28 || Rifuta Di Essere Reale

13 6 0
                                    

Lilian membawa Jill pergi ke taman rumah sakit untuk menenangkan diri. Hingga detik ini, jeritan Steven tadi meraung-raung di pikiran Jill. Gadis itu tak henti-hentinya memikirkan Steven. Melihat perjuangannya untuk pulih membuat dada Jill terasa sesak.

Lilian mengajak Jill duduk di bangku taman. Jill memenuhi permintaan Lilian. Hembusan angin membuat Jill hanyut ke dalam ingatan saat dia berpetualang dengan Steven. Mata Jill menatap hamparan langit biru di atasnya. Ia rindu dengan Steven. Saat pembunuhan itu mereka baru pertama kali bertemu setelah beberapa hari dan masing-masing dari mereka tak ada yang memberi kabar.

"Jangan sedih. Mama yakin Steven pasti sembuh," ucap Lilian berusaha menghibur Jill.

"Jill kangen Steven, Ma," balas Jill sendu masih setia menatap langit.

"Bukankah tadi kamu sudah melihatnya?"

"Tapi Jill belum melihat senyumannya. Ibarat lagu, hampa rasanya jika tak ada jiwa. Jill kangen debat sama dia. Kangen buat dia marah, kangen aroma tubuhnya, kangen mata merahnya yang terang." Pandangan Jill perlahan turun dari langit ke permukaan tanah.

Tatapan penuh kasih terpancar di mata Lilian. Sekali lagi Lilian mengucapkan kata-kata positif tentang Steven untuk menghibur putrinya. Tangan Lilian menyentuh puncak kepala Jill lalu mendekapnya ke dada kiri. Lilian pernah membaca di sebuah artikel. Jika anak sedang bersedih perdengarkan detak jantung sang ibu maka sedihnya akan digantikan dengan ketenangan.

"Ma, maaf mengulangi pertanyaan ini. Kenapa Mama nggak pengen aku punya teman terutama dengan laki-laki?"

"Bukankah sudah pernah mama jawab?" tanya Lilian sambil membelai rambut Jill.

"Waktu itu Mama menjawab dengan keraguan."

Lilian menghela napas lalu meminta maaf. Dia tak bisa memberitahu alasannya. Lagipula, Lilian sudah sadar bahwa larangan itu sangatlah salah dan dia berjanji tak akan mengekang Jill lagi. Saat ini Jill sedang malas berdebat dan malas bicara. Keheningan menggelayut keduanya selama beberapa menit. Sekelompok anak kecil bermain di hadapan mereka.

Tertawa lepas penuh keceriaan. Suara tawa yang masih belum mengenal masalah hidup membuat Jill iri dengan mereka. Saat masih kecil, Jill tak pernah merasakan indahnya bermain bersama teman. Masa kecilnya dihabiskan untuk mengasah kemampuannya dalam bermain piano. Tak pernah terlintas di pikirannya untuk berteman.

Jill memperhatikan anak perempuan yang asik berlari mengejar teman-temannya. Kegembiraan terpancar jelas di wajahnya. Karena terlalu fokus mengejar teman-temannya, anak itu tak memperhatikan pinggiran taman yang tingginya dua meter. Akibatnya, dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke sisi taman.

Melihat kejadian itu, Jill terkejut dan langsung melepas dekapan Lilian. Kedua kakinya refleks berlari menghampiri bocah itu sebelum dikerumuni banyak orang. Sebagian dari teman-temannya berlari mencari jalur untuk turun dan sebagian lagi terpaku di pinggir taman. Jarak mereka hanyalah enam meter dari tempat Jill duduk. Dalam waktu tak sampai satu menit Jill berhasil mengurai jarak.

Tak ada tangga yang dekat dengan posisinya membuat Jill terpaksa harus melompat. Ada satu hal yang tidak Jill sadari. Orang-orang di sekitarnya berhenti bergerak seolah membeku seperti patung manekin. Memang tak ada yang berbeda dengan suasana di sekitarnya. Tapi, sepertinya waktu terhenti sampai Jill berhasil mendarat di tanah dan menghampiri anak itu.

"Adek nggak papa?" tanya Jill khawatir.

"S-sakit, Kak," rintihnya. Jill melihat banyak memar di lutut dan tangan anak malang itu. Dalam hati Jill bersyukur karena dia tidak pingsan. Jill menyentuh luka di lututnya dengan niat untuk membersihkan pasir yang menempel.

FISSANDO IL CIELODove le storie prendono vita. Scoprilo ora