N I N E T E E N - War

2.2K 390 82
                                    

Suara ricuh bergema, mengganti suasana yang semula dibalut kehangatan, kini dicekam krasak-krusuk kekakuan. Bisikan demi bisikan bersuara, omongan demi omongan kian berdengung. Tatapan orang yang semula berpencar ke segala arah, kini memusat kepada satu titik seorang, ke tempat di mana seorang perempuan terdiam basah kuyup diguyur air vodka, dan seorang lagi tersungkur di lantai, dengan raut ketakutan menghias di wajahnya.

Sorot sekian pasang mata yang menatap tidak terlihat satu pun baik, tidak terlihat satu pun prihatin. Hampir seluruhnya, minimal sebanyak yang dapat dilihat, adalah tatapan menghakimi. Tatapan menilai. Tatapan yang gemar sekali para bangsawan menjijikkan keluarkan, dalam masalah terkecil yang bukan urusan mereka sekali pun. Tatapan dari atas, tatapan bak juri menatap peserta siap untuk dihempaskan dari pertandingan.

Tatapan sok berkuasa.

Dari ujung ruangan, tepat berseberangan dengan kejadian perkara, hanya seorang saja bangsawan yang tidak menyorotkan pandangan yang sama. Hanya seorang saja pria, walaupun terkaya dan terbesar namanya, namun secercah pun pandangan menghakimi tidak muncul di bola matanya.

Alih-alih, dia membelalak. Dan belalak yang tak terkira besar, hingga mulutnya ikut terbuka akan keterkejutan yang dia lihat.

Itu adalah Rian, yang jantungnya hampir dibuat berhenti, melihat Charlotte yang senantiasa berlagak anggun nan profesional, pertama kalinya membuat kericuhan di acara sosialita semacam ini yang sangat ia segani. Tunggu, apa-apaan? Mengapa Jasmine berada bersamanya? Rian membatin.

Mengapa mereka bertengkar!?

"Ayah, ayah!" Suara Jasmine yang lembut, namun terdengar melengking, seketika berkumandang. Wanita itu yang tersungkur di lantai, bangkit menghampiri ayahnya dan menunjukkan jemarinya ke wajah Charlotte, dengan sirat ketakutan tercetak di bola matanya.

"Ada apa ini Jasmine? Jelaskan, mengapa bisa terjadi seperti ini?" tanya France, dengan nada tegas di suaranya.

Sebuah isakan kabur dari bibir Jasmine. "Aku... aku pun tidak tahu ayah," ucapnya, menyedihkan.

"Aku hanya bertemu dengan Tuan Andira.... Aku hanya berbicara dengannya." Kening Rian semakin berkerut. Mengapa aku tiba-tiba!? "Aku hanya berbicara sebentar, ayah. Lalu rupanya Nona Jadelia tidak suka aku berdekatan dengan sahabatnya.

"Aku diserang tiba-tiba, ayah!"

Bisikan demi bisikan semakin berkumandang keras. Tatapan demi tatapan semakin menajam, semakin menghakimi dalam setiap sorotannya. Kini semua orang menatap ke arah Charlotte seorang, menatap wanita yang masih terdiam dengan mulut sedikit terbuka, dan keterkejutan tercetak jelas di wajahnya.

Malam ini entah mengapa Rian merasa dirinya sedang lamban. Otaknya yang biasa berputar tanpa jeda, hari ini terasa sedang dibebat beban yang melambatkan. Dia lamban mengerti apa yang terjadi, benaknya lamban mengerti mengapa kini dia sedang dibicarakan di hadapan orang banyak, walau dia hanya bergeming duduk sepanjang malam. Rian lamban mengerti.

Namun satu hal dengan jelas pria itu ketahui saat ini. Kalau apa yang Jasmine katakan adalah kebohongan, kalau Charlotte tidak mungkin melakukan apa pun sekejam itu.

Sebab Charlotte yang Rian ketahui bukanlah wanita yang seperti itu. Bukanlah wanita rendahan yang mau menghabiskan waktu dan tenaganya memperkelahikan pria yang baginya tidak pernah penting. Sebab Charlotte wanita karir independen, dan meributkan pria bukan sama sekali sifatnya.

Kepalan Rian mengeras, rahangnya terkatup kencang. Nadi-nadi di lehernya menyemburat, amarahnya mendidih jauh di dalam dadanya. Ini tidak bisa dibiarkan. Rasa tak terima menjalar, tidak terima melihat Charlotte difitnah oleh perkara yang bodoh tak terkira.

Age Does(n't) MatterWhere stories live. Discover now