LEADER OF THE MAFIA ; AARON C...

By queenaars

139K 7.6K 784

#TheMafiaSeries1 [PART BELUM DI HAPUS SELURUHNYA] _________________________________________ "Aku tidak terpe... More

prolog
CAST.
The Mafia 1 - The First Meet (Pertemuan pertama)
The Mafia 2 - The Mansion
The Mafia 3 - Aaron's game (Permainan Aaron)
The Mafia 4 - Heartbeat (Detak Jantung)
The Mafia 5 - About Meeting (Tentang pertemuan)
The Mafia 6 - A Request (Sebuah Permintaan)
The Mafia 7 - About The Past ( Tentang Masa Lalu)
The Mafia 8 - The Feeling (Perasaan)
The Mafia 9 - Dark Bloods
The Mafia 10 - Desire (Hasrat)
The Mafia 11 - Aaron's Company
The Mafia 12 - Pursuit (Pengejaran)
The Mafia 13 - The Day With Aaron 1 (Hari Bersama Aaron)
The Mafia 14 - The Day With Aaron 2 (Hari Bersama Aaron)
The Mafia 16 - Disappointed (Kecewa)
The Mafia 17 - Something Hapened (Sesuatu telah terjadi)
The Mafia 18 - The Truth ( Kebenaran )
The Mafia 19 - Another Mafia ( Mafia Lain )
The Mafia 20 - Fight ( pertarungan )
The Mafia 21 - Apology (Permintaan Maaf)
The Mafia 22 - Hospital ( Rumah Sakit )
The Mafia 23 - Sorry and Thank You ( Maaf dan Terima Kasih )
The Mafia 24 - Discus (Diskusi)
The Mafia 26 - Gift ( hadiah )
The Mafia 27 - Bryan and Reline
The Mafia 28 - Confession of Love 1 ( Pengakuan Cinta )
The Mafia 29 - Confession of Love 2 ( Pengakuan Cinta )
The Mafia 30 - He said .... Bucin!
The Mafia 31 - Aaron's Past ( Masa Lalu Aaron )
The Mafia 32 - Aaron's Past 2 ( Masa Lalu Aaron )
The Mafia 33 - Inner Wound (Luka Batin)
The Mafia 34 - Collins Family ( Keluarga Collins )
The Mafia 35 - Her Sister (Saudara Perempuannya)
The Mafia 36 - Fiance ( Tunangan )
Pre Order Gelombang Pertama!
PO ke 2
Cerita Baru
PO cetakan ke 2!

The Mafia 37 - A Quarrel (Pertengkaran)

3.6K 204 61
By queenaars

LEADER OF THE MAFIA

Happy Reading!

Allura menuruni tangga. Melewati meja makan tanpa menoleh sedikitpun, mengabaikan ibunya yang sedang makan siang. Seperti biasa, ia akan melakukan hal itu jika sedang merajuk pada orangtuanya.

"Sayang, makan dulu." Tegur Margareth saat melihat Allura
yang hanya menuangkan air pada gelas kecil. Meminumnya hingga tandas.

"Aku mau pergi" sahut Allura tanpa menoleh. Kembali menaiki tangga, menuju kamarnya untuk bersiap-siap. Ya, hari ini ... dia akan mengunjungi Aaron. Tidak peduli ada Alice disana, ia hanya harus merebut miliknya kembali.

Sementara Margareth menghela nafas berat. Sepertinya, anak itu masih marah. Dia harus segera membujuk putri sulungnya itu. Kebiasaan yang sering sekali Margareth lakukan adalah membujuk Allura yang sedang merajuk. Karena, ia tidak suka jika ada salah satu putrinya yang marah. Meski, yang sering marah hanyalah putri sulungnya.

Sebenarnya ... kedua orangtua Allura juga perhatian padanya. Hanya saja ... Allura sudah terlanjur memendam dendamnya pada Alice.

Margareth segera menyelesaikan makannya, lalu segera menyusul Allura ke kamarnya.

Sesampainya disana, Margareth melihat bahwa Allura telah berpakaian, sedang memoleskan make up pada wajahnya. Ia hanya melirik ibunya sekilas lalu kembali fokus.

"Kamu mau kemana?" Tanya sang Ibu. Mendekati putrinya yang terlihat sangat cantik sekarang.

"Apa urusannya dengan Mommy? Bukankah jika aku pergi, Mommy dan Daddy juga tidak peduli?" sahut Allura sinis.

Margareth tampak terkejut, "kamu bicara apa, nak? Kami sangat mengkhawatirkanmu. Saat kamu menghilang pun Mommy dan Daddy bekerja keras untuk mencarimu"

"Hanya karena Aaron yang terus mengusik kalian kan?" Allura tersenyum getir. Tak ada yang benar-benar menyayanginya. Entah ini nasib sial atau bukan, dia dilahirkan dari keluarga kaya yang mementingkan kekuasaan.

Margareth mulai merasakan matanya yang memerah. "Tidak, nak. Mommy benar-benar mencarimu karena mengkhawatirkanmu. Kamu tidak tahu betapa bahagianya kami saat kamu sudah di temukan"

"Ya ya ya. Aku akan berusaha mempercayainya. Sekarang, aku akan pergi" Allura berdiri. Menatap sekilas ibunya, lalu bersiap pergi. Namun, tangannya di cekal oleh ibunya.

"Kamu belum menjawab pertanyaan Mommy. Kamu mau kemana?" Tanya sang Ibu. Memperhatikan Allura yang terlihat mencurigakan.

"Ke rumah Aaron. Aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku sejak awal" jawab Allura dengan santai. Menyilangkan tangannya di dada.

Margareth terkejut. Menggeleng, meraih tangan putrinya. "Sayang, jangan seperti ini. Aaron sekarang sudah bersama Alice. Jadi ..."

"Aku yang lebih dulu bertemu Aaron, Mom!. Alice saja yang tidak tahu diri." Allura kini tersulut emosi. Menatap ibunya tidak suka.

"Nak. Alice itu adalah adikmu" Margareth merasakan matanya yang mulai berair.

"Adik?" Allura tertawa getir. "Adik mana yang merebut kebahagiaan kakaknya, Mom?" Lirih Allura.

"Allura, Alice tidak bermaksud seperti-"

"Terus! Terus saja membela Alice!" Allura menatap ibunya terluka. Menggeleng, dengan air matanya yang mulai menetes. "Mommy ... hanya sayang pada Alice kan? Iya kan?! Semua perhatian Mommy hanya untuk Alice saja! Selalu, selalu saja Alice ,Alice ,dan Alice! Allura kapan?"

Allura merasa sesak. Kembali mengingat segala kenangan masa lalunya bersama Alice. Dimana sejak kelahiran adiknya itu, semua fokus dan perhatian hanya pada gadis kecil itu. Allura? Dia seolah sudah di lupakan.

Margareth menangis. Menatap Allura dengan tatapan sayang. "Mommy tidak bermaksud seperti itu, sayang ... Mommy sangat menyayangimu"

Allura menggeleng. Melepaskan pegangan tangan ibunya. "Bohong ... MOMMY PEMBOHONG!"

Gadis itu segera berlari keluar dari kamarnya. Menuruni tangga secepat mungkin. Membuat ayahnya yang sedang membaca koran di ruang tamu terkejut bukan main. Ia berdiri. "Allura? Kenapa, sayang?"

Allura melirik tajam, dengan mata yang terus mengeluarkan air mata. "DADDY SAMA SAJA! TIDAK ADA YANG SAYANG PADA ALLURA! JAHAT!"

Richard tampak terkejut,
"Allura .... "

Gadis itu keluar dari Mansion tersebut dengan tergesa. Memasuki mobil Porsche-nya. Melesat cepat, meninggalkan kedua orangtuanya yang terlihat cemas.

●●●

Alice sedang asik memotret dirinya. Membuat Albert yang berada di dekatnya merasa sedikit risih dengan kelakuan gadis itu. Bukan tanpa alasan, gadis itu hanya bergaya saja di depan kamera, tanpa tahu kapan akan berakhir. Tapi, Alice tidak peduli. Hingga ia mendapatkan potretnya yang menurutnya cukup bagus.

Alice tersenyum senang. Mengabaikan Axel, Albert, dan Marcell yang sedang sibuk bercengkerama. Aaron? Lelaki itu sedang sibuk di ruang kerjanya. Membuat Alice enggan untuk mengganggunya. Alhasil, Alice hanya mendengarkan ocehan Marcell sedari tadi.

"Xel, apa kau tahu? Aku memiliki bakat menjadi seorang peramal" sahut Marcell dengan nada bangga. Tersenyum penuh arti kepada mereka semua.

Axel yang sedang bermain ponsel pun, meliriknya malas. "Terserah kau saja"

"Tidak, tidak. Aku serius! Kau tahu? Saat Aaron masuk rumah sakit aku sudah punya firasat sebelumnya. Benarkan, Albert?" Marcell kini menatap Albert. Meminta pembelaan dari sahabatnya itu.

"Hm, ya. Itu hanya kebetulan" Albert berdecak. Merasa kegiatan menontonnya di usik oleh Marcell. Ya, Albert dan Alice sedang sibuk menonton sebuah film.

"Pokoknya aku sudah merasakan itu sebelumnya. Aku juga mempunyai firasat saat kau tertembak dulu. Bagaimana menurutmu, Axel?" Marcell menatap sahabatnya itu.

"Apakah itu adalah sesuatu yang perlu di banggakan?" Alice tertawa geli. Mana ada ramalan yang benar? Ia Menatap Marcell dengan sorot humor. "Dasar dukun"

Sontak, Marcell melebarkan matanya. "Awas saja kau, Alice. Jangan karena Aaron sudah melamarmu, kau bisa menistakanku begitu saja."

Alice memeletkan lidahnya ke arah Marcell. Ya, seluruh sahabat Aaron sudah mengetahui hal tersebut. Membuat mereka bertiga cukup terkejut mendengar hal itu. Mereka tidak tahu Aaron akan seserius itu pada Alice.

"Bilang saja kau iri. Sampai sekarang kan kau belum laku" Albert menatap remeh pada Marcell.

"Seolah kau punya kekasih saja. Mau ku ambilkan cermin? Hah?" Sungut Marcell. Mendengus kesal.

"Umurku masih muda. Setelah Aaron, yang seharusnya menikah adalah Axel" Albert melirik Axel. Membuat lelaki itu terkejut. Mendongakkan kepalanya. Menatap malas pada Albert.
"Aku belum mau menikah"

"Ya, iyalah. Bagaimana dia bisa menikah. Cinta saja ia tidak tahu. Aku tidak mau ya punya sahabat yang tidak normal" Marcell terlihat pura-pura kesal. Padahal, ia sedang meledek Axel. Terbukti, lelaki itu kini menatap Marcell tajam.

"Meski tanpa cinta, aku juga bisa menikah" ketus Axel.

Marcell menyilangkan tangannya di dada. "Kau yakin? Bagaimana jika kau jatuh cinta?"

"Tidak akan terjadi. Aku akan memberikan ferrari ku padamu, jika sampai itu terjadi." Sahut Axel dengan santai. Padahal, mobil ferrari-nya itu merupakan mobil kesayangannya. Namun, ia tidak khawatir. Toh, dia juga tidak akan jatuh cinta, kan?

Marcell heboh, ia langsung berdiri. "Benar, ya? Kalian dengar itu kan? Woah, sejak lama aku memang menginginkan mobil seperti milikmu. Dan akhirnya akan terwujud"

Axel menatapnya malas. "Mimpi"

Axel kemudian merasakan ponselnya yang bergetar. Membuat lelaki itu mengerutkan keningnya begitu melihat nama yang tertera disana. Ya, seseorang yang menelfonnya adalah salah satu anggota Mafia yang berjaga di gerbang Mansion. Axel segera mengangkatnya. "Ya, Halo"

Axel terperanjat. "Siapa kau bilang?!"

Seluruh yang hadir disana pun terkejut. Ikut merasa was-was melihat ekspresi Axel yang sangat terkejut.

"Ingin bertemu Alice?" Axel melirik Alice. Mendengarkan setiap ucapan penelfonnya. Sembari menatap ragu. "Tunggu sebentar"

Axel menjauhkan ponselnya. Menatap gadis itu. "Alice ... ada Allura di luar"

Alice terbelalak. Kakaknya ... ada di luar? Untuk apa? Dia tidak mendengar kabar sedikit pun bahwa Allura akan datang.

"Wahh, sepertinya akan ramai" Marcell berdecak. Kemudian mengaduh kesakitan saat Albert menyikut perutnya. Menyuruhnya diam.

"Bagaimana Alice? Izinkan saja? Allura bilang, dia mau bertemu denganmu" sahut Axel.

Alice berfikir sebentar. Memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi. Meski difikirannya di penuhi dengan fikiran yang negatif, gadis itu tetap berusaha berfikir jernih. Mungkin, memang ada sesuatu yang Allura ingin katakan padanya. "Ya, izinkan saja. Aku akan bertemu dengannya"

Axel mengangguk. Kembali berbicara dengan ponselnya. Menyuruh orang tersebut membuka gerbang untuk Allura.

"Mau kami temani?" Tanya Albert. Melihat kerisauan yang begitu jelas pada gadis itu.

Alice mendongak, tersenyum kecil. "Tidak perlu. Aku ingin berbicara dengan kakakku berdua saja"

Albert dan Marcell mengangguk. Disusul oleh Axel yang baru saja selesai menelfon. "Kau bisa menunggunya di depan."

Alice mengangguk. "Terima kasih, Axel"

Lalu, Alice pun segera ke depan. Menunggu kedatangan Allura dengan perasaan berdebar. Matanya kemudian menangkap sebuah mobil porsche yang sangat ia kenali. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, begitu melihat Allura yang kini telah turun dari mobilnya, lalu berjalan ke arah Alice.

Seperti biasa, Allura sangat cantik di matanya. Hal itu kadang membuat Alice cukup iri dengan Allura. Dia terkenal, cantik, gaya pakaiannya yang bagus, juga memiliki banyak teman. Berbeda dengannya dulu.

Ah ... Alice dan Allura memang saling memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, yang membuat mereka iri satu sama lain.

Alice tersenyum, menyambut kakaknya. "Hai, kak. Apa kabar?"

Allura menyilangkan tangan di dada. Menatap dingin pada Alice. "Jadi, kau tinggal disini juga ya?"

"Benar-benar menggantikan diriku. Apa sekarang kau merasa puas? Kau mengambil perhatian Mommy dan Daddy, lalu sekarang mengambil milikku juga? Cih, adik macam apa kau!" Allura masih belum melupakan pertengkarannya dengan kedua orang tuanya tadi.

Alice terkesiap. Baru saja ia akan menyambut hangat kedatangan kakaknya, namun Allura sudah mengatakan hal yang begitu kejam padanya. Gadis itu berusaha tersenyum, "Maaf, kak Allura. Tapi, aku tidak pernah merasa melakukan itu"

"Karena kau tidak tahu diri! Kau tahu? Aku bertengkar dengan Mommy karena dia terus saja membelamu! Kenapa sih? Kenapa kau harus dilahirkan di dunia ini?" Allura menatap nanar pada Alice. Mengepalkan tangannya. Setiap kali ia melihat Alice, hanya ada kebencian yang ia rasakan.

"Kenapa kakak sangat membenciku?" Tanya Alice dengan suara bergetar. Merasa sakit yang amat dalam karena perkataan Allura. Dia terus bertanya-tanya, apa salahnya selama ini. Mengapa Allura selalu saja membencinya? Padahal .. Alice sangat menyayangi kakaknya itu.

"Masih bertanya? Karena kau, hidupku menderita! Semua ... semua orang hanya memperhatikanmu! Semua sayang padamu! Bahkan ... orang yang aku suka ternyata menyukaimu juga. Semua hanya kau, kau, dan kau saja. Aku kapan Alice?" Allura menggigit bibirnya. Air matanya mulai mengalir. Hari ini, ia benar-benar akan mengeluarkan segala kebenciannya pada Alice.

Sakit itu masih terasa. Disaat dirinya yang terus saja meminta perhatian, namun tersisihkan karena kehadiran Alice yang terus saja merengek. Hingga akhirnya, kata-kata yang paling ia benci sampai sekarang pun, keluar

'kamu itu sudah besar, Allura'

'bisa tidak lakukan sendiri? Kamu harus belajar mandiri. Lihat adik kamu, dia masih kecil'

'Kamu itu sudah jadi seorang kakak, jangan manja'

Juga, bagaimana lelaki yang ia cintai menolaknya mentah-mentah karena menyukai adiknya sendiri. Hal itu tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Semua kenangan itu ... masih sangat membekas.

"Aku .. juga ingin perhatian. Kau tahu? Aku berusaha mengerti, bahwa kau adikku. Aku harus bersikap layaknya seorang kakak padamu. Tapi ... semakin hari kau semakin menyebalkan saja!" Allura terisak. Namun masih dengan tegar menatap Alice.

"Ma-maaf, kak ... aku-"

"Aku tidak butuh maafmu, yang aku butuhkan adalah pergi dari sini sekarang juga!"

Alice menangis sesegukan. Tidak menyangka bahwa selama ini Allura begitu membencinya, karena merasa tidak mendapatkan perhatian. Tapi ... tentang lelaki yang menyukainya itu, bukan salah Alice kan? Alice tidak pernah merebutnya dari Allura. Bahkan, jika Alice juga menyukai lelaki itu, maka dia akan menolaknya begitu tahu bahwa Allura juga menyukainya.

"Tentang lelaki yang kakak suka itu, aku tidak pernah menerimanya, kak. Aku sangat menghargai perasaan kak Allura" sahut Alice. Memberanikan dirinya untuk menatap Allura.

"Oh, Benarkah? Lalu mengapa sekarang kau masih bersama Aaron?"

Alice menelan ludahnya. Menggeleng pelan. Jika lelaki itu Aaron ... rasanya sulit sekali untuk melepas lelaki itu bergitu saja. Tapi, bukankah sejak dulu Alice juga mengalah untuk lelaki yang kakaknya suka? Bahkan rela untuk tinggal di Amerika, jauh dari keluarganya, hanya untuk melihat kakaknya bahagia dengan lelaki tersebut. Padahal, saat itu, Alice juga mencintai lelaki tersebut. Bukankah ... jika Alice kembali mengalah, itu ... tidak adil?

Atau Alice memang pantas mendapatkannya?

"Jika kau masih menganggapku sebagai kakakmu. Maka aku minta, tinggalkan Aaron. Dan pergi dari sini!" Sahut Allura dengan suaranya yang lantang.

"Alice tidak akan pergi" timpal seseorang. Membuat Alice dan Allura menoleh. Terkejut melihat kedatangan seorang lelaki secara tiba-tiba.

Aaron melangkah mendekati Alice. Menyorot dingin pada Allura. "Jika ada yang harus pergi. Maka ... itu adalah dirimu, Allura"









_________________________________________

Haii, semuanya💜💜. Rasanya sudah lama sekali sejak saya update, atau hanya saya saja yang merasa seperti itu?😅😅. Maaf yaa, tugas saya cukup banyak soalnya hehe, juga saya harus mengumpulkan 'mood', untuk menulis part ini. Meski sebenarnya saya sudah ingin sekali menulisnya.

Ohiya, Terima kasih untuk para pembaca yang masih menunggu dan mau baca cerita ini💜💜.

Aku baru aja buka akun instagram, nih : queenaars_ . Yuk di follow, untuk follback bisa DM ya! Disana akan ada informasi mengenai cerita baru dan sekuel The Mafia, in syaa allah!😉

Jangan lupa vote + comment ya💜💜

-queenaars-

Continue Reading

You'll Also Like

623K 56K 54
⚠️ BL LOKAL Awalnya Doni cuma mau beli kulkas diskonan dari Bu Wati, tapi siapa sangka dia malah ketemu sama Arya, si Mas Ganteng yang kalau ngomong...
392K 43.3K 26
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...
235K 17.6K 43
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
8.8M 109K 44
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...