36 | Selamat Hari Ibu

154K 11.9K 300
                                    

[WARNING, Direkomendasikan untuk Play musik di mulmed supaya lebih ngefeel]

_______

"Sumpah, Pak?! Bapak bercanda?" Naqiya masih tidak menyangka, butik yang ia kagumi kapan hari ketika ia memesan gaun pernikahan itu adalah milik ibu mertuanya. Kalau Bara bilang butik itu adalah cabang, bagaimana pusatnya? Cabangnya saja sudah semewah itu.

Hebat, Bu Seruni sangat hebat. Naqiya selalu kagum pada para wanita yang berani memulai hal yang baru, contohnya berbisnis. Walopun pasti mereka tahu bahwa tidak sedikit peluang kegagalannya, namun wanita-wanita itu tidak ciut duluan.

"Iya, Naqiya, saya serius. Saya keliatan bercanda emangnya?" Tanya Bara.

"Bu Seruni hebat ya, Pak." Ujar Naqiya. "Bu Seruni memangnya dulu kuliah dimana, Pak?" Tambahnya.

"Ibu nggak kuliah, Naqiya. Bisa dibilang dulu beliau tamatan SMK, kalo nggak salah jurusan tata busana," ujar Bara. "Orang tua Ibu itu dulu kurang mampu, jadi nggak bisa membiayai pendidikan Ibu."

Sumpah?

Bu Seruni tidak melanjutkan kuliah tetapi bisa sesukses itu. Ibu mertuanya itu benar-benar membuktikan bahwa dimana kamu kuliah tidak 100% menentukan kesuksesanmu.

Naqiya merenung, dirinya yang saat ini masih diberi kecukupan untuk melanjutkan pendidikan tingginya saja malas-malasan dan tidak niat. Padahal disana masih banyak manusia-manusia yang ingin berada di posisi Naqiya. Mengenyam pendidikan tinggi.

"Kalo ditanya Ibu mau kuliah atau nggak, jawabannya Ibu mau kuliah, Naqiya. Sangat mau. Sampai orang-orang di sekeliling Ibu suka mencemooh beliau karena Ibu nggak kuliah. Saya ingat Ibu dulu itu selalu bilang ke saya," ujar Bara.

"Bilang apa, Pak?"

"Ibu bilang, 'Le, nasib belum mujur belum tentu hidup bakal hancur'.
Nasib Ibu dulu memang seperti itu, Naqiya, tapi semangatnya luar biasa.

"Ibu juga bilang, dimanapun kamu menuntut ilmu, bukan tempatnya yang paling penting, tapi ambisi dalam dirimu, kualitas diri. Itu yang harus dijunjung tinggi." Tambahnya

Jleb. Kalimat itu benar-benar menohok dirinya.

"Ibu, beliau tempat saya pulang, Naqiya. Ibu selalu ada buat saya bersandar kalo saya sedang hancur. Berdiri gagah di sana untuk meyakinkan saya bahwa anaknya itu kuat," Bara berbicara tanpa merasa setetes air mata menetes. Ia merindukan Ibunya. "Sekarang saya kehilangan itu semua."

Tangan Naqiya mengelap sedikit tetesan air mata itu dengan lembut, "Saya disini, walaupun nggak akan pernah bisa menggantikan sosok Bu Seruni, tapi saya bisa jadi tempat Bapak pulang."

Bara menggenggam jemari Naqiya yang tadi digunakan untuk menghapus air matanya.

"Bu Seruni beneran hebat. Sumpah, Pak, Saya kagum banget dengernya," ujarnya.

"Kalo Ibu masih disini, mungkin beliau yang semangat nyeritainnya ke kamu."

"Nggak papa, dari Bapak aja udah cukup menggambarkan gimana Bu Seruni."

Bara tersenyum, tangannya mengusap rambut Naqiya. Istrinya ini masih menatap dirinya, sehingga kini dia insan itu saling bertatapan.

"Tapi," Naqiya berpikir sebelum melanjutkan, "Kenapa Bapak percaya kalo saya bisa nge-handle butik Ibu?" Tanya Naqiya.

"Karena saya yakin kamu bisa."

Bara yakin kalau Naqiya bisa? Naqiya sendiri saja tidak yakin dengan potensi diri yang ia punya. Tapi mengapa Bara bisa mengatakan dirinya yakin?

"Kalo saya gagal?" Tanya Naqiya.

Bara terkekeh, "Dicoba aja belom udah bilang begitu."

Naqiya berhem ria, "Saya mau nanya lagi, Pak."

Bara hanya menaikkan alisnya seakan berkata 'silakan'.

"Bapak emang suka mabuk ya? Itu dari dulu?" Tanya Naqiya.

Kali ini Bara terkekeh lagi, "Malam saya niduri kamu itu malam pertama saya mabuk, Naqiya. Pertama kalinya saya nyentuh minuman haram itu. Kalo kamu tanya saya nyesel atau nggak jawaban saya dua."

Pertama kali ya?

"Kok dua? Apa aja?"

"Saya menyesal mengonsumsi itu karena rasanya nggak enak," Bara menatap Naqiya, "Tapi saya juga bersyukur karena itu, sekarang saya bisa jadi suami kamu."

Benar juga. Jika Naqiya tidak hamil duluan, peluang ia akan menikah dengan Bara bisa dianggap 0. Karena balik lagi, tradisi keluarga yang mengatakan 'golongan' mereka berbeda.

"Tapi Bapak bakal minum lagi nggak?"

Bara menggeleng, "Hari itu saya kalut, Naqiya. Dunia saya hancur, saya tidak tau harus lari kemana. Saya bisa jamin ke kamu kalo saya nggak akan minum itu lagi."

"Beneran?"

"Iya, kamu bisa pegang omongan saya."

Naqiya tersenyum lebar mendengar jawaban Bara itu, "Nah gitu baru Papanya Bayi!"

Bara terkekeh, "Eh sebentar," Dirinya berpikir sejenak, "Sekarang tanggal berapa?"

Bara baru sadar, sekarang sudah pukul 1 dini hari, artinya hari sudah berganti. Tanggal baru telah datang.

Naqiya melihat ponselnya untuk mengecek jam, "Udah masuk 22 Desember, kenapa, Pak?"

Tubuh Bara bangkit dari ranjang. Pria itu membuka lemarinya, lalu menarik laci lemari itu. Ia mengambil sesuatu dari dalam sana. Tangannya menutup pintu lemari kemudian berbalik menghadap Naqiya yang telentang di ranjang menatapnya bingung.

"Coba kamu merem," Ujar Bara, Pria itu menghampiri Naqiya, "Sini duduk madep disini," Bara meminta Naqiya untuk duduk.

Demi apapun, sebenarnya Naqiya sangat malas.

Namun wanita itu tetap menuruti suaminya.

Sampai Naqiya merasakan sesuatu mengalungi lehernya, dengan tangan Bara yang sudah menyibakkan rambut Naqiya ke sisi kanan.

"Buka mata kamu," ujar Bara.

"Woah..." Naqiya terpesona melihat apa yang mengalungi lehernya. "Cantik banget, Pak!"

"Selamat hari Ibu, Naqiya," ucap Bara. Pria itu menatap Naqiya dengan senyuman di bibirnya.

Astaga, pria ini manis sekali. Kadang Naqiya pun lupa kalau dirinya sudah menjadi Ibu dari anak pria itu.

"Baik-baik ya sama anak-anak kita, jangan galak-galak," tambah pria itu.

"Makasih, Pak Bara," Naqiya bersemu, pipinya merah. Hatinya merekah. Wanita itu bahagia dengan perlakuan kecil Bara.

Bara memberikan senyuman pada istrinya itu, "Itu kalung yang dipakai Ibu saya. Dulu sempat bilang, kalung kesayangannya ini nanti bakal diwarisi buat menantunya. Sekarang kamu yang dapet posisi itu," ujarnya.

Naqiya terharu, dirinya mendapat hadiah yang mengharukan, "Terima kasih ya, Pak..."

"Iya sama sama," ucap Bara, "Boleh saya peluk bayi saya?" Tanyanya.

Bayi saya mulu! Kenapa tidak langsung saja berkata bahwa Bara ingin memeluk istrinya. Sudah jelas-jelas bayinya belum lahir.

"Bayinya belum bisa dipeluk, yang bisa dipeluk mamanya," jawab Naqiya.

"Kalo begitu, boleh saya peluk mamanya?" Tanya Bara.

Dengan malu-malu Naqiya mengangguk. Sedetik kemudian tubuhnya direngkuh dalam pelukan hangat suaminya itu. Naqiya bahagia, begitu juga dengan Bara.

****

Selamat hari ibu untuk semua ibu indonesia yang hebat! Aku up ini terharu 😭

yukk yang semangat kasih vote dan comment nya yaa biar makin semangat up nya 🤗

Bayi DosenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang