Enam

17.9K 5K 409
                                    

Terkadang, kesempatan pembuktian diri itu datang di saat yang tidak terduga. Dan percayalah, membuktikan diri kepada seseorang yang tepat rasanya seperti melakukan pembalasan dendam yang tuntas. Memuaskan. Mungkin seperti menemukan oase setelah tersesat dan kehausan di tengah padang pasir. Mungkin, karena aku belum pernah ke padang pasir mana pun, apalagi tersesat di sana. Itu hanya analogi yang langsung teringat saat membuat perbandingan.

Aku tidak sengaja bertemu Abimana di tempat parkir Ciputra World. Seorang teman kuliah yang cukup dekat mengundangku dan beberapa teman lain makan siang sekalian memberikan undangan pernikahannya. Tentu saja aku sudah menduga maksud pertemuan itu setelah melihat dia memajang foto jari dan cincin cantiknya yang aku ikutan like di Instagram. Menerima undangan pernikahan seperti penegasan pada status jomloku yang tiada akhir sejak putus beberapa tahun lalu dengan pacar terakhirku, tetapi rasanya tidak enak saja kalau menolak ajakannya. Aku hanya perlu terlihat bahagia dengan status tanpa gandengan (meskipun diam-diam iri) dalam pertemuan itu.

Rasanya manuawi sih merasa sedikit iri saat melihat satu per satu teman-temanku akhirnya menemukan belahan jiwa, sedangkan aku belum menemukan lagi orang yang bisa membuatku memikirkan padu-padan pakaian atau makeup yang menampilkan hasil akhir no makeup look yang membuatku terlihat cantik. Kebanyakan perempuan seperti itu kan? Ingin tampak menawan seperti tak berdandan, padahal proses untuk mendapatkan tampilan seperti itu lumayan makan waktu.

Aku melihat Abimana berkacak pinggang di sebelah mobil yang berhadapan dengan John Wick. Tampangnya kesal.

Tidak etis kalau aku pura-pura tidak mengenalnya, jadi aku menghampiri Abimana, si penghubung antara usaha kami dengan uang Ibu Joyo, investor kami yang tersayang.

"Apa kabar, Pak?" menilik wajahnya sih, sudah pasti kabarnya tidak baik-baik saja, tapi aku harus berbasa-basi, kan? Aku memamerkan senyum lebar (semoga terlihat manis dan tulus) saat pandangan kami bertemu.

"Oh... halo." Abimana tampak sedikit kaget melihatku. "Baik kok... baik. Hanya saja...." Dia kembali memandangi mobilnya sebal.

"Mobil Bapak bermasalah?" Tidak perlu punya IQ 200 untuk mengetahuinya.

"Mobil adik saya. Tadi sih baik-baik aja. Sekarang malah nggak mau bunyi."

"Sudah diperiksa?" Mobil yang mendadak tidak bisa menyala sih biasanya masalah utamanya ada di aki, busi, atau brush dynamo.

"Maksudnya?" Abimana menatapku kebingungan.

Aku menunjuk kap mobilnya. "Su-dah di-pe-rik-sa?" aku mengeja kata-kataku. Mungkin saja Abimana tadi tidak mendengarnya dengan baik. Tidak semua orang ganteng punya pendengaran yang bagus, kan?

"Saya yang periksa?" Abimana menunjuk dadanya sendiri.

Bukan, jin! Aku meringis. Mungkin karena ayahku adalah pemilik bengkel, dan sejak kecil dikelilingi oleh pegawai ayah yang mengerti mesin, aku selalu beranggapan bahwa laki-laki yang kompeten adalah laki-laki yang tahu mesin kendaraan. Mobil atau motor. Aku jadi melupakan fakta bahwa tangan Abimana yang superhalus mulus itu tidak mungkin bersahabat dengan mesin.

"Boleh saya lihat?" aku mengganti pertanyaan. Dengan percaya diri aku mendekati kap mobil Abimana.

"Kamu ngerti mesin?" Abimana terdengar tidak yakin. "Saya bisa menelepon bengkel kok."

"Nggak apa-apa saya coba lihat dulu kan, Pak?" Ho...ho...ho... langkahi dulu mayatku. Bengkel baru akan terlibat urusan mesin yang tidak mau bunyi ini setelah aku menyerah. Kalau beneran sampai mengangkat bendera putih, aku sendiri yang akan menghubungi Pandu supaya mengirim salah seorang pegawainya ke sini.

Abimana berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. Dari tampangnya, dia terlihat pesimis aku bisa berurusan dengan mesin. Aku jadi semakin tertantang untuk membuktikan diri.

Seperti dugaanku, masalahnya terletak di busi. Setelah kubuka, kubersihkan, dan kupasang kembali, mesin mobil itu akhirnya menyala.

"Sebaiknya businya diganti," kataku sambil mengumpulkan kunci-kunci dan sikat busi yang aku ambil dari John Wick. "Supaya nggak ngadat lagi."

"Pantas saja adikku tadi minta tukar mobil," gerutu Abimana. "Ini pasti bukan pertama kali mobilnya ngadat. Saya pikir dia hanya butuh mobil yang performanya lebih bagus karena harus keluar kota. Oh ya, terima kasih untuk bantuannya ya."

"Nggak masalah kok, Pak. Setelah terbiasa dengan John Wick yang suka ngadat di sembarang tempat, saya selalu menawarkan bantuan kalau lihat orang yang bermasalah dengan mobilnya." Aku mengedik. "Solidaritas sesama korban mobil kesayangan."

Untuk pertama kalinya aku melihat tarikan bibir Abimana lebih lebar daripada biasanya. "Mobil kamu keren. Sesuai namanya."

Aku ikut tersenyum. "Jangan tertipu sama penampilan. Bodinya sih memang keren. Jeroannya beneran uzur. Tapi sudah telanjur cinta. Saya nggak bisa ke lain hati lagi."

Akhirnya aku bisa melihat deretan gigi Abimana untuk pertama kalinya saat dia tertawa. Dia seharusnya tertawa lebih sering. Aku yakin dengan gigi seperti itu, dia bisa menjadi bintang iklan produk perawatan gigi.

"Tinggal ganti mesin aja, kan?"

Seandainya saja mesin mobil Ford yang aku incar semurah itu, aku pasti sudah melakukannya sejak dulu. "Masih harus ngumpulin budget-nya sih." Aku menunjuk John Wick. "Saya harus balik ke kantor sekarang."

"Maaf, tangan kamu jadi kotor gitu."

Aku melihat tanganku yang berlepotan oli. Nodanya ikut masuk ke kukuku. Aku meringis. "Untung saja saya nggak ada meeting dengan investor setelah ini. Investor yang saya temui setelah berkutat dengan John Wick yang ngambek pagi-pagi di jalan, nggak terlalu terkesan dengan kuku hitam saya. Untung saja investasinya nggak batal."

Abimana menggaruk dahi. Dia pasti mengerti maksudku. "Ehm... soal itu...."

"Nggak apa-apa kok, Pak," potongku cepat. "Saya juga bersikap menyebalkan saat meeting di kantor Bapak. Jadi kita impas."

"Maaf ya. Biasanya saya nggak menilai orang sedangkal itu. Tapi perempuan biasanya nggak diasosiasikan dengan mesin." Abimana tampak tidak enak hati.

"Beneran nggak apa-apa, Pak." Aku jadi ingin segera pergi untuk menghindari kecanggungan yang mungkin akan muncul. "Kalau melihat perempuan dewasa lain yang kukunya kotor, saya juga pasti mikir kalau dia jorok kok. Permisi, Pak." Aku melangkah mundur menuju John Wick.

"Sekali lagi, terima kasih ya."

"Sama-sama, Pak." Aku segera berbalik dan mendahului Abimana meninggalkan tempat parkir mal. Mungkin seperti inilah perasaan Captain America setelah memenangkan perang melawan para teroris. Yihaaaa....

Pilih Siapa?Onde as histórias ganham vida. Descobre agora