Tiga Puluh Empat

11.2K 3K 193
                                    

Perasaan sebagai tuan rumah rasa tamu semakin menguat ketika kami sampai di rumah Abi. Tuan rumah sebenarnya akan berada di tempat ini sebelum orang lain datang, bukan ketika garasi dan halaman depan yang lapang nyaris sudah dipenuhi oleh mobil-mobil kinclong.

Syukurlah aku tidak perlu membawa John Wick ke sini, karena dia pasti akan merasa sebagai veteran perang dunia pertama yang sudah kelelahan saat berhadapan dengan mobil generasi Alpha yang gaya serta penuh vitalitas, karena aku yakin mobil-mobil yang terpakir di rumah Abi tidak ada yang berumur lebih dari 5 tahun. Saking mengilapnya, body mobil itu bisa digunakan untuk bercermin. Pori-pori kulit wajahku pasti bisa terlihat jelas di sana.

"Yuk...." Abi memegang sikuku, mengajak masuk rumah. Sebelah tangannya menenteng keranjang buah, sedangkan aku memegang erat kotak tart buah yang tadi kami beli. "Acara makan-makannya dibikin di halaman belakang, dekat kolam. Tapi orang-orang kayaknya masih nyebar di mana-mana. Tante-tanteku pasti masih pada berkeliling lihat-lihat rumah. Ini kesempatan untuk nambah pelanggan, karena aku yakin mereka akan tertarik sama furnitur yang kalian buat untuk rumah ini."

Sayangnya, jiwa entrepeneurku tidak sedang on fire hari ini. Dikalahkan oleh berbagai pikiran yang sedang berkecamuk.

Ruang tamu dan ruang tengah superluas yang kami masuki tampak kosong, tetapi suara-suara perempuan terdengar bersahut-sahutan dari lantai atas. Abi benar, tante-tantenya sedang house tour.

"Kita langsung ke belakang yuk!" Abi mengarahkan langkahku menuju pintu geser kaca yang terbuka. "Rizky dan pegawainya sudah ada di sana."

Memang benar, berbeda dengan bagian rumah di lantai bawah yang sepi, halaman belakang tampak lebih ramai. Beberapa meja yang dikelilingi kursi tampak sudah terisi oleh orang-orang yang ngobrol santai. Butuh usaha ekstra untuk mengatur halaman belakang menjadi tempat perjamuan seperti ini. Dekornya sederhana, tapi elegan. Pemilihan bunga-bunga pemanis sangat cocok. Rizky benar-benar hebat. Aku tidak akan kaget seandainya dia punya bisnis EO juga, selain restoran sehat dan mahalnya yang mulai menggurita.

Aku sangat mudah mengenali Rizky. Dia satu-satunya orang yang pernah berinteraksi denganku. Dia sedang sibuk memberi instruksi pada beberapa orang yang sedang mengatur hidangan. Saat pandangannya terarah kepada kami, senyumnya tampak lebar. Dia bergegas menghampiri kami. Persis seperti tuan rumah yang menyambut kedatangan tamu.

"Halo, Ambar," sapanya ramah. "Selamat datang di rumah Abi. Eh, tapi ini bukan yang pertama kali, kan? Abi bilang, hampir semua furniturnya kamu yang desain."

"Bukan aku saja," jawabku cepat. Rasanya tidak enak menerima pujian untuk hasil kerja Widy dan Salwa. "Lebih banyak dikerjakan oleh teman-temanku."

Pernyataanku tampaknya hanya dianggap basa-basi oleh Rizky. Perhatiannya langsung teralih pada keranjang yang dibawa Abi. "Syukurlah kalian bawa buah!" Dia langsung mengambil keranjang itu dari tangan Abi. "Sebagian buah yang aku bawa tadi terjatuh saat dikeluarkan dari mobil. Baru saja aku mau pesan buah yang baru." Rizky menatapku lega. "Ini pasti ide kamu kan? Karena Abi paling nggak perhatian sama hal-hal kecil kayak gini."

Melihat Rizky yang kelihatan tulus seperti itu, sikap plin-planku dengan cepat mengambil alih. Sepertinya aku memang terlalu dimakan prasangka. Cemburu untuk hal yang tidak perlu. Persahabatan Abi dan Rizky yang sudah ditempa waktu seharusnya tidak perlu berubah karena kehadiranku. Toh porsi kami berbeda di hati Abi.

"Ada yang bisa aku bantu?" Sekarang suasana hatiku terasa jauh lebih baik.

Rizky menunjuk kotak di tanganku. "Buah dan kuenya kita taruh di meja dessert aja." Dia menunjuk meja yang ukurannya lebih kecil daripada meja hidangan.

Aku mengikuti langkah Rizky yang tampak pasti dan percaya diri. Persis seperti aku ketika berada di zona nyaman. Tapi rumah Abi, untuk saat ini bukan zona nyamanku. Jadi aku memilih mengikuti arus. Pegawai Rizky yang berjaga di meja dessert mengambil alih kue di tanganku. Dengan cekatan dia memindahkan kue itu ke piring ceper berukuran besar yang seolah memang sudah disiapkan untuk model kue yang aku bawa. Benar-benar penuh persiapan.

Pilih Siapa?Where stories live. Discover now