Dua Puluh Enam

18.7K 4.9K 367
                                    

Karangan bunga berisikan ucapan selamat memenuhi bagian luar gedung restoran milik teman Abimana yang kami datangi. Tempatnya luas. Saat memasuki bagian dalam restoran, aku langsung menyadari kalau suasananya sangat mirip dengan restoran yang sering kami kunjungi. Irama gending, meja dan kursi kayu, ornamen khas Jawa, dan gazebo-gazebo di halaman belakang yang terbuka. Lengkap dengan taman dan kolam ikan.

"Ini cabang restoran di dekat kantorku, kan?" bisikku pada Abimana yang menggandeng tanganku.

"Kok tahu?"

"Suasananya mirip banget." Kelihatannya acara pembukaan sudah lumayan lama dimulai karena piring-piring di atas meja yang terisi tamu sudah banyak yang kosong, walaupun ada juga tamu yang sedang menikmati makanannya. "Kok Mas Abi nggak pernah bilang kalau itu restoran teman kamu sih, Mas?" protesku.

"Kalau aku bilang pemiliknya adalah sahabatku, kamu nggak akan berani protes seandainya masakannya nggak sesuai dengan selera kamu, kan?"

Iya juga sih. Tapi aku tidak pernah bermasalah dengan ccita rasa masakan di restoran itu. Yang jadi masalahku adalah harganya, tetapi aku juga tidak bisa komplain karena Abimana yang membayarnya.

"Yuk, kita cari Rizky dulu sebelum duduk." Abimana mengajakku mendekat ke bagian tempat para pegawai restoran hilir mudik membawa makanan atau piring kotor. Pasti dapur. Kelihatannya Abimana lumayan familier dengan tempat yang baru dibuka untuk umum ini. Aku yakin dia sudah pernah ke sini sebelumnya.

"Rizky owner merangkap chef?" tanyaku kagum. Laki-laki yang jago memasak, apalagi menjadikan memasak sebagai profesi selalu mendapatkan respekku.

Abimana tersenyum sambil menggeleng. "Dia owner yang control freak. Jadi biasanya dia berkeliling sampai ke dapur, tidak hanya tinggal di ruang kerjanya."

"Pemilik bisnis restoran memang harus begitu, kan? Kualitas makanan yang disajikan dan pelayanan harus sempurna karena tamu restoran adalah pelanggan yang paling rewel di antara semua jenis pelanggan. Orang sangat sensitif saat berhubungan dengan makanan, karena makanan sifatnya personal."

"Kamu kedengaran seperti Rizky," ujar Abimana. "Kalian pasti cocok."

Aku memang ingin cocok dan diterima teman Abimana, sebagaimana dia diterima oleh teman-temanku. Widy memang masih menganggap Abimana kurang supel, tapi seperti sahabat yang baik, dia menghargai pilihanku. Meskipun ya, dia masih kerap mengomel di belakang Abimana.

Seseorang muncul dari lorong yang menghubungkan bagian depan restoran dengan dapur. Senyumnya tampak lebar.

"Itu Rizky," kata Abimana.

Dia... Rizky? Jujur, aku terkejut. Abimana memang tidak pernah membahas temannya ini secara spesifik, tapi dari namanya, aku berasumsi jika Rizky adalah seorang laki-laki, bukan perempuan yang sangat cantik.

Rambutnya yang di-ombre cokelat di-blow ikal dan dibiarkan tergerai di depan dada. Dandanannya natural. Itulah yang kusebut dengan makeup no makeup look. Dia terlihat menakjubkan. Tampilannya mencerminkan pengusaha muda yang sangat sukses.

"Kok telat sih?" Rizky berhenti di depan kami.

"Bukannya kamu yang terlalu cepat memulai acaranya?" sambut Abimana. Dia menoleh padaku. "Kenalkan, ini Ambar."

"Hai." Rizky mengulurkan tangannya padaku. Pantas saja Abimana ketakutan saat pertama kali melihat kukuku, karena jari-jari dan kuku temannya tampak sangat terawat. "Terima kasih sudah datang ya. Balik ke depan, yuk," ajak Rizky ramah. "Di sini bukan untuk tamu."

Bukan hanya jari-jari dan kukunya yang indah, telapak tangan Rizky pun sangat lembut. Kalau dia memang bisa memasak dan menikmati menghabiskan waktu di dapur, dia pasti memakai sarung tangan khusus sehingga telapak tangannya tidak terkontaminasi dengan warna bumbu dan spons cuci piring yang bisa membuat telapak tangannya menjadi kasar, atau bahkan kapalan. Krim tangannya pasti menggunakan formula terbaik untuk melembutkan. Semoga saja kulitnya tidak iritasi karena bersentuhan dengan telapak tanganku yang lebih tebal.

Pilih Siapa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang