Dua Puluh Empat

18.1K 4.8K 492
                                    

Tanpa perlu Mama uraikan panjang lebar, aku sudah tahu sebaik dan seloyal apa Pandu pada keluarga kami. Mungkin karena itu pulalah aku butuh waktu cukup lama untuk mengatasi kisah kasih tak sampaiku. Susah juga kan, move on sementara orang yang menjadi alasan patah hati terus berkeliaran tanpa prasangka di sekitar kita? Yang ada malah sedih campur dongkol terus-terusan bertatap muka dengan orang yang buta hati itu!

Aku juga tidak menyalahkan Mama karena memiliki harapan untuk melihat aku dan Pandu bersatu. Aku yakin semua ibu yang menyayangi anaknya pasti menginginkan calon menantu yang sudah mereka kenal kepribadiannya. Dan orang seperti Pandu yang tidak pernah keberatan direpotkan untuk urusan seremeh apa apa pun akan menjadi calon menantu favorit semua ibu.

"Ma," kataku pelan sambil meraih tangan Mama yang tampak emosional saat mengingat semua yang sudah Pandu lakukan selama mendiang Ayah sakit. Mungkin juga Mama teringat betapa kuat ikatannya dengan Ayah. Mereka bersama benar-benar sampai maut memisahkan. Cinta yang bahkan tidak lantas luntur setelah terpisah alam. "Hubunganku dan Pandu hanya sebatas sahabat. Aku malah yakin dia sudah menganggapku sebagai adiknya sendiri. Hubungan itu tidak akan berubah arah menjadi hubungan asmara. Mama pasti tahu kalau perasaan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Harapan dan kenyataan seringnya nggak sejalan."

Mama mengempaskan tubuh di sofa. "Mama tahu," desahnya pasrah. "Tapi Mama pikir kebersamaan kalian itu hanya masalah waktu saja. Kamu tidak pernah punya punya pacar selama beberapa tahun ini. Umur hubungan Pandu dengan pacarnya yang terakhir juga singkat banget, dan dari cara dia menjalaninya, kelihatan banget kalau dia hanya setengah hati. Mama kira, kalian akhirnya menyadari kalau kalian benar-benar cocok. Dan Mama tidak perlu melalui proses adaptasi dengan orang yang benar-benar baru sebagai calon menantu."

"Kami memang cocok, Ma." Aku ikut duduk di sisi Mama. Wajah yang muram itu membuatku ikut sedih. Masalahnya, Mama mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. "Kami cocok sebagai sahabat. Sebagai saudara. Tapi tidak lebih. Pandu tidak pernah melihatku sebagai perempuan. Apalagi jatuh cinta padaku!"

"Kata siapa?" bantahan Mama spontan terlontar. Kali ini dia terdengar bersemangat. "Mama yakin Pandu suka sama kamu! Mama bisa lihat dari cara dia memperlakukan kamu. Cara dia menatap kamu. Kamu saja yang tidak peka."

Aku nyaris memutar bola mata mendengar halusinasi Mama. "Pandu pasti akan menyatakan perasaannya kalau dia benar-benar jatuh cinta padaku, Ma. Pengecut itu bukan karakter Pandu." Aku yakin Pandu tidak akan mencintai seseorang dalam diam, seperti yang dulu pernah kulakukan. Memilih patah hati daripada mengungkapkan perasaan bertentangan dengan kepribadian Pandu yang aku kenal. Dia juga bukan tipe yang takut penolakan. Jadi alasan mengapa hubungan kami tidak pernah bergeser dari posisi yang sekarang adalah karena dia memang tidak pernah melihatku sebagai perempuan yang menggetarkan hatinya.

"Dia pasti punya alasan mengapa belum mengutarakan perasaannya," Mama tetap bertahan pada pendapatnya.

Kali ini aku benar-benar memutar bola mata. "Kalau begitu, apa pun alasannya, itu salah besar. Perempuan butuh pernyataan. Kepastian. Aku yakin hampir semua perempuan lebih suka menjalani hubungan yang pasti daripada menunggu sesuatu yang belum tentu akan terwujud." Aku segera melanjutkan, sebelum Mama salah paham dan mengira aku mengharapkan Pandu. "Lagian, aku sudah bersama Abimana. Mama nggak punya pilihan selain beradaptasi dan mencoba mengenalnya. Dia mungkin tidak bisa menjadi sopir dadakan Mama, tetapi dia baik banget."

Mama masih merenung, seolah tidak mendengar kata-kataku. "Apa Pandu terbebani dengan apa yang dikatakan Ayah saat mereka dulu membicarakan kamu?"

"Mengapa Ayah dan Pandu harus bicara tentang aku?" aku balik bertanya, bingung. Apakah yang baru saja dikatakan Mama berhubungan dengan janji yang pernah disebut-sebut Pandu tempo hari? Waktu itu aku sama sekali tidak menangkap kesan bahwa janji itu spesifik tentang diriku. Aku pikir itu adalah janji supaya Pandu tidak memutus hubungan dengan kami sepeninggal Ayah yang dia kagumi. Pandu dibesarkan oleh ibunya sebagai orangtua tunggal, jadi aku mengerti mengapa dia merasa terikat pada Ayah. Dia pasti menemukan sosok yang selama ini dicarinya dalam diri ayahku.

"Mungkin Mama harus bicara dengannya."

Aku langsung menggeleng-geleng. "Mama tidak boleh membicarakan prospek hubungan denganku pada Pandu! Itu sama saja dengan membebaninya dan membuatnya memikirkan terikat denganku karena harapan Mama. Aku sudah punya Abimana. Dan aku juga tidak akan mempertimbangkan Pandu hanya untuk menyenangkan Mama. Maaf, Ma. Tapi ini hidupku. Aku akan berkompromi tentang apa saja dengan Mama, kecuali urusan pasangan."

Mama mencibir padaku. "Mama hanya mau bicara tentang apa yang Pandu dan ayah kamu dulu bahas, Mbar. Bukan nyodorin kamu ke Pandu. Nggak mungkin juga Mama memaksakan kehendak untuk menjodohkan kalian kalau Pandu memang tidak punya perasaan apa-apa sama kamu. Mama juga nggak sebodoh itu sampai mau mengorbankan kebahagiaan anak sendiri."

"Untuk apa membahas apa yang mungkin sudah nggak Pandu ingat lagi, Ma? Lebih baik nggak usah diungkit-ungkit lagi," aku mencoba membujuk Mama untuk mengurungkan niat bicara dengan Pandu. Mama bisa saja bilang dia tidak akan menyodorkan aku, tapi melihat betapa sayangnya Mama pada Pandu, apa saja bisa terjadi, kan? Lebih baik mencegah sebelum hal itu terjadi.

**

"Semoga ibumu suka tanaman ini."

Dahiku berkerut begitu melihat pot yang ada di bagasi mobil Abimana. Bentuknya aneh. Tanaman itu hanya berupa daun tak utuh sehingga tampak seperti jari-jari. Sebelah sisinya berwarna kekuningan, dan sebelahnya lagi berwarna hijau. Aku yakin Mama belum punya tanaman unik seperti ini.

"Ini namanya apa?" Aku tetap bertanya meskipun tahu jika aku tidak familier dengan berbagai nama tanaman.

"Kata ibuku, namanya philodendron minima." Abimana meringis. "Jangan tanya lebih detail. Aku menghabiskan banyak waktu di kantor, bukan mengurus tanaman."

Aku menatapnya awas. "Ini pasti mahal ya?" Biasanya, semakin aneh dan konyol bentuk tanaman, semakin kurang aja pula harganya. Mungkin itu yang jadi alasan mengapa kebun kecil Mama belum kedatangan tanaman seperti ini.

Kali ini Abimana tertawa. "Ini gratis kok. Ibuku nunjukin tanaman ini saat aku bilang mau ngasih tanaman untuk ibu kamu. Tadinya mau sekalian bawa dengan yang pink princess, tapi Ibu bilang mau diganti potnya dulu biar layak jadi oleh-oleh. Nanti aku bawa kalau potnya sudah diganti."

Ucapan Abimana menyadarkanku akan sesuatu. "Ehm... ibumu tahu kalau kamu sudah... ehm... punya pacar?"

Abimana mengedikkan bahu. "Aku nggak pernah tertarik sama tanaman sih, jadi Ibu langsung tahu aku punya pacar saat aku bilang mau ngasih tanaman untuk ibu temanku."

Melihat tanggapan Abimana, aku yakin dia tidak mengalami pertentangan dengan ibunya saat membicarakan hubungan kami.

"Masuk yuk," ajakku. "Hari libur gini biasanya Mama lebih sering menghabiskan waktu mengurus tanamannya." Tadi pagi aku melanjutkan tidur setelah makan setangkup roti, dan baru terbangun saat mendengar telepon dari Abimana. Aku hanya mencuci muka dan menggosok gigi sebelum turun menyambutnya.

Abimana mengangkat pot yang dibawanya dan mengikutiku yang mengarahkan langkah menuju halaman belakang, tempat Mama menanam merawat sebagian besar koleksi tanaman hiasnya.

Mama memang ada di sana, tetapi dia tidak sendiri. Dia sedang bermain tanah dengan Pandu. Rajin sekali. Hari kerja jadi bos bengkel yang sesekali ikut bermain oli, sekalinya libur, bukannya tidur seharian seperti aku, dia masih menemani Mama main tanah dan pupuk kandang yang bau.

Pilih Siapa?Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin