LEADER OF THE MAFIA ; AARON C...

Autorstwa queenaars

136K 7.6K 784

#TheMafiaSeries1 [PART BELUM DI HAPUS SELURUHNYA] _________________________________________ "Aku tidak terpe... Więcej

prolog
CAST.
The Mafia 1 - The First Meet (Pertemuan pertama)
The Mafia 2 - The Mansion
The Mafia 3 - Aaron's game (Permainan Aaron)
The Mafia 4 - Heartbeat (Detak Jantung)
The Mafia 5 - About Meeting (Tentang pertemuan)
The Mafia 6 - A Request (Sebuah Permintaan)
The Mafia 7 - About The Past ( Tentang Masa Lalu)
The Mafia 8 - The Feeling (Perasaan)
The Mafia 9 - Dark Bloods
The Mafia 10 - Desire (Hasrat)
The Mafia 11 - Aaron's Company
The Mafia 12 - Pursuit (Pengejaran)
The Mafia 13 - The Day With Aaron 1 (Hari Bersama Aaron)
The Mafia 14 - The Day With Aaron 2 (Hari Bersama Aaron)
The Mafia 16 - Disappointed (Kecewa)
The Mafia 17 - Something Hapened (Sesuatu telah terjadi)
The Mafia 18 - The Truth ( Kebenaran )
The Mafia 19 - Another Mafia ( Mafia Lain )
The Mafia 20 - Fight ( pertarungan )
The Mafia 21 - Apology (Permintaan Maaf)
The Mafia 22 - Hospital ( Rumah Sakit )
The Mafia 23 - Sorry and Thank You ( Maaf dan Terima Kasih )
The Mafia 24 - Discus (Diskusi)
The Mafia 26 - Gift ( hadiah )
The Mafia 27 - Bryan and Reline
The Mafia 28 - Confession of Love 1 ( Pengakuan Cinta )
The Mafia 29 - Confession of Love 2 ( Pengakuan Cinta )
The Mafia 30 - He said .... Bucin!
The Mafia 31 - Aaron's Past ( Masa Lalu Aaron )
The Mafia 33 - Inner Wound (Luka Batin)
The Mafia 34 - Collins Family ( Keluarga Collins )
The Mafia 35 - Her Sister (Saudara Perempuannya)
The Mafia 36 - Fiance ( Tunangan )
The Mafia 37 - A Quarrel (Pertengkaran)
Pre Order Gelombang Pertama!
PO ke 2
Cerita Baru
PO cetakan ke 2!

The Mafia 32 - Aaron's Past 2 ( Masa Lalu Aaron )

2.4K 171 17
Autorstwa queenaars

LEADER OF THE MAFIA

Happy Reading !

Alice menatap Aaron dengan mata yang memerah.

Menggenggam erat tangan lelaki yang sedang memejamkan matanya dengan erat. Menahan segala rasa sakit yang masih ia rasakan sampai sekarang.

Alice memeluk leher laki-laki itu. Mengusap-usap bahu Aaron. Berusaha menyalurkan ketenangan padanya.

Alice mengerti rasa sakit Aaron.

Kehilangan sosok orangtua dengan cara yang menyedihkan memang tidak mudah.

"Itu mengapa ... aku ... aku memiliki trauma. Jangan pergi ...  "
Aaron tak bisa membendung tangisannya. Ia menutup matanya dengan tangan kanannya.

"Ssst ... aku disini. Tak ada yang pergi"
Alice berusaha menahan tangisnya. Jika ia ikut menangis, siapa yang akan menenangkan lelaki itu?

"Alice ... "

"Hm?"

"Kenapa Mommy pergi?"

Alice menelan ludahnya. Satu tetes air matanya mengalir. Namun, ia menghapusnya, mencoba tersenyum.

"Itu karena Tuhan menyayanginya. Tuhan tidak mau Mommy mu merasa  sedih lagi. Dia ... pasti sudah bahagia di surga"

Alice tersenyum menenangkan.

"Tapi dia meninggalkanku ... sendirian"

Aaron mencengkeram erat pelukannya pada pinggang Alice. Seolah hanya itulah kekuatannya saat ini.

Alice menggeleng, mengusap pelan bahu lelaki itu.
"Tidak ada yang meninggalkanmu. Mommy mu ... pasti mengawasimu dari atas sana. Jika ia melihatmu sedih seperti ini, dia pasti akan ikut merasakannya. Kau mau ibumu sedih, hm?"

Aaron menggeleng lemah.

Alice tersenyum. Meraih tangan Aaron yang menutupi matanya. Bisa ia lihat, mata lelaki itu sudah memerah.

"Maka berhentilah bersedih. Kau harus mengikhlaskan kepergiannya. Mulai sekarang, do'akan ibumu. Ya?"

Seperti tersihir, Aaron langsung mengangguk patuh. Mata kelamnya mengunci manik coklat terang milik Alice. Seperti biasa, mata itu berhasil menenangkannya.

Alice tersenyum kecil, mengelus rahang lelaki itu.
"Kau anak yang baik. Ibumu pasti bahagia melahirkanmu ke dunia"

"Benarkah?"

"Iya" Alice mengangguk meyakinkan. "Kau putra terbaik yang ia miliki"

"kau merawat ibumu dengan penuh kasih sayang. Menyayanginya dengan sepenuh hati. Mendengarkan segala perkataannya. Ibu mana yang tidak bahagia memiliki anak seperti itu?"

"Aku jadi berfikir untuk mengadopsimu, hahahah" Alice tergelak. Berusaha mencairkan suasana.

Dan berhasil. Aaron terkekeh, mengacak gemas rambut Alice.

"Meski kau ingin mengadopsiku, aku tidak akan mau"

Alice cemberut, "kenapa?"

"Kau hanya boleh menjadi ibu dari anak-anakku nanti. Kita akan membuat bayi"

Aaron tergelak. Mendapatkan cubitan yang cukup keras pada perut atletisnya.

Sementara wajah Alice bersemu merah.

"Kau tahu kan cara membuatnya?"

"Aku tidak mau mendengarnya" Alice memutar matanya malas.

"Aku akan mengajarimu kalau begitu. Pertama-tama, lepas--"

"HENTIKAN BRENGSEK!"

Aaron tergelak. Melihat Alice yang menatapnya tajam, namun wajahnya memerah.

Sifat menyebalkan Aaron  kembali. Kini, ia tertawa puas karena telah menggoda Alice habis-habisan. Ini cukup menghibur dirinya.

Alice mencibir. Lalu, tersenyum kecil. Tak masalah Aaron menggodanya, bersikap menyebalkan semaunya. Setidaknya ... lelaki itu tidak sedih lagi.

Ini lebih baik daripada harus melihatnya sedih seperti tadi.

Alice tidak pernah menyangka bahwa orang sekuat Aaron ternyata memiliki masa lalu yang kelam. Benar-benar tidak menyangka.

Alice jadi penasaran dengan satu hal.
"Aaron. Kenapa kau memutuskan untuk menjadi Mafia?"

Aaron tersenyum jahil, "kenapa ya?"

"AARON!" Alice mendelik tajam. Memukul keras lengan Aaron. 

Lelaki itu tergelak, lalu tersenyum simpul,
"Aku merasa putus asa saat itu. Lalu, aku bertemu seseorang di suatu malam .... "

Flashback on

Aaron berjalan tanpa arah.

Anak berumur 15 tahun itu hanya menatap kosong ke depan. Tak ada gairah hidup sama sekali. Ia seperti mayat hidup.

Sejak kepergian ibunya, ia seolah mati rasa. Ingin sedih tapi ia sudah terlalu banyak bersedih hingga air matanya mengering. Ingin tertawa tapi tak ada lagi yang bisa membuatnya tertawa.

Hidupnya ... hampa.

Setelah pulang dari pemakaman, Aaron memutuskan untuk keluar dari rumahnya. Ia tidak mau tinggal dengan kenangan ibunya disana. Itu hanya akan membuatnya tersiksa.

Jadi ...selama 2 hari ini, ia hanya berjalan tanpa tujuan. Sesekali memakan roti yang ia beli dengan sedikit tabungannya.

Hari sudah beranjak malam. Aaron mencari tempat untuk beristirahat malam ini. Meski ia tidak bisa tidur, ia juga butuh istirahat sejenak.

Anak remaja itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada siapa-siapa. Malam ini sangat sepi.

Aaron mengira-ngira, bahwa sekarang ia berada di jalanan dekat hutan yang sepi penghuni. Ia tidak menyangka sudah berjalan sejauh ini.

Aaron melihat bangunan rumah kecil tua yang  sepertinya sudah di tinggalkan. Ia memutuskan untuk beristirahat disana.

Ia tidak takut. Lagipula ... untuk apa ia takut? Ketakutan terbesarnya sudah terjadi. Apalagi yang ia takutkan?

Dengan berbekal pistol yang ia dapatkan di gudang rumahnya. Ia merasa bisa menjaga dirinya.

Aaron memegang erat ransel yang ia pakai. Ia mulai memasuki rumah itu.

Namun, samar-samar ia mendengar suara seseorang. 

Aaron berjinjit, berusaha berjalan tanpa suara memasuki rumah tersebut. Semakin ia masuk, suara itu semakin jelas.

Aaron terbelalak saat melihat seorang laki-laki dengan topi lebar sedang memegang sebuah pedang. Di bawahnya, ada seorang lelaki juga yang ia cekik.

Aaron memilih untuk bersembunyi di balik kursi tua. Sedikit menaikkan kepalanya untuk melihat apa yang terjadi.

"Aku menang" sahut seseorang bertopi dengan suara yang mengerikan.

"Sialan. Sa-sampai kapanpun aku tidak akan menyerahkan kekuasaanku padamu" jawab orang itu dengan suara tercekat.

Sementara orang bertopi itu tertawa keras. Membuat suaranya menggema di seluruh ruangan. Termasuk pada tempat persembunyian Aaron.

"Tidak masalah. Dengan aku melenyapkanmu saat ini, kekuasaanmu akan jatuh padaku."

Orang itu mengiris pelan dahi lelaki yang berada di bawahnya. Mengeluarkan darah segar. Membuat orang yang merasakannya berteriak sakit.

Aaron gemetar. Pemandangan ini ... sungguh mengerikan. Ia belum pernah melihat hal seperti ini.

Ia harus bagaimana?

Aaron bersandar pada belakang kursi. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Ia kemudian meraih pistol dalam ranselnya. Menggenggamnya erat.

Teriak demi teriakan kesakitan terus menggema. Membuat Aaron menutup telinganya. Suara ini ... mengingatkan dirinya pada teriakan sakit sang ibu.

Aaron semakin menggila. Ia merasa harus menghentikan suara itu. Anak lelaki itu kemudian berdiri dengan gemetar.

Tak ada yang melihatnya.

Orang bertopi itu sibuk menyayat bagian-bagian tubuh seseorang di bawahnya. Layaknya psikopat yang terus tertawa melihat darah segar kembali muncul.

Aaron semakin tidak tahan. Dengan gemetar, Aaron mengangkat pistolnya.

"Selamat tinggal" lelaki bertopi itu mulai mengayunkan pedangnya.  Berniat memenggal kepala lelaki itu.

Dorr!

Hening. Untuk sejenak tak ada suara yang terdengar.

Aaron menatap nanar ke arah lelaki bertopi yang kini tumbang dengan peluru yang menembus kepalanya.

Aaron kemudian menatap pistolnya tidak percaya. Lalu menjatuhkannya.  Dia ... telah membunuh seseorang?

Aaron jatuh terduduk. Menggeleng pelan. Seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Tak berbeda jauh dengan orang yang tadinya akan di bunuh, ia terbangun, menatap sang anak dengan sorot penasaran.

Orang itu berdiri, kemudian berjalan dengan sedikit pincang ke arah Aaron. Dia adalah seorang lelaki yang kira-kira berusia 40an tahun.

"Hey ... terima kasih" lelaki itu tersenyum tipis. Berjongkok di depan anak yang terlihat ketakutan itu.

Ia sangat berterima kasih pada Aaron. Jika bukan karena anak itu yang menembakkan peluru, mungkin, kini ia sudah mati.

"Siapa namamu, nak?" Tanya lelaki itu.

Aaron mulai menatap lelaki itu. Lelaki tua yang mungkin seumuran dengan ayahnya.

"A-aaron"

"Aaron? Nama yang bagus. Apa yang kau lakukan disini?" Lelaki itu mengerutkan keningnya. Melirik sebuah pistol yang tergeletak disana.

"Sa-saya hanya lewat" Aaron bergetar ketakutan.

Orang itu terkekeh, tak memperdulikan luka sayatan di wajahnya yang kian mengeluarkan darah. Ia mengambil kain dari sakunya, lalu mengikatkannya pada kepala. Mencegah darah terus mengalir.

"Apa kau takut?"

"Sa-saya sudah membunuh seseorang" Aaron menggeleng. Ia ingin sekali menangis, namun sekali lagi ia telah mati rasa sekarang. Alhasil, anak itu hanya terdiam menatap kosong.

Apa yang akan ibunya katakan jika ia telah membunuh seseorang? Ibunya ... tidak pernah mengajarkan hal sekeji itu.

"Tidak apa. Berkatmu, aku selamat. Ayo berdiri, nak" lelaki itu terkekeh. Merangkul bahu Aaron.

"Kemari"

Kemudian, lelaki itu menuntun Aaron untuk mendekati mayat tersebut. Tak lupa, ia mengambil sebuah pistol yang tergeletak.

Lelaki itu lalu mengarahkan pistol tersebut kepada mayat yang telah  terbujur kaku. Lalu menembaknya kembali.

Membuat percikan darah yang cukup banyak. Aaron terkejut.

"Lihat? Membunuh seseorang tidak seburuk itu. Terkadang, kita harus melakukannya untuk menyelamatkan diri sendiri"

"Ta-tapi ... Mommy tidak pernah mengajarkanku seperti itu"

Orang itu tertegun sejenak, "Benarkah? Mommy mu adalah orang yang baik"

"Tapi .. ketahuilah. Dunia tidak selalu baik padamu. Ada kalanya kita dihadapkan dengan sebuah pilihan, yaitu ... di bunuh atau membunuh. Tentu kita akan memilih membunuh, kan?"

"Bagaimana pun, aku sangat berterima kasih padamu. Kau telah menyelamatkanku" orang itu menepuk-nepuk bahu Aaron.

Aaron terdiam sejenak. Menatap mayat dari seseorang yang ia tembak itu.

Satu-satunya hal yang membuat Aaron menembak lelaki itu adalah karena ia teringat ibunya. Ia teringat ... bagaimana Ayahnya yang menyakiti ibunya, sementara ibunya yang terus berteriak kesakitan.

Rasanya ... ia harus melenyapkannya.

Aaron mengepalkan tangannya. Mengapa ... saat itu ia tidak membunuh ayahnya saja? Dengan begitu, Ibunya akan berhenti berteriak kesakitan bukan?

Aaron tiba-tiba menggeram. Merebut pistol dari lelaki itu lalu menembakkannya kembali pada mayat tersebut. Menembaknya membabi buta, melampiaskan segala kemarahannya.

Entah kenapa ... melihat darah yang bercucuran itu .. membuatnya merasa puas?

Sementara itu, lelaki yang berada  di samping Aaron terkejut. Menatap anak itu, yang kini terlihat di kuasai oleh amarah.

Anak ini ... punya dendam yang kuat.

"Ternyata membunuh itu membuatku puas" gumam Aaron. Mengerjapkan matanya lucu.

"Kau mau ikut denganku?" Tawar lelaki itu. Tersenyum simpul.

Aaron menoleh, "kemana?"

"Ke tempatku. Menjadi Mafia, kau mau?"

Aaron terdiam. Meski ia ingin sekali mengangguk meng-iyakan. Namun, hal itu sangat bertentangan dengan hati nuraninya.

"Kau ... ingin membalas dendam pada seseorang kan?"

Aaron mendongak. Menatap lelaki tua itu.

"Ayo kita lakukan" lanjutnya. Tersenyum simpul.

Anak ini ... mungkin bisa ia didik menjadi anak yang tangguh. Ia bisa melihat keberanian dan potensi anak itu.

Aaron menundukkan kepalanya. Berperang dengan hati nurani dan akal sehatnya.

Ya ... dia memiliki dendam. Dendam untuk membalaskan semua rasa sakit ibunya ... pada keluarga ayahnya.

Tentu ... ia harus punya kekuatan, bukan?

Aaron mengangguk mantap. "Aku mau"

Lelaki tua itu tersenyum puas, menepuk pundak anak itu.
"Bagus. Tapi ... bagaimana dengan Mommy mu?"

Aaron tersenyum kecil, "Mommy sudah pergi ... aku harus membalaskan kematiannya"

Lelaki tua itu terdiam sejenak. Jadi ... itu dendamnya?

"Mulai sekarang, panggil aku Mr. Cedric. Pemimpin dari kelompok Mafia ... Black Bloods"

Aaron mengangguk. "Mr. Cedric"

"Siapa nama belakangmu, nak?"

Aaron mengepalkan tangannya, "Clowd"

"Aaron Clowd"
Sahut Mr. Cedric.

Aaron menggeram. "Aku tidak sudi lagi memakainya!"

Mr. Cedric terkejut. Apakah dendam anak itu dengan keluarganya sendiri?

Mr. Cedric terdiam sejenak. Clowd ...

Ah! Keluarga terkaya di Italia? Yang menjadi rebutan Mafia untuk bekerja pada mereka?

Apakah ia tidak salah dengar?

Tentu ia mengenal keluarga Clowd. Keluarga yang meremehkan kemampuan kelompoknya. Menarik sekali bahwa kini keturunannya ingin membalaskan dendam pada keluarga itu.

"Kalau begitu ... sekarang namamu adalah Aaron Cedric. Ayo kita balaskan dendammu" Mr. Cedric tersenyum miring.

Aaron mengangguk kecil. Aaron Cedric? Tidak buruk.

Pada akhirnya ... akal sehat lah yang memenangkan diri Aaron. Kini ... lelaki itu telah kehilangan hati nuraninya.

Flashback Off













Bersambung ...
_________________________________________

Aku berniat menyampaikan sesuatu dengan Part ini ...

Tekanan mental itu benar-benar serius. Apalagi untuk anak kecil ataupun remaja. Mereka lagi masa-masa berkembangnya. Mereka perlu arahan.

So, jangan tinggalkan anak-anak yang bersedih. Agar mereka tidak hilang arah. Apalagi terjerumus ke hal-hal yang buruk. :)

Stay safe, semuanya! 💜💜

Jangan lupa vote + comment, ya!

-queenaars-

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

774K 49.9K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
1M 1.9K 17
WARNING!!! Cerita ini akan berisi penuh dengan adegan panas berupa oneshoot, twoshoot atau bahkan lebih. Untuk yang merasa belum cukup umur, dimohon...
1.5M 135K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
1.9M 8.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...