17 || Rahasia Terakhir

8 4 0
                                    

PORTAL itu melayang di hadapan mereka. Untuk sejenak mereka memperhatikan portal itu baik-baik. Jarak mereka dengan portal itu terpaut lima meter. Mata mereka berdua tak lepas menatap benda itu. Portal setinggi dua meter itu menanti kedatangan mereka.

Steven pikir, jarak lima meter yang terbentang membuat portal itu tidak menyeret mereka.

“Ayo, Jill! Aku yakin di dalam portal itu ada jawaban dari semua pertanyaan kita!” seru Steven seraya menggandeng tangan Jill lalu berlari menghampiri portal itu.

Tubuh Jill tersentak. Kesadarannya belum penuh jadi ia tak paham dengan apa yang Steven ucapkan. Namun, entah kenapa hati kecilnya yakin bahwa keputusan yang Steven ambil saat ini adalah benar.

Saat jarak tersisa satu meter, Steven dan Jill merasa sepasang kaki mereka tak menyentuh tanah. Portal itu menyedot keduanya setelah melayang selama beberapa detik.

Semburat cahaya terpancar saat tubuh Jill dan Steven masuk dengan sempurna. Tak lama kemudian, portalnya pun ikut menghilang disusul dengan awan mendung yang perlahan menyingsing dari bumantara.

)))}{(((

Sepasang tubuh manusia jatuh dari langit. Kedua manusia itu adalah Steven dan Jill. Rasa nyeri di bokong membuat keduanya meringis.

“Sialan! Portal itu punya masalah apa, sih, dengan kita?” umpat Steven kesal sambil berdiri dan mengacungkan kedua jari tengahnya.

Wajar bila Steven berkata seperti itu. Karena sebelumnya portal itu tidak mengeluarkan mereka dari ketinggian. Jill tertawa kecil melihat tingkah Steven. Cowok itu menoleh ke arah Jill yang masih terduduk sambil menatap heran.

“Apa yang lucu?” sengit Steven.

“Tadi nangis-nangis sekarang marah-marah. Kamu lucu, Steven,” jawab jill lalu tersenyum lembut.

Deg.

Steven membeku melihat senyum manis Jill. Pipinya kembali memerah. Angin berhembus meniup rambut merah Steven.

“Tapi aku senang kamu sudah membaik, Stev,” ucap gadis itu tulus.

Dengan malu dan suara lirih, Steven mengucapkan terima kasih.

“Untuk apa?"

“Untuk perhatianmu.” Steven tak berani menatap Jill karena pipinya sudah semerah udang rebus.

“Aku melakukannya karena aku sayang, Steven. Kamu adalah satu-satunya sahabat yang paling berharga di hidupku.”

Lagi-lagi Jill menampilkan sisi manisnya. Hidung Steven akan mengeluarkan darah segar lagi jika tidak ditahan. Sisi ini yang Steven paling nggak suka. Beberapa hari ini jantung Steven berdetak sangat cepat saat melihat sisi manis Jill.

Ugh, berhenti membuatku blush!” pekik Steven sambil mengendalikan jantungnya. Jill terkejut. Ia tak sakit hati. Cewek itu justru semakin mengembangkan senyum.

“Ahaha, maafkan aku!"

Steven mendengus sebal berusaha menghilangkan rona merahnya.

Untuk beberapa saat hening menyelimuti. Kekhawatiran Jill kembali saat matanya melihat luka-luka Steven yang masih menganga. Kira-kira apa penyebabnya? pikirnya.

“Stev, kenapa kamu bisa luka begitu?” Jill bertanya setelah menatap kondisi tubuh Steven.

Yang ditanya sepertinya enggan untuk memberitahu. Sambil menaruh telapak tangannya di atas kepala Jill, Steven membalas, “Suatu saat akan kuberitahu. Sekarang aku belum siap.”

Jill mengedipkan matanya beberapa kali, berusaha memahami setiap perkataan yang Steven keluarkan. Cowok bertubuh tinggi itu berjalan membelakangi Jill. Mata ambernya menatap punggung lebar milik sahabatnya lalu berdiri menyusul Steven. Mereka berjalan ke teras rumah.

Langkah kaki mereka berhenti tepat di depan pintu rumah. Ada dua wanita lanjut usia menduduki sofa ruang tamu. Masing-masing dari mereka memiliki wajah yang sangat dirindukan Jill dan Steven. Nenek mereka. Keduanya nampak akrab berbincang. Satu lagi rahasia yang berhasil terkuak.

Parahnya lagi, rahasia itu ternyata melibatkan keluarga Steven.

Dari raut wajah kedua nenek itu nampak serius membicarakan sesuatu. Karena penasaran, Steven dan Jill maju beberapa langkah mendekati mereka.

Mereka membicarakan Lilian. Kata nenek Jill, sejak cerai dengan suaminya, Lilian mengurung diri di dalam ruang piano. Ada rasa lega dalam diri nenek Jill karena dengan Lilian terpisah ruang dengan anaknya, wanita itu tak akan menyakiti Jill.

“Nenek,” panggil seorang bocah bermata biru yang berada di bawah tangga.

Semua mata mengarah ke anak laki-laki itu. Betapa lugunya dia berjalan menghampiri sang nenek saat beliau memanggil.

Sekilas nama si penggila merah itu terdengar dari mulut nenek Steven. Jill menatap Steven menunggu penjelasan darinya.

“I-itu bukan aku, Jill," elak Steven segera, lalu menampik dengan alis menyatu. Kenapa kamu melihatku seperti itu?”

“Begitu, ya. Nama Steven juga banyak, sih,” ucap Jill sambil mengangguk-angguk.

Mata Jill memperhatikan bocah bernama Steven itu. Lama-lama Jill gemas melihat rambut biru milik anak itu bergoyang karena langkahnya yang setengah berlari. Jill tak ingat bahwa mereka tak bisa menyentuh segalanya jadi ia mendekati bocah itu karena tangannya sudah gatal ingin mencubit, memeluk, dan mengacak rambutnya.

Steven membatu di tempatnya sambil menatap anak kecil itu. Saat dilihat lebih dekat, anak itu mirip dengan Steven. Jill sempat berpikir bahwa anak itu adalah Steven. Namun, entah kenapa sesuatu menepis pemikirannya. Rupanya Jill masih lupa mereka tak bisa menyentuh apapun. Tangannya terulur ke puncak kepala anak itu.

Sebuah keajaiban kembali terjadi. Tangan Jill mendarat tepat di kepalanya. Sama seperti saat ia memegang piano. Wajah Jill langsung berubah girang saat rambut biru muda menembus sela-sela jarinya. Lembut sekali. Jill memperlihatkan ekspresinya pada Steven lalu meminta cowok itu untuk ikut menyentuhnya.

Steven hanya bisa pasrah menuruti Jill. Otaknya sudah lelah untuk membantah gadis keras kepala itu. Jill menurunkan tangannya yang posisinya akan digantikan tangan Steven. Ternyata hal yang sama terjadi pula pada Steven. Matanya membelalak takjub melihat keajaiban itu.

“Jill, kamu nggak lupa kalau kita nggak bisa menyentuh apapun, bukan?” tanya Steven memastikan.

“Ah, iya. Aku sempat lupa. Haha. Aneh, ya?” cengir Jill.

Tiba-tiba, sebuah suara yang tak asing di telinga Steven terdengar. Suara itu milik bundanya, Una. Mereka tak kaget jika Una berada di rumah Lilian karena beliau adalah sahabatnya.

Yang mereka kagetkan adalah, anak serba biru itu menggelayut manja di kaki Una. Kembali Jill menatap Steven seolah membutuhkan penjelasan.

Ugh, iya aku ngaku. Dia adalah adikku. Puas?” tukas Steven.

Hm? Tapi kamu tak pernah cerita kalau kamu mempunyai adik.” Tatapan Jill semakin seram.

“Dia sudah lama meninggal." Ada nada sedih dalam diri Steven. Hal itu membuat Jill tak tega bertanya lebih.

“Bunda, aku mau pegang adek bayinya,” rengek bocah Steven.

“Adeknya akan nangis kalau kamu terus memegangnya,” tolak Una lembut.

Karena ditolak, anak itu memutuskan untuk pergi ke luar. Baru saja Jill akan mengejar makhluk kecil itu. Namun suara Una menyita perhatian. Una mempertayakan kondisi Lilian.

“Semenjak cerai beberapa hari yang lalu, Lilian memilih untuk mengurung diri. Dia hampir tak memikirkan pola makannya. Karena khawatir, setiap hari tante buatkan makanan untuknya. Untunglah dia mau makan.”

•••
Presented by Room Genre Fantasy,
yang diketuai oleh Penaskye

Judul: FISSANDO IL CIELO
Penulis: Kirasuma_Lalah
Mentor: Penaskye

FINAL PROJECT GEN 1

FISSANDO IL CIELOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang