Tiga

18.8K 4.9K 363
                                    

Kelemahanku sebagai perempuan adalah aku sulit melupakan kesan jelek seseorang terhadap diriku. Meskipun lumayan bisa mengatasi mesin mobil yang ngadat dan cinta mati pada John Wick, aku bukan perempuan yang berkeliling memamerkan kuku bernoda oli. Aku merawat diri. Abimana hanya salah waktu saja saat berkenalan denganku.

Jadi ya, aku sudah bersiap ketika akhirnya laki-laki halus, mulus, kinclong, keset, ganteng, trendi, dan pemuja kesempurnaan fisik itu (aku belum kenal dia, tapi kalau menilai caranya melihat kuku hitamku, seharusnya dia memang mengagungkan fisik, kan?) menghubungi untuk menandatangani MoU.

Aku sengaja ke salon untuk manicure dong. Persiapanku matang kali ini. Kalau ada pemilihan jari-jari indah sedunia, aku percaya diri jari-jari dan kukuku versi ini akan masuk sebagai finalis.

Setelah ke salon tadi malam, aku mengistirahatkan jari-jari dan meminimalisir kontaknya dengan benda-benda yang bisa menimbulkan noda sekecil apa pun. Akan kita lihat apakah si Tuan Abimana Pembenci Noda itu masih tetap menatap jijik padaku.

"Silakan masuk," sambut Abimana membuka pintu ruang kerjanya yang lumayan besar. Sepertinya dia punya kedudukan penting di kantor ini.

Sebagai pemimpin rombongan, aku menyodorkan tangan lebih dulu untuk bersalaman. Aku mengabaikan Salwa yang memutar bola mata saat melihat caraku mengulurkan tangan. Tidak ada cara lain untuk memamerkan hasil manicure kecuali dengan menghadapkan punggung tangan di depan hidung Abimana, kan? Kesannya memang sedikit berlebihan, tetapi caranya menatap kukuku beberapa hari lalu juga berlebihan. Anggap saja kami sedang saling berbalas sikap berlebihan.

Abimana mengerutkan kening dan menatap jari-jariku sejenak sebelum menyalaminya. "Ibu Trunojoyo sedang keluar kota, jadi prosesnya saya dan pengacara kami yang menangani," katanya. "Silakan duduk dulu. Pengacara sedang di jalan. Tadi ada klien yang nggak bisa ditolak, jadi beliau memang agak terlambat."

"Tidak masalah, kami akan menunggu." Demi tumpukan uang investasi sebagai tiket untuk meraih kejayaan usaha, aku punya waktu seharian untuk memamerkan jari di depan Abimana.

Abimana mengarahkan kami ke sofa di ruangannya. Tidak lama duduk, sekretarisnya masuk membawa minuman. "Silakan diminum."

Ini kesempatan untuk kembali memperlihatkan jari-jari dan kuku yang cemerlang. Aku pura-pura tidak mengerti isyarat Salwa yang menyikutku ketika melihat caraku meraih dan memegang cangkir. Saat memutuskan untuk bersikap lebay di hadapan Abimana, aku akan melakukannya semaksimal mungkin.

"Cincin kamu nggak baru kan, Mbar?" celutuk Widi. "Kok masih dipamer aja?"

Aku mendelik. Dasar tidak peka! Tapi sulit mengharapkan kepekaan dari Widi, apalagi dia tidak ada ketika Abimana datang ke kantor kami.

Untunglah pengacara yang menyusun dan membawa berkas perjanjian kerja sama yang akan kami tanda tangani akhirnya datang sehingga aku terbebas dari kecanggungan akibat komentar Widi yang tidak pada tempatnya.

"Sesuai perjanjian, kami menginginkan laporan secara berkala dari perusahaan kalian," kata Abimana setelah kami menandatangani perjanjian kerja sama. "Laporan produksi, dan tentu saja keuangan. Kami harus yakin menanamkan uang di tempat yang tepat."

"Tentu saja, Pak," sambutku cepat. "Kami pasti akan mengirimkan laporan secara teratur."

