21 || Scusate

11 5 0
                                    

STEVEN dan Jill terkejut karena tiba-tiba mereka dibawa ke depan rumah Jill. Mereka sempat berpikir bahwa mereka masih di dalam masa lalu. Namun, saat Jill mengambil daun yang berguguran dari pohon dan mendarat tepat di atas kepalanya, mereka tersenyum lega karena berhasil pulang ke jaman mereka yang sebenarnya. Jill sangat merindukan lingkungan rumahnya yang saat ini.

Matanya berkaca-kaca dan senyum terlukis di bibirnya. Entah kenapa Steven merasa semakin lega melihat ekspresi Jill. Firasatnya seolah berkata: kalian sudah aman dan tak akan kembali lagi ke dalam masa lalu. Steven menepuk pundak Jill. Menginterupsi kesibukan Jill yang melihat hiruk-pikuk aktivitas orang-orang di sekitarnya.

Rambut Jill berkibar ke belakang saat kepalanya memutar wajah menghadap Steven. Pipi cowok itu sempat memerah dan jantungnya berdetak semakin cepat. Buru-buru ia menetralkan semua itu agar Jill tak melihatnya. Ugh, kenapa, sih, dia imut banget? rutuk Steven dalam hati.

"Ada apa, Stev?" Suara Jill membuyarkan lamunan Steven. Dengan sedikit salah tingkah, Steven menjawab "Ngh, firasatku bilang, kita sudah aman dan nggak akan kembali lagi ke masa lalu. Meski begitu, kita harus tetap berjaga-jaga jika salah satu dari kita atau bahkan keduanya di tarik kembali ke dalam masa lalu itu."

Jill menghadapkan tubuhnya ke Steven lalu melepas senyum tipis.

"Tapi firasatku berkata lain, Steven," ucapnya pelan sambil menerawang jauh ke depan kaki. Steven mengeryit heran.

"Memang benar kita sudah aman dan peristiwa yang kita alami tadi tak akan terulang. Tapi, kalau kita memainkan lagu itu lagi dan teorimu tentang 'kita menyebutkan masa lalu yang ingin kita lihat akan terjadi' benar adanya, aku yakin kita akan kembali lagi ke masa lalu itu."

Steven terdiam menatap Jill karena ia tak tahu lagi cara merespon ucapannya. Cowok itu mempertanyakan darimana Jill bisa tahu dan yakin dengan ucapannya.

"Firasatku lebih kuat darimu."

Sekali lagi Jill membungkam mulut Steven. Detik berikutnya, gadis itu mengajak sahabatnya untuk masuk ke dalam rumah. Steven kembali menyadari hal yang berbeda dari rumah Jill. Halaman rumah yang luasnya berkurang karena hadirnya rumah tetangga di kanan dan kiri rumah. Meski begitu, rumah Jill masih memiliki halaman yang dilapisi rumput Jepang.

Gazebo dan piano klasiknya pun tak ada karena lahan yang terlalu sempit untuk mereka tempati. Kini yang tersisa hanyalah air mancur yang sudah menjadi wadah untuk berkembangnya lumut karena lama tidak dipakai. Untung saja benda itu terletak di halaman belakang. Jadi tak ada yang mempedulikannya. Meski begitu, air mancur dengan gaya Eropa klasik berukuran jumbo itu tetap cantik walau diselimuti lumut.

Jill dan Steven melihat orang tua mereka duduk di sofa ruang tamu. Nampak Lilian dan Una tengah menangis sedih karena hilangnya anak-anak mereka. Smith, suami Una menghubungi pihak kepolisian untuk memudahkan penyelidikan.

"Jill, sudah berapa lama kita nggak pulang?" tanya Steven terpana melihat keluarga mereka.

"Entahlah, aku nggak tahu."

Tak ingin berlama-lama di depan pintu rumah, mereka memutuskan untuk masuk. Betapa terkejutnya keluarga mereka melihat anak-anaknya pulang dengan keadaan lusuh. Mata sembab milik Jill dan senuym tipis yang berusaha ia tampilkan menyita perhatian mereka. Raut wajah mereka semakin terkejut saat melihat tubuh Steven yang kotor dan ada bercak darah di bajunya. Juga luka di kedua lutut pun turut menjadi perhatian mereka.

Air mata yang sempat terhenti, kembali meluncur dari balik kelopak mata. Rasanya tak percaya melihat kedua sosok anak-anak mereka telah pulang. Entah kenapa dada Steven menjadi sesak melihat sang bunda menangis.

Semakin lama semakin sesak sampai matanya mulai panas dan butiran bening perlahan menyelimuti bola matanya.

"Bunda," gumam Steven lirih. Saat setetes air matanya turun, Steven berlari dan menghambur ke pelukan sang bunda.

Steven menangis sejadi-jadinya. Suaranya sangat kencang melebihi tangisan Jill dan menggema ke penjuru rumah. Dalam diam Jill tertegun melihat sisi paling lemah Steven yang tak pernah Jill lihat sebelumnya.

"Steven. Kamu darimana aja, Sayang?" tanya Una lembut sambil membelai rambut merah anaknya.

"Bunda aku takut," rengek Steven di sela tangis.

"Tenang, Sayang. Bunda ada di sini." Ada kelegaan dalam suara Una yang membuat Steven menjadi ikut lega.

Lilian bangkit dari duduknya lalu melangkah dengan anggun menghampiri putrinya. Mata Jill memandangi wajah mamanya yang terlihat muram. Ia terkejut saat mendapati sang mama memeluknya secara tiba-tiba.

"Ma?"

"Kamu dari mana saja, Nak?" bisik Lilian sangat lembut.

Baru kali ini Jill mendengar suara Lilian selembut itu. Lilian memang dijuluki sebagai "The Real Angle" karena kelembutannya dan keanggunannya saat memainkan alat musik malaikat. Namun, kali ini sangat berbeda. Jill merasa seluruh bebannya terangkat bersamaan dengan bisikan Lilian.

"Ceritanya panjang, Ma," jawab Jill. Lilian melepaskan pelukannya dan menyeka air mata yang tersisa di pelupuk mata.

"Berapa hari aku menghilang?"

"Dua hari. Kenapa kamu jadi nggak sadar hari? Kamu dan Steven pergi ke mana, Jill?" tanya Lilian berusaha menatap manik amber yang sama dengan miliknya.

"Masa lalu," ungkap Jill seraya membalas tatapan Lilian.

Orang tua Jill dan orang tua Steven tak percaya mendengar hal itu. Mana mungkin ada orang yang pergi ke masa lalu.

"Bagaimana bisa?" Lilian bertanya.

"Lagu Look At The Sky yang Mama ciptakan membuka sebuah portal saat kami memainkannya di piano kristal." Jill menjeda untuk mengambil napas. "Kenapa Mama rahasiakan? Kenapa pertayaanku tentang masa lalu Mama selalu dihindari?"

"Maafkan mama, Sayang. Mama nggak mau mengingatnya lagi." Kelopak mata Lilian terkulai. Nampaknya wanita berusia empat puluh tahun itu akan menangis lagi. Jill menghela napas berusaha melepaskan beban-beban yang ada.

"Masa lalu kakek buyut, pembuatan piano, perkelahian Mama dengan papa, pembuatan lagu Look At The Sky, penyebab meninggalnya kakek, itu semua sudah kulihat bersama Steven. Belum lagi kami melihat nenek kami saling bersahabat." Mereka semua terdiam mendengar penuturan dari Jill. Hal itu membuat hati Lilian semakin kelu. Ia merasa bersalah karena telah menyembunyikan masa lalu keluarganya.

"Ma, apa masih ada rahasia yang Mama sembunyikan dariku? Jika masih, cepat katakan sebelum aku mengetahuinya sendiri." Jill melembutkan suaranya seraya menatap Lilian penuh kasih sayang.

"Nggak ada, Sayang," balasnya sambil menggeleng. Lilian meminta maaf sekali lagi lalu memeluk putrinya dan menangis di pundak Jill.

Jill melepas senyum tulus. Untuk pertama kalinya ia merasa seringan ini. semua bebannya sudah terangkat. Masa lalu keluarganya berhasil terkuak, mamanya yang mulai semakin sayang dengannya. Jill berharap semoga Lilian tak lagi marah dan melampiaskannya pada anaknya.

"Ma, kalau Mama teringat masa lalu perih itu, Mama peluk aku dan ceritakan apa yang Mama ingat. Jill sangat berharap Mama tidak melukaiku lagi," pinta Jill dengan lembut. Dalam pelukan, Lilian meng-iya-kan permintaan Jill.

Kini rumah itu kembali damai. Bahkan lebih damai dari biasanya.

Steven tak lagi mengeluarkan suara tangisnya namun masih mempertahankan pelukannya. Ia syok sekaligus merindukan sosok bundanya. Setelah mendengar penuturan Jill, entah kenapa hati Steven merasa bersalah. Seolah ada rahasia yang masih Steven sembunyikan dari Jill.

•••
Presented by Room Genre Fantasy,
yang diketuai oleh Penaskye

Judul: FISSANDO IL CIELO
Penulis: Kirasuma_Lalah
Mentor: Penaskye

FINAL PROJECT GEN 1

FISSANDO IL CIELOWhere stories live. Discover now