Lima

19.7K 4.8K 226
                                    

Pandu muncul tidak lama setelah Bu Joyo dan Abimana pergi.

"Tahu aja aku lapar banget." Aku mengendus kantung yang dibawa Pandu. "Kok ada 3 sih?" Aku mengeluarkan dan meletakkan kotak-kotak makanan itu di atas meja.

"Bukannya kalian tiga serangkai? Ntar kalau aku cuman bawa satu, buat kamu saja, aku bakal dikatain pelit sama Salwa dan Widi." Pandu menoleh kepada Salwa. "Iya kan, Sal?"

"Widi lagi jaga kantor." Salwa menarik kursi. Dia membuka kotak makanan. "Wah, kwetiau. Tenang aja, aku bisa makan 2 porsi kok. Jatah Widi biar aku yang habisin."

Aku ikut duduk. "Kalau porsinya kecil gini, aku juga bisa habis 2 porsi sih." Aku mengaduk-aduk isi kotak sebelum menyuap. "Dari bengkel langsung ke sini?" tanyaku pada Pandu.

"Aku ninggalin bengkel dari siang sih. Tadi ketemu sama pemilik mobil klasik. Dia mau modif mobilnya."

"Mobil apa?" Aku selalu bersemangat saat diajak bicara soal mobil klasik

"Ferrari 275 GTB, 1966."

"Busyet!" seruku takjub. "Pasti crazy rich Surabayan. Budget-nya pasti unlimited, kan?"

Pandu hanya tertawa.

"Lain kali nggak usah cerita soal modif mobil klasik sama Ambar," kata Salwa di sela-sela suapan. "Dia hanya akan makin semangat kerja untuk dihambur-hamburin ke John Wick yang sudah uzur itu."

"Uzur-uzur tapi ganteng banget," jawabku sewot.

"Percuma ganteng kalau performa nol besar. Gantengnya jadi nggak bermakna kalau keseringan mogok."

"John Wick hanya butuh nyawa baru. Kalau mesinnya udah diganti, dia nggak akan mogok lagi."Aku siap berdebat dengan siapa saja kalau menyangkut John Wick.

"Daripada fokus sama John Wick, lebih baik kamu cari cara untuk untuk deketin Abimana tuh. Dia lebih cocok jadi cinta sejati daripada si John Wick karatan itu."

"Abimana siapa?" tanya Pandu. "Gebetan baru kamu, Mbar?"

Salwa mengangkat jempol untuk Pandu. "Yang ini bukan kaleng-kaleng. Ganteng itu mungkin debatable, tapi pintar itu pasti. Bantuin bujukin Ambar supaya bisa fokus pada laki-laki beneran, bukannya berurusan dengan mobil tua tiap hari seperti sekarang."

Pandu menyeringai. "Ganteng dan pintar ya? Itu perpaduan yang bagus lho, Mbar."

"Memang ganteng dan pintar," aku mengakui. "Tapi bukan tipeku, dan aku yakin dia juga nggak suka perempuan seperti aku."

"Tipe-tipean itu kerjaan logika, Mbar," sanggah Salwa. "Hati nggak kenal tipe atau kriteria. Coba deketin aja dulu. Kalau cocok ya lanjut. Kalau nggak, ya cari yang lain lagi."

"Kamu pikir cari pasangan itu kayak pilih-pilih sepatu?" gerutuku. Ada-ada saja.

"Eh, jangan salah, pasangan itu memang seperti sepatu. Harus cari yang nyaman. Sepatu yang nggak nyaman dan nggak pas ukurannya meskipun bagus, bisa bikin betis tegang, atau malah tumit lecet. Kaki yang sakit berpengaruh pada mood, dan bikin senewen. Ujung-ujungnya pasti nggak bahagia."

"Itu analogi yang bagus," kata Pandu. "Aku suka sepatu yang nyaman."

Aku mendelik menatapnya. "Tentu saja kamu suka sepatu yang nyaman. Semua pilihan yang ada di depan hidung bikin mata dan jiwa adem. Aku yakin, siapa pun yang kamu pilih, kamu nggak akan berurusan dengan mood yang jelek." Aku beralih pada Salwa. "Dan aku pantang deketin laki-laki lebih dulu. Agresif nggak ada dalam daftar sifatku."

"Laki-laki menghargai hasil perjuangannya," timpal Pandu. "Saranku, jangan terlalu kelihatan ngebet, Mbar."

"Deketin nggak mesti agresif kok, Mbar," sambar Salwa lagi. "Pakai cara halus yang elegan dong."

Aku menggeleng. "Aku suka tipe yang easy going. Abimana kelihatan serius gitu. Senyumnya aja mahal banget. Dia pasti nggak tahu kalau senyum itu lumbung pahala."

"Bukannya itu malah bagus daripada laki-laki yang cengengesan melulu tiap ketemu cewek cantik?" Salwa selalu punya jawaban untuk sanggahanku.

"Ya, nggak cengengesan juga sih. Tapi bersikap ramah nggak ada salahnya, kan?"

"Tadi dia lumayan ramah, kan?"

Aku berdecak. "Obrolan kami tadi lumayan panjang, tapi aku nggak ingat lihat dia senyum."

"Kesimpulannya, dia menyimpan koleksi senyumnya untuk orang yang istimewa. Bayangin aja kalau orang itu kamu, Mbar." Salwa terus mendoktrinku untuk menyetujui pendapatnya tentang Abimana. Dia lantas menoleh ke arah Pandu. "Gimana sikap kamu pada perempuan yang kamu sukai?"

"Hem...." Pandu tampak berpikir. Telunjuk dan ibu jarinya mengusap-usap dagu. "Tentu saja aku akan berusaha membuat dia nyaman."

"Salah satunya dengan lebih banyak tersenyum, kan?"

Pandu mengangguk. "Kalau lebih banyak tersenyum bikin dia senang, mengapa tidak?"

Aku menggeleng-geleng melihat Salwa dan Pandu yang kompak. Lebih baik menghabiskan makanan daripada harus terlibat percakapan absurd tentang Abimana. Kasihan laki-laki itu. Dia mungkin sedang tersedak minumannya karena kami sedang membicarakan dirinya.

Pandu tidak tinggal lama di booth kami. Dia segera pamit setelah menerima telepon.

"Lebih baik lupakan dia dan fokus pada Abimana," kata Salwa begitu Pandu pergi.

Aku menoleh cepat untuk menatap Salwa. "Kamu ngomong apaan sih?"

"Akui saja kalau Pandu bukan sekadar cinta monyet untuk kamu, Mbar. Dalam hati kamu masih mengharapkannya. Itu sebabnya kisah cinta yang berusaha kamu bangun nggak pernah ada yang berhasil. Karena kamu selalu membandingkan mantan-mantan kamu dengan Pandu. Dan dalam pikiran kamu, mereka nggak ada yang bisa mengalahkan Pandu."

Aku terdiam. Benarkan aku seperti itu? Rasanya tidak. Sudah lama aku menerima kenyataan kalau Pandu memang tidak tertarik padaku. Baginya, aku hanyalah anak dari bosnya. Atau sahabat. Atau malah adik. Tidak lebih daripada itu.

Aku pacaran dengan orang lain karena aku juga tertarik pada orang itu, bukan semata sebagai pelarian. Iya, kalau mau jujur, perasaan tertarik itu memang tidak sebesar yang aku rasakan pada Pandu, tetapi tertarik ya tetap saja adalah perasaan suka yang aku pikir harus aku tindak lanjuti. Perkara hubungan itu akhirnya gagal, itu karena ketidakcocokan yang kami temukan di tengah jalan, bukan karena Pandu.

"Kamu lihat reaksi Pandu saat aku nyebut-nyebut Abimana tadi, kan?" Salwa melanjutkan saat aku masih diam. "Nggak ada tanda-tanda kalau dia cemburu karena kamu akan mendekati orang lain. Itu artinya jelas banget kalau dia sama sekali nggak tertarik sama kamu, Mbar. Tadi itu aku udah usaha banget lho untuk manas-manasin dia."

"Aku sudah tahu sejak dulu kalau dia nggak tertarik padaku," aku akhirnya menemukan suara lagi. "Nggak usah bahas itu lagi sekarang."

"Mengharapkan hal yang nggak pasti itu bikin sakit hati sih." Salwa mengusap lenganku. "Aku memang sengaja menyebut-nyebut Abimana untuk melihat reaksi Pandu, tapi nggak ada salahnya kalau kamu beneran deketin Abimana. Karakternya jelas beda dengan Pandu, tapi itu bikin dia jadi orang yang tepat supaya kamu terbebas dari pengaruh Pandu. Aku nggak tahu apa kamu sadar atau enggak, tapi mantan kamu kan mirip-mirip Pandu yang easy going."

Percakapan dengan Salwa itu lumayan mengganguku. Dia membuatku memikirkan Pandu dengan cara yang sudah lama tidak kulakukan. Aku jatuh cinta pada Pandu saat dia masih menjadi anak STM yang magang di bengkel ayah. Cinta pertamaku. Aku melakukan banyak hal konyol untuk menarik perhatiannya, tetapi tidak membuahkan hasil apa pun. Alih-alih membalas perasaanku, Pandu kemudian mengenalkan aku pada pacarnya yang ketika itu menyusulnya ke bengkel.

Peristiwa itu membuatku patah hati, tetapi juga menyadarkan bahwa perasaan tidak bisa dipaksakan. Dan aku berusaha move on dari Pandu dengan menjalin hubungan dengan orang lain. Kalau dia hanya menganggapku sahabat atau adik, aku seharusnya bisa melakukan hal sama, kan? Sejauh ini rasanya aku berhasil.

Atau aku salah? Apakah Salwa benar bahwa dalam hati terdalam aku sebenarnya masih mengharapkan Pandu? Astaga, jangan sampai dia menyadarinya. Itu akan sangat memalukan!

Pilih Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang