pisau yang berada di dekat talenan. Sena berjalan mendekat, mengambil salah satu pisau dapur berukuran kecil dan menatapnya lama.

Mata Sena sedikit melebar ketika Ares tiba-tiba berdiri di sampingnya dan merebut pisau itu. Ares meletakkan pisau tersebut di atas talenan kemudian membalik tubuh Sena. Ia menarik Sena dalam pelukannya secepat kilat. Kedua alis Sena masih terangkat karena kaget, tangannya masih menggantung, enggan memeluk balik Ares.

"Sebentar saja. Aku malu."

Perlahan, Sena melingkarkan tangannya. Memeluk Ares dan menenggelamkan wajahnya pada bahu Ares. Sena memejamkan mata, mengurungkan niat untuk menusuk dirinya sendiri dengan pisau dapur.

Sena tidak pernah meminta akan dilahirkan seperti ini. Setidaknya, Ares tahu itu jauh di dalam hatinya. Ares tahu Sena berulang kali hampir menyerah, berulang kali ingin membunuh dirinya diam-diam karena muak bertahan dari penyakit jantung bawaan yang bersarang sejak Sena lahir.

Kemudian, saat menunggu Sena yang tengah ditangani dokter di ruang ICU, Ares malah tidak sengaja melihat 7 pesan masuk dari Luna di ponsel Sena yang mungkin sengaja tidak dibaca oleh Sena. Kakaknya juga sengaja membisukan notifikasi pesan pada kontak Luna.

Ares yang tadinya penasaran dan berniat membaca saja, mendadak berubah pikiran. Kepala Ares rasaya mendidih.

Ares mengetikkan balasan dengan cepat.

Ares berdiri, berjalan menuju pintu ICU yang masih ditutup. Ia memandang beberapa perawat yang mondar-mandir mengambil alat medis. Mulut Sena sudah terpasang selang ventilator, seorang dokter tengah melakukan CPR pada Sena.

Atensi Ares kembali teralih pada layar ponsel Sena yang terlihat bergerak tanpa muncul nada notifikasi. Luna membalas pesannya.

Ares menekan tombol panggilan suara, namun Luna justru menolak teleponnya dengan cepat. Ares menghela napas. Kembali mengetikkan balasan.

Ares lagi-lagi menekan tombol panggil dan selang beberapa saat kemudian, Luna menjawab panggilannya.

Pandangan Ares masih tertuju pada Sena yang tengah berjuang di dalam ruang ICU.

"Di mana rumahmu?"

Luna menjawab dengan gugup. "P-perumahan Cempaka Hijau."

Ares merogoh kunci motor pada saku celananya kemudian menghela napas. Devan dan Aksa sedang mengurus laporan pengaduan kekerasan anak di kantor polisi usai meninggalkan Leana menangis sendirian di hotel. Mata Ares terpejam sejenak.

Aku percaya Kakak bisa. Kakak sudah janji bertahan. Aku selesaikan urusan dengan Luna dulu, baru ke sini lagi, ya, Kak.

Ares membuka mata, kemudian berlari menyusuri koridor rumah sakit dengan ponsel Sena yang masih menempel di daun telinganya. "Rumah nomor berapa?"

***

Ares membuka helm fullface yang ia kenakan kemudian mengibaskan rambut yang turun memutupi dahinya. Ares turun dari motor usai meletakkan helm pada tangki motor seraya menyisir rambutnya dan menghela napas.

Luna yang baru ke luar dari dalam rumah lantas langsung berjalan cepat menghampiri Ares yang masih tidak bergerak dari tempatnya usai turun dari motor.

"Kenapa tiba-tiba, Res?" ucap Luna pelan.

"Aku langsung intinya saja. Tidak bisa berlama-lama. Sena sendirian di rumah sakit," tutur Ares seraya menatap wajah Luna tanpa ekspresi. Sementara Luna sendiri kini hanya mengangguk seraya menggigit bibir bawahnya.

"Tolong berhenti, Lun. Bisa?"

Luna mengernyit tidak mengerti.

"Kalau memang kamu tidak suka Sena yang sakit-sakitan dan hanya menganggapnya cari perhatian, jauhi Sena saja tidak usah banyak bicara. Mulut atau jarimu tidak usah berulah lagi."

Luna terperangah. "Tapi ... Sena---"

"Perlu kuperjelas lagi? Aku tidak pernah sekali pun suka kamu dan tidak punya waktu untuk gadis sok percaya diri seperti kamu." Ares mengembuskan napasnya kasar, kelewat dongkol. "Berhenti terobsesi dan berhenti menyakiti orang lain karena obsesimu."

Ares mendadak teringat sesuatu. Pelecehan itu.

"Ah, satu lagi. Tahun lalu, yang menolongmu sewaktu kamu dilecehkan dengan anak sekolah bukan hanya aku."

Ares diam sejenak, mengamati perubahan ekspresi Luna.

"Sena." Tangan Ares terkepal. "Sena yang lebih dulu memberitahuku kalau kamu dilecehkan dan orang yang memukul mereka memang aku."

Ares menyambung kalimatnya. "Kamu hampir pingsan saat itu, mungkin kamu hanya melihat samar-samar. Tapi, orang yang memeluk kamu dan menutupi tubuh setengah telanjangmu dengan seragam sekolahnya bukan aku. Itu Sena. Aku hanya berkelahi dengan mereka, mana mau aku menyentuh kamu."

Ares membuka mulut, ingin mengeluarkan semua makian di kepalanya namun ia urungkan ketika melihat kedua netra Luna nampak berkaca-kaca.

"Sena masuk rumah sakit?"

Salah satu sudut bibir Ares tertarik ke atas. "Hah, kenapa? Khawatir? Menyesal? Atau hanya formalitas karena kamu sahabat Sena? Atau ada maksud lain? Kamu---"

Mata Ares kembali terpejam sesaat. Ia nyaris meluapkan seluruh emosinya pada Luna. Usai menenangkan diri, Ares lantas menaiki motor ninjanya lagi tanpa berucap sepatah kata apa pun.

Luna sekonyong-konyong mendekat, menyentuh lengan Ares. "Res ... Ares, maaf."

Ares menepis pelan tangan Luna kemudian memakain helmnya. Ia membuka kaca helm fullface-nya kemudian menatap Luna yang tengah menunduk dan sibuk menghapus air mata.

"Minta maaf pada Sena, bukan padaku." Ares terdiam sejenak. "Tapi, lebih baik tidak usah sama sekali daripada kamu malah membuat Sena mati karena stres."

Dada Ares berdenyut nyeri, firasatnya mendadak tidak bagus. Di kepalanya hanya terbayang wajah Sena. Ares sedikit merintih saat dadanya seperti ditekan sekuat tenaga.

Kak? Kak Sena? Jangan bercanda. Kakak bilang mau bertahan.

Ares menurunkan tangan. "Sorry, Lun. But, you're the worst girl I ever met. Aku duluan."

Ares menutup kaca helmnya dengan dada yang masih berdenyut nyeri. Motor Ares menderu, melaju meninggalkan Luna yang menangis di depan rumahnya seorang diri. Ares tidak peduli tetangga Luna akan berpikir bahwa dirinya adalah laki-laki brengsek yang membuat perempuan menangis di malam hari. Persetan.

Ares menarik gas motornya dengan mata yang mulai berkabut karena air mata, seketika menyesal karena sudah nekat melabrak Luna.

Mau bagaimana lagi? Ares ingin semua urusan dengan Luna atau pun Leana selesai. Ares ingin Sena tidak lagi memikirkan dua perempuan kacau itu di hidupnya.

Ares ingin Sena bahagia.

BRAK!

Suara benturan keras terdengar dari kedua motor yang berada sepuluh meter di depan motor Ares. Kedua mata Ares melebar. Air matanya menetes, membasahi pipi. Ares mengeratkan cengkeraman tangannya pada setir, mencoba mencari celah diantara kecelakaan motor di depannya sambil mengurangi tarikan gas dan beralih menarik rem tangan.

Ares sontak menginjak pedal rem kaki dengan penuh dan langsung melepas tarikan gas saat salah satu pengendara yang kecelakaan terpental nyaris mendekati motornya. Ares membanting setir, motornya tergelincir dan ambruk kemudian menabrak motor matic.

Suara benturan motor terdengar dua kali lipat lebih keras. Mobil yang juga tidak bisa menghindar, menabrak motor Ares.

Ares terpelanting setelah terseret di aspal kemudian tubuhnya menghantam aspal cukup keras. Kepala Ares yang masih terpasang helm membentur Aspal beberapa kali, seketika membuat pandangan Ares berputar hebat.

Tubuhnya tidak bisa ia gerakkan. Dengan kesadaran yang masih tersisa, Ares menatap tangannya dari balik kaca helm yang sudah tidak lagi bening karena tergores aspal. Tangannya tergeletak lemas di aspal, penuh luka dan mulai berdarah. Pandanganya memburam. Air mata Ares menetes. Aroma anyir dari darah yang merembes pada dahinya mulai menyeruak.

"Kak ...," lirih Ares sebelum pandangan Ares mulai menggelap, desas-desus warga sekitar juga perlahan menghilang. Setelah itu, mata Ares terpejam sepenuhnya.

Ares kehilangan kesadaran setelah terpental cukup jauh dari motornya dan terbaring di aspal dengan sekujur badan yang kebas. Ares kecelakaan.

Continue Reading

You'll Also Like

560K 37.9K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
90.6K 5.5K 47
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA, SEBAGAI TANDA MENGHARGAI] Kenzie Valerian ketua dari Trouble Makers. Mempunyai sifat yang emosional, cuek, pemabuk, dan bahk...
11.9K 2.5K 44
💢Stop plagiat Bercerita tentang perjuangan seorang remaja penginap Alzheimer, di mana hal itu membuat ingatannya bisa hilang kapan saja. Dan di per...
183K 36.4K 28
Dua tahun setelah kepergian Langit, tiba-tiba saja muncul seseorang yang sangat mirip dengannya, bagaikan pinang dibelah dua. Membuka kotak pandora y...