11 || Mengetahui

16 6 0
                                    

JILL dan Steven melanjutkan perjalanannya. Mereka memutuskan untuk kembali menyusuri jalan yang tadi dilewati.

Steven dan Jill berusaha memahami deretan kejadian-kejadian aneh yang mereka alami. Sejak tadi mereka berjalan dalam keheningan. Sejujurnya, Jill masih kesal dengan sifat buyutnya. Bisa-bisanya Jarma menyia-nyiakan hidupnya seperti itu. Padahal Jill sudah akan menjadikan Jarma sebagai panutannya kelak.

“Jill, kamu tadi habis main piano, ya?”

Steven memulai interogasi Jill saat dirinya ingat kejadian sarkas dari sahabatnya. Saat ini emosi Jill belum terlalu stabil. Kabut dingin masih menyelimuti tubuh gadis itu.

Ada penyesalan saat Steven melontarkan pertanyaannya. Steven lupa emosi Jill masih belum stabil karena “pengurainya” tak ada.

Jill mengangguk dalam tunduknya. Pandangannya menyusuri setiap langkah yang ia ambil. Segera saja keheningan muncul di tengah mereka. Pikiran Steven beralih ke kondisi Jill saat ini.

Bagaimana Steven bisa menenangkan Jill saat air tak bisa mereka sentuh?

Steven mendapat sebuah ide. Steven akan menyentuh kepala Jill untuk menenangkannya di saat seperti ini. Sejujurnya Steven tak setuju dengan ide yang ia dapatkan, tetapi entah kenapa otaknya berhenti berpikir setelah menemukan ide itu. Namun, mau bagaimana lagi? Steven akan lebih gelisah jika ia mengajak Jill bicara namun yang diajak bicara justru dingin seperti es—bahkan tidak mustahil jika Jill mengeluarkan kalimat sarkas seperti biasanya.

Tangan Steven terangkat dengan sedikit keraguan.

Bagaimana jika gagal? batin Steven.

Namun, setelah itu Steven mendapatkan dorongan untuk yakin dengan keputusan yang sudah diambilnya. Telapak tangan itu mendarat tepat di puncak kepala Jill. Membuat gadis berambut ungu itu mendongak menatap Steven di sebelahnya.

Mereka bertatapan. Jill dengan ketusnya, Steven dengan bingungnya.

“Sudah, ya, dinginnya,” ucap Steven berusaha meniru Lilian.

Jill memperlihatkan senyum tipis. “Ngga mempan, Stev,” balas Jill dengan suara yang masih datar.

Steven menurunkan lengannya dari atas kepala Jill. Cowok itu menghela napas panjang. “Terus gimana supaya mempan?” tanya Steven dengan nada suara pasrah.

Agak lama Jill tak mengacuhkan Steven. Sebenarnya Jill sendiri tak tahu bagaimana caranya untuk menghilangkan aura itu. Selama ini yang Lilian lakukan hanyalah memeluknya.

Itu dia. Peluk.

Jika ingin Jill berhenti menguarkan aura dingin, Steven harus memeluknya. Itupun jika Steven mau.

“Stev, can I huge you?” pinta Jill dalam tunduk.

Steven langsung menengok ke arah Jill dengan tampang menahan kesal. Steven berulang kali bilang kepada Jill bahwa ia sangat tak suka dipeluk dengan orang lain selain ibunya. Dengan lantang Steven kembali menolak Jill. Sudah cukup hidupnya direpotkan dengan kehadiran gadis itu.

“Oh ayolah, Steven. Kalau kamu tak ingin aku seperti ini, mengalah saja,” paksa Jill sambil menatap Steven.

Steven menolak lagi. Berapa kali Jill berusaha membujuk Steven, cowok itu akan terus menolaknya. Kecuali ....

Hiks.” Isakan terdengar dari Jill.

Steven memutar bola matanya. Bosan dengan senjata andalan Jill yang itu-itu saja. Steven berusaha untuk tidak peduli dengan cara berjalan mendahuluinya.

Setelah agak lama berjalan, Steven tak lagi mendengar suara isakan. Entah jalan Steven yang terlalu cepat atau memang Jill yang tertinggal.

Steven sadar bahwa sejak tadi ia berjalan sendirian tanpa Jill. Steven mengerang lalu mengeluhkan kehadiran Jill dalam hidupnya yang sangat amat merepotkan. Cowok berambut merah itu langsung putar arah dan mencari sosok Jill dengan mengandalkan sinar bulan.

Tak butuh waktu lama Steven menemukan Jill karena gadis itu masih berada di tempat Steven mendengar isakannya. Steven sudah bersiap untuk meledakkan emosinya saat sampai di hadapan Jill.

Namun, entah apa yang membuat pandangannya turun dan melihat sebuah alasan Jill berhenti di tempatnya.

Sekelompok tikus tengah menghadang jalannya. Memang semua tikus itu tak bisa melihat Jill. Tapi trauma berat yang dialami anak itu membuatnya tak mampu membendung air mata dan rasa takut.

Steven melihat wajah Jill yang mulai pucat. Air mata sudah membanjiri pipinya. Dengan langkah besar Steven mengurai jarak berusaha mencapai Jill. Sejujurnya Steven agak takut menghadapi hama yang satu itu. Namun, karena dia sedang marah besar, ketakutan itu pudar dengan sendirinya.

Jarak mereka mulai terurai. Steven adalah tipe cowok paling teliti. Dia bisa membaca situasi di sekitarnya. Tikus yang menjadi penghalang langkah Jill ia tembus. Steven melangkah ke belakang tubuh Jill dengan lincah. Bahkan Jill sendiri masih tak menyadari keberadaan Steven.

Kedua telapak tangan Steven menutup mata Jill agar ia tak melihat objek yang membuat kenangan buruk itu menari di pikirannya.

"Ck, kenapa di sini banyak tikus, sih?” keluh Steven kesal.

Sedetik kemudian, Jill balik badan lalu memeluk Steven dan menangis sejadi-jadinya.

“Sudahlah. Aku ada di sini. Jangan nangis lagi,” bisik Steven sambil mengusap rambut Jill.

“Apakah aku harus selalu menangis supaya kamu mau dipeluk? Aku hanya butuh penenang tau,” balas Jill lirih.

Steven menerawang jauh ke tanah. Ia tak tahu harus kesal atau justru bahagia karena seorang wanita berani menembus dinding pertahanan yang sudah lama ia bangun dan perlahan merubah hidupnya. Steven menurunkan tangannya dari pucuk kepala Jill lalu meletakannya di pundak gadis itu. Tangan Steven bergerak menjauhkan tubuh Jill dari tubuhnya.

“Jill, itu tikusnya sudah hilang. Lanjut jalan, yuk,” tutur Steven agak sedikit memaksa.

Jill menuruti Steven karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk saat ini.

Jill dan Steven kembali berjalan dalam kesunyian. Mencari sebuah penjelasan dari apa yang mereka alami. Karena tak nyaman dengan kesunyian ini, Steven membuka suara. Ia ingat setiap kali Steven pergi ke rumah Jill, ayahnya selalu tak ada. Bahkan, foto-foto tentang ayahnya tak muncul satupun di setiap bingkai. Sudah lama Steven ingin mempertanyakan hal ini tapi ia selalu lupa.

“Jill, kenapa aku tak pernah melihat sosok ayahmu di rumah?” tanya Steven setelah memastikan kestabilan emosi Jill.

“Aku nggak tahu, Stev. Mama bilang mereka cerai. Itu saja yang kutahu,” jawab Jill tanpa menatap Steven.

Bibir mungilnya mengembuskan napas. Jill merasa Lilian menyembunyikan sesuatu. Meski mereka selalu menghabiskan waktu luang bersama, masih ada masa lalu yang Lilian sembunyikan. Jill kerap kali mendapatkan penjelasan yang menggantung saat ia mempertanyakan masa lalu keluarganya. Tak jarang pula Lilian mengalihkan pembicaraan jika Jill mulai penasaran dengan latar bekakang ibunya.

“Kau tahu? Terkadang mama membuatku kesal. Sikap mama yang seperti itu membuatku tak pernah ingin bertanya macam-macam karena aku sudah tau apa yang akan terjadi.” Sekali lagi Jill menghela napas.

Steven menatap wajah imut milik wanita di sampingnya. Yang ditatap justru menatap hamparan bintang di atas mereka.

“Sekarang aku jadi penasaran alasan orang tuaku berpisah,” racau Jill.

Setelah Jill mengatakan itu, tiba-tiba langit diselimuti awan mendung. Kejadian ini persis seperti saat mereka ada di rumah Jill. Steven ikut melihat ke langit saat Jill membelalak ke arah sana. Langkah mereka langsung terhenti saat portal misterius itu muncul lagi.

•••
Presented by Room Genre Fantasy,
yang diketuai oleh Penaskye

Judul: FISSANDO IL CIELO
Penulis: Kirasuma_Lalah
Mentor: Penaskye

FINAL PROJECT GEN 1

FISSANDO IL CIELODonde viven las historias. Descúbrelo ahora