19. No

3K 185 1
                                    

Ed's POV

Rencanaku untuk pergi secepatnya kacau ketika Pat menahanku dan kemudian Ray muncul dengan langkah panjang menghampiriku sembari berteriak.

"Ed?!" Aku menolehkan pandanganku dari Ray ke seseorang yang suaranya aku kenal dengan baik.

Astaga, itu Delissa.

Perhatianku teralihkan sehinnga aku tidak menyadari bahwa Ray sudah berada di hadapanku yang lalu melayangkan tinjunya ke wajahku. "Kau mau kemana? Kau ingin membawa Pat pergi?! Kau ingin meninggalkanku tanpa apa-apa? Tanpa siapapun?!"

Sial. Tubuhku terlalu kaku untuk membalas pukulannya itu. Pikiran ku menuju Delissa yang tidak kusangka ada disini sekarang. Ia menemukanku.

"Ray hentikan! Ini bukan salahnya! Hentikan! Ray!" Teriak Pat yang sama terkejutnya denganku.

"Diamlah Pat!" Ray masih terus memukuli wajahku tanpa menghiraukan teriakan Pat yang memintanya untuk berhenti.

Aku tidak akan membiarkannya lagi. Akhirnya aku mendorong tubuh Ray dengan kuat sehingga ia terdorong menjauh.

"Ed!" Teriak Pat ketika melihatku mendorong kakaknya. Aku tidak tahu ia memihak siapa dalam perkelahian ini.

"Astaga, Ed! Hei, hentikan!" Delissa melangkahkan kakinya dengan cepat lalu menarik bahu Ray agar berhadapan dengannya. Ia lalu melayangkan tinjunya yang kuat ke wajah Ray hingga punggungnya menabrak dinding.

"Astaga, Ed," Delissa meletakkan tangannya di wajahku yang sekarang babak belur dengan tatapan khawatir bercampur ngeri. "Kau jelek sekali."

Delissa berbalik memunggungi diriku lalu melayangkan tinjunya sekali lagi ke wajah Ray yang masih terkejut dengan pukulan sebelumnya. "Jangan macam-macam dengan keluarga Foster!"

"Maafkan aku Ed, aku tidak bermaksud semua ini terjadi," Pat meminta maaf di hadapanku dan berusaha menyentuh wajahku tetapi ia terlalu takut.

"Ini bukan salahmu," aku tersenyum, menggenggam kedua tangan Pat dan mengelusnya perlahan dengan ibu jariku sebelum membawanya turun menjauh dari wajahku lalu melepaskannya.

Aku dan Pat pun berbalik untuk melihat Delissa yang sedang menahan Ray dengan tangannya agar punggungnya tetap menempel pada tembok.

"Delissa, lepaskan dia," perintaku.

"Baiklah," Delissa pun melepaskannya dengan cepat lalu mengambil senapannya yang tergeletak di lantai.

Pat menghampiri Ray lalu berbisik kepadanya, mereka membicarakan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Namun tak lama Ray berjalan menjauh dari Pat untuk memasuki ruangan yang kami tempati sebelumnya.

***

"Sshh...awh...," rintihku pelan saat Delissa membersihkan wajahku yang babak belur ini dengan kain yang dilumuri alkohol, entah bagaimana wujudku sekarang.

"Sebentar lagi, jangan cengeng," ujar Delissa sembari mencuci kain itu dengan air mineral dan melumurinya lagi dengan alkohol. Setelah selesai, ia menggantinya dengan kain bersih untuk mengeringkan wajahku dengan lembut, perlahan. Dia terkekeh saat selesai membersihkan wajahku.

"Kau terlihat buruk Ed," ucap Pat yang tiba-tiba berdiri di samping Delissa.

"Ya aku tahu Pat, mungkin wajahku terlihat seperti Glimmer yang terkena Tracker Jackers di The Hunger Games," ujarku berusaha mencairkan suasana.

"Bahkan lebih buruk."

Pat meninggalkanku dengan Delissa setelahnya. Ia pergi menghampiri Ray yang sedang menekan wajahnya yang tak jauh berbeda kondisinya dengan wajahku dengan kain. Aku melihat Pat berjongkok di hadapan Ray dan berusaha untuk membantunya tetapi Ray terlihat masih marah lalu membentaknya. Pat pun segera beranjak dari jongkoknya lalu duduk berdiam diri di samping kantung tidurnya.

Aku merasa buruk sekali. Jika saja aku mengikuti apa yang ia katakan untuk menunggu Ray, ini tidak akan terjadi.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan," ujar Delissa tiba-tiba, membangunkanku dari lamunan. "Kau melakukan sesuatu yang tidak seharusnya, hmm...atau kau melakukan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang mereka katakan padamu lalu kau menyesal dan berharap semua ini tidak terjadi," ujar Delissa yang lalu menyudahi membersihkan wajahku. Ia meremas kain yang lembab itu di kedua tangannya sembari duduk memeluk lututnya menghadapku.

"Kau selalu tahu," aku mendengus sembari tersenyum dan menggelengkan kepalaku.

"Kau tahu, sepertinya memang harus ada seseorang yang menghajarmu agar kau akhirnya bisa menurut."

"Aku tidak seburuk itu," balasku yang lalu menepis tangan Delissa yang meremas kain tadi. Sekilas aku melihat Pat yang terlihat sedih. Mungkin ia tidak suka melihat kakaknya, satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa, marah dan menolak untuk berbicara padanya. Mungkin aku harus menghampirinya.

"Pergilah," ujar Delissa.

"Apa maksudmu? Kita baru saja bersama lagi."

Delissa memutar kedua bola matanya, "Bukan pergi meninggalkanku, bodoh. Pergilah, hampiri dia. Aku akan mengambil jatah makananmu, aku kelaparan."

Tanpa berpikir panjang aku pun menghampiri Pat. Sebelum akhirnya duduk di sampingnya, aku melihat Ray yang menatapku dengan sinis namun tidak menghiraukannya. Aku yakin dia tidak akan melakukan apapun kali ini.

"Hei."

"Hai, Ed."

"Maafkan aku, jika saja aku mendengarkanmu untuk menunggu, ini semua tidak akan terjadi," ucapku perlahan sembari menatap wajahnya yang menatap lurus ke depan.

"Itu bukan salahmu. Ray memang terlalu sensitif akhir-akhir ini seperti yang kukatakan padamu sebelumnya. Aku hanya berharap ia tidak terlalu kasar dan menutup dirinya."

"Aku mengerti. Percaya atau tidak, Delissa dan aku selalu bertengkar, maksudku...tidak setiap hari tetapi ya...berselisih. Tapi kurasa semua kakak adik seperti itu," kata ku berusaha untuk menghiburnya sedikit.

Pat terkekeh, "Kurasa juga begitu."

Setelah jawabannya tadi, ia menatap wajahku seskilas kemudian ekspresinya seketika berubah menjadi khawatir. Aku mengerutkan kening, ikut menatapnya dalam diam dan Pat pun mengalihkan pandangannya dariku. Tidak tahu mengapa ada sesuatu di dalam diriku mengatakan bahwa aku harus menciumnya. Sesuatu di dalam dirinya mengingatkanku akan Stephanie.

Kulihat Pat sedang menunduk, memainkan tali sepatunya selagi dagunya bertumpu pada kedua lututnya. Aku menyentuh pipi kanannya dan membuatnya melihat ke arah ku dan aku pun akhirnya menciumnya. Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku. Aku berusaha menghentikannya, tapi tak bisa, aku ingat Stephanie, wajahnya, tawanya, senyumnya, tangisannya, teriakannya, semua tentang Stephanie.

Tiba-tiba Pat mendorong bahuku dengan kuat. "Ed! Kau menyakitiku!" Pat menyeka bibirnya dengan punggung tangannya.

"Sungguh, maafkan aku Pat, aku tidak bermaksud melakukan itu padamu," aku meminta maaf secepatnya namun Pat sudah tidak lagi menatap wajahku. Ia berdiri secepat kilat.

"Pat!"

"Jangan sentuh aku, aku tahu kau memikirkannya saat menciumku, mengingat semua tentangnya, aku tak ingin kau menciumku hanya untuk pelampiasan kerinduanmu kepadanya, aku ingin kau menciumku karena kau menyukaiku dan yang pasti itu mustahil," ujarnya dengan suara yang bergetar lalu berjalan menjauh.

"Hei! Jika kau menyentuhnya lagi, aku akan menghabisimu," ancam Ray yang tiba-tiba menarik bahuku.

Aku terdiam. Ucapan Pat membuatku tersadar, matanya berkaca-kaca saat mengatakan itu. Aku tidak tahu harus bicara apa. Yang bisa kuucapkan hanyalah kata maaf dan aku tahu itu tidak cukup.

"Kali ini aku setuju dengan Ray," ujar Delissa tiba-tiba.

Tanpa kami duga, suara teriakan yang mengerikan membuat kami semua menoleh ke sumber suara secara bersamaan.

The Way OutTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon