Dua Puluh Sembilan

15.1K 4.3K 372
                                    

Pengakuan Pandu membuatku terpana. Aku masih sulit memproses apa yang sedang kami bahas. "Kamu sudah bicara dengan Mama?" Kecurigaan awalku kembali lagi. Tidak mungkin Pandu mendadak membicarakan hal ini tanpa campur tangan Mama. Dosis motivasi yang disuntikkan Mama padanya pasti lumayan tinggi. Mama sudah terbiasa mengatur stafnya, dan memengaruhi Pandu yang sudah dipastikan patuh padanya pasti semudah membalik telapak tangan.

"Bicara soal apa?" Pandu balik bertanya. "Apa yang perlu Ibu bicarakan denganku?" Ekspresi bingungnya sangat wajar sehingga aku yakin dia memang belum bicara dengan Mama.

Perasaan bersalah karena sudah meragukan janji Mama yang sudah mengatakan tidak akan ikut campur masalah asmaraku muncul lagi. Rasanya aku jadi meragukan kinerja otakku yang kini berisi keraguan dan praduga. "Lupakan saja." Aku spontan menggeleng. Lebih baik fokus pada percakapan kami. "Jadi kenapa harus dibicarakan sekarang? Tidak ada gunanya lagi, kan? Sudah sangat terlambat. Kamu tahu aku sudah sama-sama Abimana." Nada suaraku mulai meninggi. Kurasa inilah yang diantisipasi Pandu dengan memesan ruangan khusus untuk kami. Dia sudah hafal karakterku. Dia hanya tolol karena tidak bisa membaca perasaanku dulu. Atau aku yang terlalu pintar menyembunyikannya? Entahlah. Sulit untuk yakin tentang apa pun sekarang.

"Mungkin karena itu jadi aku memutuskan untuk membicarakannya sekarang. Kelihatannya hubungan kalian serius. Ak—"

"Tentu saja hubungan kami serius!" potongku sebal. Aku tidak ingin mendengar penjelasan apa pun mengenai keterlambatan pengakuan itu. "Aku sudah pernah bilang sama kamu waktu kita ngobrolin Abimana! Akan aku ulang lagi sekarang supaya kamu lebih yakin. Aku sudah terlalu tua untuk menjalani hubungan iseng, Pandu! Seharusnya kita nggak perlu membicarakan ini," keluhku. Volume suaraku menurun, tetapi tekanan nadanya tetap tajam. Pandu benar-benar keterlaluan. Meskipun aku sudah bersama Abimana, percakapan ini tetap akan membuatku merasa terganggu. Tidak mungkin melupakannya begitu saja. "Apa kamu nggak bisa ikut bahagia saja untukku?"

"Aku selalu mencoba mendukung dan berbahagia untukmu, Mbar. Alasan mengapa aku nggak pernah mengungkapkan perasaanku sama kamu karena aku nggak mau jadi alasan kamu terluka kalau hubungan kita nggak berhasil, karena itu berarti mengkhianati janjiku pada Bapak. Aku pikir, apa yang aku rasakan sama kamu akan luntur seiring waktu. Atau, kalau aku akhirnya melihatmu menemukan orang lain, aku akan bisa menerima hal itu. Dan hubungan kita nggak akan berubah. Tapi ternyata perasaan nggak bisa diatur seperti itu. Aku sudah mencoba menerima kamu bersama Abimana, tapi sulit. Aku tidak bisa. Aku sudah memikirkan semuanya sebelum mengajak kamu bicara, Mbar. Aku sudah jauh lebih dewasa daripada beberapa tahun lalu saat bicara dengan Bapak. Aku yakin kalau aku bisa menjadi pasangan yang baik untuk kamu. Tidak mungkin sempurna, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi pasangan yang kamu inginkan. Aku tidak akan menjadi alasan kamu sakit hati seperti yang selama ini aku khawatirkan."

Aku tertawa miris. Itu mungkin alasan yang bagus, tapi tidak valid lagi. Waktunya sudah tidak relevan. Kedaluwarsa. Basi. "Kamu memikirkan ini setelah aku bersama Abimana? Hebat sekali. Jadi kalau aku belum berkomitmen dengan siapa pun, kamu akan terus diam saja sampai aku ubanan? Atau, kita memang tidak akan membicarakannya ketika perasaanmu memang benar-benar luntur saat akhirnya menemukan orang lain dan hidup bahagia bersamanya!"

Pandu diam saja, jadi aku melanjutkan dengan lebih lantang, "Kamu sadar nggak sih kalau setelah ini hubungan kita tetap akan berubah? Aku tidak akan bisa berpura-pura melupakan apa yang sudah kita bicarakan ini." Kecanggungan itu memang belum terasa karena aku masih dikuasai kemarahan, tapi keadaan akan berbeda setelah proses cooling down selesai. Pasti butuh waktu untuk mengembalikan interaksi kami seperti sebelum percakapan ini dilakukan.

"Aku nggak mau kamu berpura-pura melupakan percakapan ini, Mbar. Aku mau kamu memikirkannya. Itu tujuanku mengajak kamu bicara. Aku tahu kamu orang yang memegang teguh komitmen, dan kesannya aku mungkin egois karena mengungkapkan perasaanku saat kamu sudah bersama seseorang. Aku ha—"

"Bukan mungkin, kamu memang egois!" sentakku tajam. Kesabaranku sudah hilang sejak tadi, dan aku semakin jengkel melihat cara Pandu meresponsku. Bisa-bisanya dia terlihat setenang itu setelah menjatuhkan bom di depanku.

"Aku tahu, Mbar. Tapi orang memang terkadang harus bertindak egois untuk memperjuangkan kebahagiaannya."

Aku menarik napas panjang berulang-ulang untuk mengendapkan kejengkelan. Sulit. Aku jadi mengerti mengapa orang bisa kehilangan kendali diri saat dikuasai emosi. "Apa yang kamu harapkan dari pengkuanmu? Aku meninggalkan Abimana, begitu?"

"Kamu tahu kalau bukan aku yang bisa membuat keputusan seperti itu, Mbar. Aku menyatakan perasaanku untuk memberi tahu kamu kalau selain Abimana, ada aku yang juga mencintai kamu dengan tulus. Aku yang sudah kamu kenal dengan baik. Bersama, kita bisa melangkahi banyak tahap karena tidak harus memulainya dari awal."

Percakapan ini masih terasa tidak nyata untukku. Sejujurnya, aku berharap ini mimpi. Jadi ketika aku terbangun, semua akan kembali seperti sebelum Pandu menohokku dengan pengakuannya.

Aku rasa tidak ada orang yang ingin berada di posisiku. Patah hati karena memendam cinta selama bertahun-tahun kepada seseorang, dan ketika sudah berpindah ke lain hati, orang yang membuat patah hati itu lantas menyatakan perasaan cinta yang sama. Ironi.

Aku pasti akan menghasilkan banyak uang seandainya berprofesi sebagai komposer lagu-lagu cinta cengeng. Aku bisa menciptakan banyak lagu tentang cinta yang hadir di waktu yang salah. Fiersa Besari, siapa dia? Aku akan mengalahkannya. Aku akan menjadi ratu dari segala ratu pencipta lagu galau.

"Tidak ada yang harus kita bicarakan lagi." Aku memantapkan tekad saat menatap Pandu lekat, untuk menyampaikan bahwa aku sungguh-sungguh dengan pernyataanku. Dia harus yakin kalau pintu yang hendak diketuknya sudah tertutup rapat. "Aku sudah mendengar pengkuanmu, tapi itu nggak akan mengubah apa pun. Aku sudah bersama orang lain. Semuanya mungkin berbeda kalau kita membicarakan ini sebelum Abimana hadir. Sayangnya pemilihan waktu kamu benar-benar keliru. Tapi ini akan jadi pelajaran untuk kamu. Lain kali, jangan tunggu sampai teritorial kamu terinvasi sebelum bertindak." Aku mengulurkan tangan pada Pandu. "Kasih aku kunci mobil kamu. Aku mau balik duluan ke kantor. Sebaiknya kita jangan bicara dulu karena aku masih sangat jengkel sama kamu!" Aku menyambar kunci yang diulurkan Pandu. "Jadi kamu nggak usah masuk ke kantor kalau datang ngambil mobil. Kuncinya akan aku tinggal di mobil."

Biar saja dia naik taksi daring. Salahnya sendiri sudah membuatku sebal.

**

Di Karyakarsa udah sampai bab 34 ya. Bisa ke sana kalau pengin baca lebih cepet. Tapi berbayar sih. Kalau pengin nunggu yang gratisan di sini, kita mainnya pakai goal vote ya. Tengkiuuu....

Pilih Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang