My Coldest Gus

By Desisetia

7.6M 671K 95.2K

⚠ AWAS BAPER! ⚠ Religi - Romance Karena kesalahan yang sangat fatal, Sashi harus mendapat hukuman dikirim ke... More

Hukuman Ayah
Penjara Suci
Mencoba Kabur
Kabar dari Langit
Kutukan Semesta
Malam Pertama dengan Baginda Raja Pluto
Semanis Es Krim
Tolooong!
Pertanyaan Mengejutkan
Sashi Benci Sugus!
Matematika Cinta
Perhatian Sugus
Perhatian Sugus (2)
Gara-gara Qurrotul Uyun
Keberkahan yang Hilang
Balutan Ego
Sebuah Kisah dari Pluto
Pertanyaan Tanpa Jawaban
Di Balik Kisah Zaid Bin Haritsah
Aku, Kau, dan Puing-puing Kenangan
Kisah Bumi dan Bulan
Titik Nadir
Cemburu Menguras Hati
Ternyata Sugus Bukan Makhluk Hidup
Ada Sakit yang Tak Bisa Dijelaskan
Sugus Mau Poligami (1)
Sugus Mau Poligami (2)
Sugus Mau Poligami (3)
Sugus Mau Poligami (4)
Sentuh Aku, Gus!
I lost my...
Satu Sama
Kata-kata Teka-Teki
Mantra Cinta Gus Omar
Sugus Mulai Gombal
Lamaran Mendadak
Iseng-iseng Berhadiah
PENGUMUMAN
Cemburunya Gus Omar
Ceritanya Nge-Date
Malam Zafaf
Bucin Detected
Oryza Sativa's Daddy
Bad Day
Eksekusi
In Ahsantum, Ahsantum Li Angfusikum
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (1)
PEMBERITAHUAN
Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (2)
Ujian Keimanan
Fakta Baru
Press Conference
Hai
Dwi's Diary
Kangen-kangenan
Nona Bulan?
Bertemu Alan Lagi
Bumi Menangis
Sugus, What's Wrong With You?
Bumi yang Kehilangan Bulannya

Semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah Binti Abu Bakar (3)

92.1K 11.8K 4.2K
By Desisetia

Silakan diputar mulmednya biar lebih menghayati *caelaah. Anggap aja yak itu suaranya Sugus hihi.

Happy reading

Makasih udah baca

Luvvv 💜

Salam, Emaknya Sashi

****

Ingin sekali aku bertanya banyak mengenai masa lalu Sugus kepada Ning Aisyah, namun sepertinya waktunya nggak tepat. Lagi pula hari ini adalah hari bahagianya, aku nggak mau merusaknya begitu saja. Terlebih menambah beban pikiran Ning Aisyah yang sedang gugup.

Terdengar suara pintu yang diketuk seseorang dari luar. Ning Aisyah mengizinkan aku untuk membukanya. Sontak kakiku melangkah ke arah benda itu dan setelah dekat, knop pintu aku gerakkan hingga muncul seorang wanita paruh baya yang nggak asing lagi untukku. Beberapa detik ia terdiam sejenak, tubuhnya seperti disulap kaku saat melihatku. Namun itu hanya berlangsung sesaat, sedetik kemudian tubuhnya menubruk tubuhku dan membawa ke dalam dekapannya.

Terdengar suara isakan dari balik tubuhku. Rupanya beliau sedang menangis. Tanganku refleks mengusap punggungnya agar tangisan itu mereda.

"Maaf..." Rupanya beliau tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya kata itu yang keluar bersamaan dengan sedu sedannya.

"Sashi nggak apa-apa, Umi," kataku mencoba menenangkannya. Aku rasa Sugus sudah cerita pada Umi tentang apa yang aku alami. Ya Allah, ternyata Umi mertuaku ini sungguh lembut hatinya.

Umi merenggangkan dekapannya pada tubuhku. Dielusnya wajahku dengan kedua tangannya. Aku merasakan kasih sayang yang begitu besar darinya. Meskipun jauh dari Bunda, aku nggak kehilangan sosok ibu karena ada Umi. Umi memastikan bahwa aku baik-baik saja dan setelah itu mengecup pipiku dengan penuh kasih.

Kedua tangan Umi memegang pergelangan tanganku. Netranya mengamati perban yang masih terpasang di telapak tanganku. Lama-kelamaan netra itu kembali berair namun aku tebak ia tahan agar nggak terjatuh.

"Kata dokter kalau Sashi rajin minum obat pasti cepet sembuh kok, Mi. Umi jangan khawatir ya."

Kepalanya mengangguk. Umi meniup-niup punggung tanganku yang tertutup perban secara bergantian.

"Ya ampun, aku baru nyadar. Itu tangan kamu kenapa, Sas?" tanya Ning Aisyah.

"Nggak papa, Ning. Cuma sedikit ada insiden aja hehe," jawabku seraya menunjukkan senyum model iklan pasta gigi.

Ternyata Umi ke kamar ini untuk menjemput Ning Aisyah ke tempat acara. Aku dan Umi mendampingi Ning Aisyah dengan suka cita. Ning Aisyah memegang tanganku dan bisa aku rasakan tangannya itu sedingin es.

Setelah sampai di tempat acara ternyata tidak seperti bayanganku. Ini pernikahan pertama yang aku datangi berkonsep islami dimana tamu perempuan dengan laki-laki di pisah. Meskipun tempat ini awalnya adalah aula pesantren, tapi sudah disulap sedemikian rupa menjadi tempat pernikahan yang indah. Sudah pasti tentunya bertema merah muda ya bund.

Kedatangan aku, Umi, dan Ning Aisyah membuat pasang mata para tamu yang sudah datang tertuju pada kami. Lebih tepatnya sih ke arah pengantin ya. Atau kalau ada yang fokus padaku pasti aku dianggap hanya sebagai pinggiran martabak saja. Pasalnya mereka itu cantik-cantik sekali seperti titisan Cleopatra. Mengapa aku berkata demikian? Aku nggak tahu Ning Aisyah dapat teman atau kerabat dari mana yang jelas penampilan mereka sebelas dua belas dengan putri dari kerajaan Arab. Sepertinya saat pembagian wajah, mereka datang lebih dulu dan mendapat antrean paling awal. Hingga mendapatkan struktur wajah sempurna.

Kami dihadapkan oleh layar televisi sekitar 55 inch yang memuat gambar prosesi akad nikah yang diadakan di masjid. Benda persegi panjang itu menampilkan wajah Om Ransi selaku mempelai pria, lelaki paruh baya yang aku taksir adalah abinya Ning Aisyah karena wajahnya mirip dengan yang aku lihat di foto, Abi dan juga Sugus. Sesekali kamera yang terhubung dengan televisi itu mengambil gambar suasana sekitar masjid yang didominasi oleh para santri.

Layar kini sudah berganti dengan wajah Sugus yang tengah memegang mikrofon. Sepertinya ia akan membaca Al-Qur'an. Ternyata selain jadi saksi bersama dengan Abi, ia juga didaulat menjadi Qari.

"A'udzubillahi minasysyaithanirrajim." Baru Ta'awudz saja bulu kudukku langsung merinding mendengar suaranya. Suasana ruangan yang awalnya riuh seketika menjadi sunyi."Bismillahirrahmanirrahim."

"Arrijaalu qawwaamuuna 'alan nisaaai bimaa fadhdhalallahu ba'dhahum 'alaa ba'dh, wa bimaaa anfaquu min amwaalihim. Fashsholihaatu qaanitaatun haafidzootun lil ghaibi bimaa hafidzallaah. Wallaatii takhaafuuna nusyuuzahunna fa'idzuuhunna wahjuruuhunna fil madhaaji'i wadhribuu hunn. Fain atha'nakum falaa tabghuu 'alaihinna sabiilaa. Innallaha kaana 'aliyyan kabiiraa." (QS. 4: 34)

"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. Qur'an Surah An-Nisa ayat 34."

"Allaahu akbar! Bismillahirrahmanirrahim." Lantunan ayat Qur'an telah berganti surah yang lain. "Wa min aayaatihiii an khalaqa lakum min anfusikum azwaajal litaskunuu ilaihaa waja'ala bainakum mawaddataw warahmah. Wainna fii dzaalika la aayaatil liqawmiy yatafakkaruun." (QS. 30: 21)

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Qur'an surah Ar-Rum ayat 21."

"Allaahu Akbar! Bismillahirrahmanirrahim. Yaa ayyuhal ladziina aamanuu quu anfusikum wa ahlikum naaraaw waquuduhannaasu walhijaaratu alaihaa malaaaikatun ghilaadzun syidaadullaa ya'shuunallaahu maa amarahum wayaf'aluuna maa yu'maruun." (QS. 66: 6)

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Qur'an surah At-Tahrim ayat 6."

"Shadaqallaahul 'adziim."

Seisi ruangan dibuat terdiam dengan kalam cinta Sang Ilahi yang dilantunkan oleh Sugus. Tanpa terasa pipiku sudah basah mendengar suaranya yang begitu merdu masuk dengan sopan ke telinga. Seolah seluruh anggota tubuh bertasbih saat mendengar ayat-ayat cinta dari Sang Pencipta, ditambah dengan merduanya suara yang berasal dari surga. Ya Allah, aku sangat bangga menjadi istrinya.

Kini layar berganti dengan gambar Om Ransi yang tengah menggenggam tangan Abinya Ning Aisyah. Ekor mataku melirik ke wanita cantik yang ada di sampingku, meski memakai riasan sangat kentara sekali kalau ia sedang gugup yang sepertinya bertambah dua kali lipat saat di kamar tadi.

"Ya Allah, ya Allah, ya Allah," gumamnya berkali-kali. Aku mengelus punggungnya seraya memberikan ketenangan.

"Senyum Ning biar gugupnya hilang," saranku. Ning Aisyah mengikuti, namun karena terlalu gugup tarikan sudut bibirnya terlihat kaku. Sehingga ekspresi wajahnya menjadi lucu.

"Yaa Muhammad Ransi Al-Hadad." Abinya Ning Aisyah mulai bersuara menggunakan mikrofon. "Uzawwijuka 'ala ma amarallahu min imsakin bima'rufin aw tasriihim bi ihsan, Yaa Muhammad Ransi Al-Hadad?"

"Na'am."

Seketika aku seperti memasuki mesin waktu dan kembali kesaat-saat dulu ketika Sugus mengucapkan ijab qabul di depan ayah. Bahkan di layar, wajah Om Ransi dan Abinya Ning Aisyah berubah menjadi wajah Sugus dan Ayah. Aku mengedipkan mata berkali-kali seraya menguceknya, alhasil layar kembali menjadi kenyataan sesungguhnya.

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Sah!"

"Alhamdulillah."

Aku tertinggal moment saat Om Ransi mengucapkan ijab qabul. Ning Aisyah sudah memeluk Umi dan bergantian kini memelukku. Rasa gugup di wajahnya menghilang entah kemana dan berganti dengan senyuman cantiknya.

Umi memberikan selamat dan beberapa wejangan kepada Ning Aisyah seperti anaknya sendiri. Keduanya kembali berpelukan. Umi terlihat menyeka air matanya karena terharu. Omong-omong sedari tadi aku nggak melihat Uminya Ning Aisyah, beliau kemana, ya?

"Selamat ya Ning, akhirnya sah juga jadi istri," ucapku yang turut senang dengan hari bahagianya ini.

"Terima kasih ya, Sashi." Senyum itu sudah terlihat lepas. Tidak seperti tadi yang kaku seperti uang baru.

"Sama-sama, Ning."

"Tadi tuh yang baca Qur'an Gus Omar ya?" Terdengar suara setengah berbisik dari belakangku. Sontak saja kepalaku refleks melihatnya saat nama suamiku disebut. Ternyata ada dua wanita cantik di sana.

"Iya, kenapa? Naksir?" tanya yang satu lagi.

"Kalo iya kenapa?"

"Calon suami gue tuh."

Hah? Bentar-bentar. Sepertinya telingaku salah dengar.

"Apaan, gue calon istrinya!"

Ternyata telingaku masih normal. Keduanya sedang memperebutkan Sugus. Suamiku.

"Omar itu kan husband material, Sas," bisik Ning Aisyah tepat di telingaku.

"Hah maksudnya Ning?" tanyaku nggak paham dengan ucapannya.

"Mereka kan taunya Omar masih single, udah gitu ganteng, tinggi, pemilik pesantren ternama, shaleh, pokoknya suami idaman banget buat para gadis, dan menantu idaman buat ibu-ibu di luar sana."

Seketika darahku mendidih. Hatiku terasa cenat-cenut tapi jenis cenat cenut yang berbeda pada saat Sugus mencium kepalaku. Kali ini rasanya hatiku seperti dicubit pakai tang. Auh, sakiiit.

Ucapan Ning Aisyah semakin menambah resah ya, Bund.

"Hai, Syah!!" Ada tiga orang yang melambaikan tangan ke Ning Aisyah. Kemudian Ning Aisyah pamit untuk menghampiri mereka yang sepertinya temannya itu.

Umi mendekatiku seraya tersenyum. Maka mau nggak mau aku membalas senyum itu. Entah Umi mendengar pembicaraan dua wanita tadi atau nggak. Tapi setelah itu saat Umi bertemu dengan temannya Umi memperkenalkan aku sebagai menantu.

Tentu saja mereka semua bingung. Pasalnya Umi nggak pernah mengundang. Tapi Umi menjelaskan kalau baru akad saja sedangkan resepsinya menyusul secepatnya. Tolong ya teman-teman, dibold dan digaris bawahi. Secepatnya.

Amsyong!

"Umi, Sashi permisi dulu ya sebentar," izinku pada Umi karena perutku yang keroncongan. Tanpa terasa ternyata hampir siang, wajar saja aku merasa sangat lapar karena belum sarapan. Saat Umi mengangguk, aku segera berjalan ke tempat prasmanan.

"Eh itu kan istrinya Gus omar."

Lagi-lagi aku mendengar suara, tapi wujudnya nggak terlihat.

"Biasa aja sih mukanya nggak cantik."

Ya Allah, aku berlindung dari godaan syetan yang terkutuk. Sabar, Sashi. Sabar... Aku kembali melanjutkan langkah menuju prasmanan.

"Kok bisa ya Gus Omar mau sama dia?"

Laaah, mana aku tau. Tanya sendiri sana sama Sugus.

"Jangan-jangan dia ngegoda duluan."

Ada juga kali situ yang ngegoda manusia. Kan sejenis uka-uka.

"Pake pelet kali."

Hah? Memangnya Sugus ikan.

"Cantik sih tapi otaknya zonk!"

Sorry lah yaw aku juara olimpiade sains nasional MA-TE-MA-TI-KA.

Cieee ngakuin aku cantik. Tadi katanya biasa aja. *Kibas jilbab*

Sesampainya di tempat prasmanan dan melihat banyak makanan yang enak-enak, cacing di perutku semakin berdemo. Tapi sayangnya bagaimana cara mengambilnya? Sedangkan kedua tanganku diperban.

"Permisi." Seseorang menoel pundakku dari belakang dan aku pun menoleh. "Mohon maaf, Ning Sashi, ya?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Ada apa, ya?"

"Maaf Ning, ada yang mencari di luar."

Siapa? "Oh iya iya. Makasih ya," ucapku seraya tersenyum. Ia pun pamit pergi meninggalkanku.

****

Sesampainya di depan aula aku nggak menemukan siapa-siapa. Sebenarnya siapa sih orang yang ingin bertemu denganku? Bikin penasaran saja.

"Ayo ikut!"

Lho?! Tiba-tiba Sugus berjalan di depanku dengan membawa sebuah piring di tangannya. Lantas aku melangkah mengikutinya dari belakang.

"Jadi Gus yang mau bertemu Sashi?" tanyaku yang masih berjalan.

"Memangnya siapa lagi?" Tubuh Sugus berbalik arah secara tiba-tiba, sedangkan aku nggak bisa mengerem mendadak. Alhasil kami saling bertabrakan.

"Duuuh Gus! Kalau mau balik arah bilang kek." Aku mengusap hidup yang habis tertabrak dada Sugus. Iya, aku pendek kalau bersamanya. Aku tahu kok.

"Maaf, maaf." Ia terkekeh dan malah menambah beban hidungku dengan menjawilnya. Ish.

Akhirnya kami melanjutkan langkah sampai tiba di sebuah pendopo dan duduk di tempat itu.

"Pasti kamu belum makan, kan?" Aku tersenyum. Tahu saja kalau perut aku keroncongan. "Sini saya suapin."

"Haaa?!" protesku.

"Memangnya bisa sendiri? Tangan kamu kan tertutup perban."

Iya juga sih. Akhirnya aku pasrah saja disuapi olehnya. Apalagi makanannya juga enak. Sepiring penuh aku habis sendiri tanpa menyisakan untuknya.

"Ya ampun, minumnya lupa. Sebentar ya." Baru saja ingin aku cegah, Sugus sudah terlanjur pergi. Sugus memang terbaik.

Saat datang ia membawa segelas air mineral dan juga secup es krim. Ya ampun, double terbaik deh. Tahu saja kalau aku suka es krim.

Aku menghabiskan air mineralnya dan baru saja ingin mencoba es krim, seorang anak perempuan sekitar usia tiga tahun datang menghampiri kami.

"Mauuu."

Eh, "Adek mau?" tanyaku. Dia mengangguk setuju. Akhirnya aku memberikan es krim itu padanya.

"Gus suapin. Nanti es krimnya berantakan ke jibabnya dia," pintaku. Sugus pun menuruti dan menyuapi anak itu dengan sabar.

"Abah kemana Khali?" tanya Sugus pada anak itu disela kegiatan menyuapi.

"Agi telpon," jawabnya dengan bibir yang dipenuhi es krim.

"Gus kenal?" Sugus mengangguk seraya masih menyuapi Khali es krim. Aku jadi diabaikan olehnya.

"Anaknya Gus Salim."

Aku ber-Oh ria. "Sudah pantas tuh Gus punya anak," candaku.

"Kalau saya sudah pantas, kamu sudah siap belum?" Amsyong, malah dibalikin. Kenapa baru terpikir sekarang? Nanti anaknya Sugus kan anakku juga.

"Ih Guuuusss." Ia terkekeh mendengarnya.

"Oh iya Gus. Beberapa tahun lalu Gus pernah umrah ya?" tanyaku. Aku mengingat kembali foto yang ada di kamar Ning Aisyah.

"Nih aaaaa." Ia menyuapi Khali terlebih dulu baru kemudian berpikir. "Iya, kenapa?"

Sudut bibirku tertarik sempurna. Kira-kira Sugus menyadari atau nggak ya, kalau ada aku di foto itu. "Waktu itu Gus lagi galau ya mau lanjut master dimana?" Ia mengangguk. "Pasti di sana Gus berdoa minta jodoh deh." Secara ya khan, beberapa tahun kemudian ia menikah.

"Nggak juga."

"Ih terus apa dong doanya Gus? Gus minta apa di sana?"

"Rahasia saya sama Allah dong. Kepo kamu."

Idih pakai main rahasiaan. "Ya siapa tau Sashi bantu aamiinkan."

Sugus diam sejenak. Aku melirik Khali yang sedang memakan es krimnya sendiri. Tidak lama, Sugus membuka suaranya. "Saya minta diikhlaskan."

Jawaban Sugus membuat aku bingung. "Diikhlaskan?"

"Saya minta diikhlaskan dari takdir Allah yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan hati saya. Namun, ketika saya sudah ikhlas, Allah menunjukkan kuasa-Nya. Hal yang sudah saya ikhlaskan datang dengan versi yang lebih baik."

Aku diam sejenak, nggak menanggapi ucapannya. Hhm kira-kira apa ya, Bund?

Baru saja ingin membuka bibir, seorang laki-laki datang seraya mengantungi handphonenya ke saku. Ternyata ia adalah Abahnya Khali. Anak kecil itu senang sekali melihat Abahnya menghampiri dan ia langsung bercerita kalau baru saja memakan es krim dari Sugus.

Akhirnya segala kata yang ada dalam benakku nggak bisa keluar. Sugus dan Gus Salim akhirnya berbincang-bincang banyak hal. Sedangkan aku bermain bersama Khalisa.

****

Alhamdulillah. Segala puji hanya bagi Allah. Terima kasih ya Allah telah membiarkan aku bangun dari tidur di pagi ini. Dan segala nikmat yang nampak kecil, namun sangat berarti adanya seperti nikmat membuka mata, melihat, hingga bernapas.

Iya, bangun dari tidur juga termasuk nikmat. Kita bisa membeli obat untuk tidur, namun nggak bisa membeli obat untuk bangun. Dan di luar sana, entah ada berapa banyak orang yang ketika malamnya masih dapat membuka mata, namun paginya tubuhnya sudah terbaring kaku di atas petiduran dengan mata terpejam selamanya.

Allah, maafin Sashi. Kadang diri ini suka lupa bersyukur kepada-Mu dan terlalu banyak mengeluh. Ampuni Sashi ya Allah.

Dengan memberanikan diri, pagi ini aku kembali ke asrama. Aku berjalan menunduk, nggak sanggup kalau sampai melihat tatapan para santriwati yang menatapku dengan pandangan sinis. Hitung-hitung juga olahraga kembali ke kamar yang berada di lantai empat.

Sesampainya di kamar, aku melihat Leni dan Hani yang terduduk lesu kursi belajar dan di pinggir petiduran. Entah apa yang mereka pikirkan aku nggak tahu. Keduanya terkejut saat menyadari kehadiranku.

"Sashi, kamu baik-baik saja?" tanya Hani yang sepertinya khawatir dengab kondisiku.

Aku tersenyum seraya mengangguk, lantas menjawab bahwa aku baik-baik saja.

"Sashi, aku ... Emm... Aku..." Kali ini Leni yang berbicara. Namun untuk melanjutkan ia nampak ragu. Akhirnya aku yakinkan saja ia agar mengatakannya. "Aku mau minta maaf. Karena aku hukuman kamu bertambah parah. Tapi aku bisa jelasin kok, Sas."

"Iya, Sas. Kamu duduk dulu deh." Hani memegang kedua bahuku dan mendudukkan aku di pinggir petiduran. "Kami mau cerita sesuatu."

".... Sebenarnya sebelum kamu kesini juga di kamar ini sering sekali kehilangan sesuatu, tapi paling sering sih uang. Aku, Leni, dan Dwi pun sama, sama-sama sering kehilangan. Maka kami mengambil kesimpulan kalau yang mengambil adalah orang luar. Saat Fika kehilangan uang di saat yang bersamaan juga Leni kehilangan uang. Karena Leni dan aku sering sekali kehilangan, makanya Leni aku paksa mengaku. Sebelumnya kami nggak berani berkata pada tim keamanan, karena ditakutkan kejadiannya mirip seperti kamu," jelas Hani.

"Kami kira akan diproses lebih dulu dan tabayyun mencari tau siapa yang benar-benar mencuri. Kami nggak mengira bahwa kamu lah yang langsung kena hukuman," lanjut Leni.
Aku pikir keduanya nggak salah apa-apa. Terlebih kejadian aku dengan Dwi. Aku yakin Hani dan Leni adalah orang baik.

"Iya aku maafin. Lagi pula aku sudah nggak papa. Sudah dibawa ke dokter sa—" hampir saja keceplosan berkata bahwa yang membawa aku ke dokter adalah Sugus.

"Makasih ya, Sas. Kami berdua khawatir banget sama kamu sejak kejadian itu. Noh si Leni sampai nggak bisa tidur tiga hari," ucap Hani yang diberikan sikutan oleh Leni.

Aku terkekeh mendengarnya. "Oh ya, omong-omong Dwi kemana?" Sedari aku masuk kamar ini, aku nggak melihat batang hidung.

Keduanya mengendikkan bahu. "Nggak tau, Sas. Paling juga dia nginep di kamar lain."

"Memangnya nggak papa seperti itu?"

"Ya asal jangan ketauan tim kemanan sih," jawab Hani.

"Eh tapi aneh nggak sih? Hampir tiga hari loh Dwi nggak ke kamar. Maksudku nggak biasanya dia begitu. Paling juga cuma semalam dia di kamar lain," kata Leni mendemokan argumennya.

"Yasudah coba nanti kita cari dia," putus Leni.

Sebenarnya aku ingin cerita mengenai masalahku dengan Dwi. Namun aku juga masih takut. Aku takut mereka nggak mempercayaiku.

Tiba-tiba terdengar suara riuh dari arah bawah. Bagai semut yang bertemu dengan gula, para santriwati berlarian ke sumber suara. Begitu pula dengan aku, Hani dan Leni yang ikut ke sana.

"Eh ada apa, sih? Kok ramai-ramai?" tanya Hani pada santriwati yang juga sedang setengah berlari. Sepertinya ia juga penasaran, sama seperti kami.

"Itu ada mayat."

"Hah mayat?! Dimana?" tanya kami kompak.

"Di danau."

Saat kami tiba, sudah banyak santriwati yang berkumpul di pinggir danau. Termasuk juga Sugus dan Ustadz Abas juga ada di sana. Aku memperhatikan Sugus dari kejauhan, nampak ia tengah menelpon seseorang.

Tidak berselang lama, polisi datang. Kami semua diminta untuk menjauh dari danau dan di pasang garis polisi. Aku, Leni dan Hani memerhatiannya dari kejauhan. Terlihat polisi sedang mengevakuasi mayat itu. Setelah beberapa saat, polisi berhasil mengevakuasinya dan mengeluarkan mayat itu dari danau.

Jantungku mencelos dari tempatnya dan kakiku melemas seketika. Meski nampak sudah membesar, namun dari ciri-ciri mayat itu terlihat jelas bahwa mayat itu adalah....

"Dwi?"

"Dwi."

"Dwi!"

Semua orang menyebut namanya. Ini semua nggak mungkin terjadi. Leni dan Hani yang ada di sampingku sudah menangis tersedu-sedu, namun aku masih tetap nggak percaya.

Nggak mungkin.

Dia pasti bukan Dwi.

Walaupun terlibat konflik dengannya, biar bagaimana pun Dwi pernah berbuat baik kepadaku.

Mayat itu nggak mungkin Dwi.

Pasti salah orang.

Aku membawa kedua temanku kembali ke kamar. Di antara kami bertiga aku yang nggak menangis karena itu pasti bukan Dwi. Atau mungkin namanya saja yang sama. Iya, pasti seperti itu.

Aku terjatuh ke lantai, seakan tarikan gravitasi bumi menarik tubuhku untuk terkubur ke dasarnya. Bagaimana mungkin mayat itu adalah Dwi? Bagaimana bisa ya Allah?

Hujan jatuh juga membanjiri pipiku. Terlebih melihat kedua temanku yang meraung menangisi kepergian Dwi dengan tragis seperti itu.

Terdengar suara dari luar bahwa jenazah Dwi sudah dibawa oleh polisi untuk diperiksa lebih lanjut. Bukan kami nggak ingin melihat Dwi untuk terakhir kali, hanya saja kami nggak tega melihat kondisinya yang begitu mengenaskan.

Allahu Rabbi...

Hari ini adalah hari kesedihan di pesantren kami, khususnya bagi aku, Leni dan juga Hani.

Pintu kamar di ketuk dari luar. Hani yang berniat untuk membukanya. Saat pintu berhasil terbuka terdengar sebuah suara yang nggak asing lagi di telingaku.

"Mana Sashi?!"

Aku menoleh ke arah pintu dengan mata yang buram akibat air mata yang masih menggenang. Meski demikian, aku bisa tahu siapa orang yang berdiri di depan pintu tersebut.

"Sashi keluar!" Suaranya terdengar seperti membentak.

Aku melangkah dengan berat seraya menghampirinya. "Ada apa, Gus?"

"Ikut saya."

Tanganku digenggam dan ditarik secara paksa seperti yang ayah lakukan. Seluruh santriwati memperhatikan kami namun hal itu nggak berarti apa-apa baginya. Ia menyeretku berjalan ke arah ruang guru. Dan sesampainya di sana Sugus menghentakkan tanganku dengan kencang hingga perban yang terpasang di tanganku terlepas begitu saja.

"Auh, sakit Gus."

"Dia yang bernama Sashi, Pak. Silakan bawa dia ke kantor polisi," ucap Sugus dengan tegas yang tentu saja membuat aku terkejut. Terlebih di sana ada para guru dan juga Abi serta Umi.

"Mak-maksudnya apa ini, Gus? Sashi nggak tau apa-apa. Sashi nggak salah, Gus."

"Dengarkan saya!" sentaknya dengan suara bergetar. Pandangan kami bertemu. Mata yang biasanya menatapku dengan lembut, kali ini tatapan itu dipenuhi oleh amarah. "Buktikan kalau kamu nggak salah. Semua kebenaran pasti akan terungkap."

"Silakan, Pak."

Allah, ujian apa lagi ini? Dua kali aku harus berurusan dengan polisi yang bukan kesalahanku.

Meskipun keimananku tidak ada seujung kukunya, biarlah aku mengambil hikmah dari wanita semulia Maryam Binti Imran dan Setabah Aisyah binti Abu Bakar.

Cukuplah Allah sebagai penolong untukku.

******

To be Continue..

Continue Reading

You'll Also Like

139K 13.6K 48
Spin-off Takdirku Kamu 1 & 2 | Romance - Islami Shabira Deiren Umzey, dia berhasil memenangkan pria yang dicintainya meski dengan intrik perjodohan...
6.4M 502K 118
"Kenapa harus Ocha abi? Kenapa tidak kak Raisa aja?" Marissya Arlista "Saya jatuh cinta saat pertama bertemu denganmu dek" Fahri Alfreza
53.6K 6.4K 109
【 NOVEL TERJEMAHAN 】 ⚠️ CH1 - CH64 (DIEDIT). ⚠️ CH65 - CH108 (DALAM PROSES PENGEDITAN). Penulis: 云初棠 Status: Lengkap (108 chapter) Deskripsi: Xie Qin...
46.3K 2.1K 27
"Wanita itu suci, bagaikan sajadah. Karna, diatas wanita lah lelaki akan beribadah." Fatimah mengerutkan keningnya. "Maksudnya? Perempuan dijadikan s...