12. Where Are They?

3.4K 246 5
                                    

Nala's POV

Aku terbangun dan Alex sudah tidak berbaring di dekatku. Aku pun melihat sekeliling, terlihat Alex sedang melakukan sesuatu di depan pintu gym, aku mengambil air mineral dan beranjak lalu berjalan ke arahnya.

"Hei," sapaku saat sampai di ambang pintu, dia menengok lalu tersenyum.

"Selamat pagi," ucapnya.

Ternyata sudah pagi, aku tidak menyangka bahwa kami tertidur begitu lama, aku rasa waktu masih menunjukkan pukul dua siang ketika kami sampai disini. Namun aku bisa mengatakan bahwa itu merupakan tidurku yang paling nyenyak.

"Kau bangun jam berapa?" Tanyaku sambil membuka botol air mineral itu.

"Aku terbangun beberapa kali, tidak bisa tidur nyenyak. Lagiula salah satu dari kita harus berjaga. Bukan masalah, aku akhirnya bangun saja dan merapikan mayat-mayat di luar sini," jawab Alex. Aku meminum air mineral itu lalu melihat mayat hidup yang kembali mati.

Aku melihat Stephanie dengan lubang kecil di dahinya. Kalung miliknya yang berpasangan dengan kalungku masih melingkar di lehernya. Aku menghampirinya lalu berjongkok di sampingnya, meletakkan botol air mineral itu terlebih dahulu lalu menatap Stephanie agak lama. Tiba-tiba aku merasa ingin menangis lagi, tapi aku tak bisa menangis lagi, aku harus kuat.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba melepaskan kaitan kalung itu di leher Stephanie. Aku dapat merasakan Alex berdiri di belakangku dan memperhatikanku. Aku berdiri dan berbalik ke arahnya dengan kalung yang masih ada di genggamanku.

"Aku tidak apa-apa," ucapku.

"Aku tahu, kau gadis yang kuat," Alex menyunggingkan senyum lalu menarikku ke dalam pelukannya yang hangat, aku memejamkan mataku sejenak dan menghela napas perlahan.

"Kita harus menyingkirkan mayat-mayat ini agar tidak berada di depan pintu," ucap Alex. Aku mengangguk, mengambil botol mineral yang tadi kuletakkan dan memberikannya kepada Alex.

"Minumlah," dia menerimanya dan meneguk air itu hingga botolnya kosong.

***

Aku duduk di lantai gym, mengunyah makananku sambil memainkan kalung Stephanie di kedua tanganku.

"Kau baik-baik saja? Habiskan makananmu lalu kita pergi dari sini," ucap Alex. Ia beranjak dari tempatnya duduk mengambil tas nya yang serbaguna itu. Aku menelan makananku dan minum air mineral lagi lalu membantu Alex.

"Bagaimana kita keluar dari sini? Kenapa para tentara, polisi, atau siapapun tidak datang dan menolong kita? Menolong yang mungkin masih hidup? Jalanan diluar tampak sepi saat aku melihatnya dari jendela." Aku mengutarakan yang selama ini ada di pikiranku, yang mengganjilku.

"Aku tidak tahu, yang pasti masih banyak orang yang masih hidup di dalam gedung ini dan diluar sana, mungkin mereka tidak tahu kalau disini terjadi penyebaran virus lagi, atau mungkin mereka lebih beruntung dari kita dan dievakuasi secepatnya," Alex menjawabnya sambil duduk di bangku tribun. Aku mengikutinya, meletakkan kedua siku di atas paha dan memegang kepalaku yang terasa sakit. Alex menggeser badannya dan merangkul ku, aku pun meletakkan kepalaku di pundaknya dengan tatapan kosong.

"Kita akan keluar dari sini, dengan mobil itu, kita akan pergi ke tempat aman, dan kita akan sangat beruntung jika bertemu para tentara, mereka bisa menolong kita dan siapapun yang ada di dalam sini yang masih hidup, kita pasti bisa, aku yakin itu, jika kita tidak bisa, setidaknya salah satu dari kita akan berhasil," ucap Alex. Aku berpikir panjang tentang apa yang dikatakan Alex.

"Tidak, kita berdua harus hidup, aku tak ingin kehilanganmu, kita harus tetap bersama dan kita akan melalui semua ini bersama," aku bersikeras. Alex menunduk dan terlihat berpikir, dengan kesempatan itu aku memakaikan Alex kalung Stephanie yang sedari tadi berada di tanganku, dia terlihat terkejut lalu menatapku. Aku tersenyum.

"Hei, kau harus menyimpannya, ini milik kakakmu," tolak Alex.

Aku tersenyum, "Aku ingin kau memilikinya."

The Way OutWhere stories live. Discover now