"Kami juga akan mengunjungi kantor kalian lagi untuk melihat perkembangan kemajuan usaha secara langsung."

Mereka mau datang setiap hari juga aku tidak masalah. Uang yang ditanamkan Bu Joyo sangat besar, tentu saja pihak mereka harus yakin kami bisa mengelolanya dengan baik demi keuntungan bersama. "Bapak atau staf Bapak bisa datang kapan saja." Aku langsung melupakan rencana bersikap lebay to the max. Kalau Abimana adalah orang kepercayaan Bu Joyo, laki-laki ini pasti lebih suka berurusan dengan perempuan rasional yang tidak baperan soal kuku.

Salwa dan Pandu benar, aku tidak mungkin berharap semua orang tahu dan maklum mengapa kukuku terlihat menyeramkan. Konyol sekali mengharapkan penghargaan dari seseorang yang belum mengenalku. Orang seperti Abimana pasti butuh waktu untuk mengakui kalau kemampuanku menjalankan usaha tidak bisa dinilai dari kuku yang bernoda oli. Kesan pertamanya padaku tidak bagus, sama seperti kesan pertamaku kepadanya. Anggap saja kami impas.

"Terima kasih, Pak." Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman sekali lagi kepada Abimana saat berpamitan pulang. Kali ini posisi tanganku sudah normal, tidak lagi berusaha memamerkan jari-jari dan kukuku.

"Sama-sama." Tarikan bibir Abimana sangat minim, sangat berbeda dengan nilai investasi yang ditanamkan Bu Joyo pada kami. "Sampai ketemu lagi."

Aku, Widi, dan Salwa menuju lift yang tidak jauh dari ruangan Abimana.

"Kamu kekanakan banget, tahu!" Salwa langsung mengomel begitu kami masuk lift dan hanya bertiga di dalam.

"Sorry deh." Aku tidak membela diri karena tahu salah telah bersikap tidak profesional di saat-saat paling krusial.

"Cincin kamu beneran udah lama kan, Mbar?" Widi ikut dalam percakapan.

"Untung saja kita datang untuk tanda tangan, bukan penjajakan," Salwa mengabaikan Widi. "Aku juga bakal dongkol kalau ada di posisi kamu, tapi lihat-lihat tempat dan siapa yang ingin kamu balas dong, Mbar. Iya, Abimana bukan Ibu Joyo, tapi karena dia yang mewakili Ibu Joyo, kita harus nunjukin rasa hormat. Ibu Joyo kayaknya percaya banget sama dia, jadi Bu Joyo bukan satu-satunya orang yang harus dibuat terkesan dengan usaha kita."

"Iya, aku kan sudah minta maaf. Nggak usah dibahas lagi deh. Aku pasti bisa memperbaiki hubungan dengan Abimana. Kamu kan yang bilang kalau aku bisa memersuasi orang? Hanya butuh waktu, dia pasti tahu kita kompeten. Aku nggak akan bersikap seperti tadi lagi."

Salwa terkadang menyeramkan kalau dalam mode serius. Dia cenderung blakblakan, karena itulah proses negosiasi dengan klien jatuh ke pundakku. Biasanya aku tidak terpancing untuk bersikap berlebihan seperti yang aku lakukan di ruangan Abimana tadi. Mungkin karena penampilannya yang superkinclong itulah yang membuatku terintimidasi dan terhina ketika dia menatap kukuku pada pertemuan pertama kami. Aku perempuan, seharusnya aku yang menilai penampilan laki-laki, bukan sebaliknya.

"Aku yakin Abimana nggak akan tertarik dengan cincin kamu, Mbar," kata Widi yakin. "Modelnya cewek banget, kan?"

"Ini nggak ada hubungannya dengan cincin, Wid!" sentak Salwa yang masih jengkel padaku.

"Nggak ada hubungannya gimana? Jelas-jelas Ambar mamerin cincinnya ke Abimana. Aku lihat jelas kok!!"

"Ya Tuhan, kenapa aku harus terjebak di antara perempuan lemot dan lebay sih?"

Aku hanya meringis dan menggeleng saat Widi menatapku dengan pandangan bertanya.

Pilih Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang