Satu

57.1K 5.6K 465
                                    

Cinta sering kali menyusahkan. Iya, kalimat itu cocok untuk dipakai menggambarkan situasi yang sedang aku hadapi sekarang. Penampilanku yang cerah maksimal saat keluar dari rumah pasti sudah berubah masam saat memandang sebal pada cinta dalam hidupku di hadapanku ini sekarang.

Mengapa... mengapa dia harus memilih saat ini untuk merajuk? Demi Tuhan, ini baru pukul 8 pagi. Semua makhluk di dunia seharusnya senang menyambut pagi. Ayam berkokok, burung berkicau, daun-daun berpelukan manja dengan embun, angin berembus sepoi-sepoi, aroma ma—

Aku menggeleng kuat-kuat. Bukan saat untuk melantur. Sekarang aku harus berada di kantor untuk menyiapkan banyak hal sebelum calon investor yang akan menanamkan modal dalam usaha furnitur yang aku bangun 5 tahun lalu bersama dua orang sahabatku datang.

Bisnis idealis yang didirikan tidak mengikuti selera pasar butuh waktu untuk berkembang. Dan begitu berkembang, kami butuh dana yang tidak sedikit untuk membeli bahan baku kelas premium yang menjadi sasaran pasar kami. Karena itu kesempatan mendapatkan investor tidak bisa disia-siakan. Sayang sekali belahan jiwaku tampaknya berniat menyabotase kesempatanku untuk maju.

Aku menekan nomor Salwa. "John Wick ngambek," kataku tanpa basa-basi. "Aku bakalan telat sampai kantor. Tolong handle dulu kalau Bu Joyo datang sebelum aku sampai ya."

"Nggak bisa gitu dong, Mbar!" Salwa langsung berteriak. "Pembagian tugas kita kan udah jelas banget. Kamu menangani klien karena kamu memang jagonya memersuasi orang. Aku dan Widi kan lebih banyak kerja di belakang meja dan mengawasi tukang. Karena itu kamu yang kebagian tugas dandan maksimal untuk bikin investor kayak Bu Joyo mau menghamburkan uang untuk kita. Aku sudah bilang jutaan kali, putusin si John Wick. Terus bareng dia lebih banyak mudarat daripada manfaatnya untuk usaha kita."

Aku menatap John Wick yang diam seribu bahasa. Ah, dia benar-benar tampan. Setiap kali melihatnya, aku langsung tahu alasanku jatuh cinta.

"Aku nggak bisa putus sama dia, Sal. Kamu tahu gimana sejarah kami. Aku nangis beneran selama seminggu, dan terus pura-pura nangis selama 3 minggu berikutnya supaya almarhum ayahku merestui hubungan kami."

"Kalau gitu jangan ngeluh. Aku nggak mau tahu gimana caranya, tapi kamu harus sudah ada di kantor sebelum Bu Joyo datang. Aku telanjur pakai jin belel yang sobek-sobek. Bu Joyo pasti langsung balik badan kalau aku yang sambut. Dan kamu juga pasti nggak mau Widi yang berhadapan dengan Bu Joyo. Desainnya luar biasa, sama persis dengan lemotnya yang nauzubillah. Brand kita langsung kelihatan nggak kompeten kalau dia yang maju." Hubungan telepon ditutup begitu saja.

Aku mendesah dan mengalihkan tatapan sebal pada John Wick. "Cinta itu seharusnya memberi dan menerima. Kenapa kamu sulit sekali mengadopsi konsep sesederhana itu sih? Kurang sayang apa lagi aku sama kamu, coba? Aku udah hidup seperti gembel saking iritnya karena harus ngalah sama maintenance kamu yang bikin dompetku bocor banget. Apa aku pernah ngeluh? Nggak pernah! Harusnya kamu lihat-lihat waktu dan tempat sebelum memutuskan ngambek kayak gini dong. Masa depan kita berdua ditentukan pagi ini. Kalau usaha kami bisa melesat seperti prediksi, kamu juga yang bakal aku poles biar tambah ganteng."

John Wick diam saja. Dasar cowok matre! Aku menendang bannya kuat-kuat sebelum membuka pintu untuk melempar blazer. Penampilanku pasti berantakan setelah membuka kap untuk mengutak-atik mesin. Seharusnya aku tidak menjalin cinta dengan mobil bermesin tua, bagaimanapun keren penampilan luarnya.

Aku menamai Ford Mustang Shelby G.T 500 ini dengan nama John Wick karena itulah mobil yang dikemudikan Keanu Reeves di film John Wick. Tapi jangan bayangkan Mustang Shelby milik Andre Taulany atau Sean Gelael.

Penampilan luar John Wick-ku mungkin tidak kalah kinclong, tetapi jeroannya di dalam jelas jauh dari performa maksimal. Ayah dulu mendapatkan John Wick dengan harga murah. Rongsokan. Ada kolektor yang mau membayar luar biasa mahal untuk biaya modifikasi dengan mendatangkan semua onderdil asli dari Amerika, tetapi untung besar itu raib karena air mata buayaku.

"Punya anak tunggal perempuan yang gila sama mobil tua ternyata bisa merusak mata pencaharian," omel Ayah waktu itu. "Seharusnya Ayah nggak terlalu sering ngajak kamu ikut main ke bengkel nemenin Ayah kerja."

Jadi, John Wick-ku memang ngos-ngosan karena mengganti onderdil ala kadarnya tidak bisa memperbaiki performa, tetapi aku jelas tidak sanggup melakukan modifkasi total. Ralat, bukan TIDAK sanggup, tetapi BELUM sanggup. Bila saatnya tiba, ketika uangku sudah bisa dihambur-hamburkan, John Wick akan membuatku bangga karena bisa langsung meraung tanpa harus ngambek di tengah jalan.

Setelah mengutak-atik jeroan John Wick selama hampir setengah jam, mobil itu akhirnya mau berbaik hati dan mengantarku ke kantor yang sekaligus berfungsi sebagai bengkel tempat tukang mengeksekusi hasil gambar kami menjadi furnitur asli.

"Jangan tanya!" Aku mengangkat telunjuk untuk membungkam Salwa yang menganga melihat tanganku yang kotor berlepotan oli. Tisu basah tidak cukup untuk membersihkannya.

"Kamu menyusahkan hidup sendiri. Jual John Wick, ganti dengan Jazz aja." Salwa mengikutiku ke wastafel. "Dengar-dengar, kalau udah dimodif, John Wick bisa laku miliaran lho."

Aku mendelik. "Kamu pikir aku tipe orang yang mau menukar cinta dengan uang?"

"Cintamu bukan hanya ngabisin duit, Mbar. Dia juga sering bikin malu kamu di jalan raya." Salwa menuang sabun banyak-banyak di tanganku. "Sekarang aja dia hampir membuat kita kehilangan investor kalau kamu telat datang. Bagian dalam kuku kamu masih item tuh."

Aku berusaha membersihkan bagian dalam kukuku, tetapi sulit. Sialan. Semoga Bu Joyo tidak menganggap kuku yang kotor karena oli adalah gambaran ketidakmampuanku menjalankan usaha. "Cintaku tanpa pamrih." Aku menatap kukuku pasrah. "Dulu Ayah sering membersihkan oli pakai sabun colek. Sabun cuci tangan kayak gini kurang mempan."

"Tunggu, aku suruh tukang beli sabun colek dulu. Penampilan kamu adalah gambaran brand kita." Persis ketika Salwa berteriak, Dua buah mobil berhenti di depan kantor. Pasti Bu Joyo. Tidak semua orang Surabaya berkeliaran dengan Mercedes Benz tipe terbaru. "Setelah salaman, tangan kamu dikepal aja terus." Salwa menyengir setelah melempar ide konyol itu.

Sekali lagi aku menatap kukuku yang kotor sebelum bergegas ke pintu. Aku mengubah setelan sebal dengan senyum paling manis yang bisa kutampilkan saat membuka pintu kaca untuk menyambut Bu Joyo yang ternyata datang bersama beberapa orang.

"Selamat datang, Bu," sapaku ramah. Aku sudah beberapa kali bertemu Bu Joyo untuk menjajaki kerja sama ini, tetapi baru kali ini dia datang langsung untuk melihat kantor dan bengkel tempat kerja kami.

"Halo, Ambar." Bu Joyo tersenyum menyambut uluran tanganku. Syukurlah dia tidak melihat ke arah kukuku. "Kenalin, ini Abimana." Dia menunjuk seorang laki-laki muda di sampingnya. "Dia yang nantinya akan lebih sering berhubungan dengan kalian."

Kali ini aku kurang beruntung. Abimana jelas melihat kukuku yang hitam. Bukan itu saja, dia otomatis membolak-balik tangannya untuk menyakinkan noda oli di kukuku tidak menular di telapak tangannya yang mulus. Sialan!

Pilih Siapa?Where stories live. Discover now