18 || Rahasia Terakhir (ii)

14 5 0
                                    

RAUT tercengang menghiasi wajah Jill. Ia tak menyangka mamanya bersikap egois dan menelantarkan dirinya sejak kecil. Rasanya Jill ingin marah dan menangis saat ini. Namun di sisi lain, Jill harus bersabar dan sebisa mungkin untuk menahan segala emosi dalam dirinya agar tidak meluap. Jill tak menyangka mamanya menyembunyikan masa lalu sebesar ini darinya.

“Cih, nggak dewasa,” gumam Steven. Jill yang mendengar suara Steven bergumam langsung menoleh ke arahnya.

“Ada apa, Stev? Apa ada luka yang semakin terbuka?” tanya Jill menutupi emosi.

“Jangan pura-pura begitu! Aku tahu kamu kecewa melihat betapa kekanakannya mamamu!”

Steven terlihat marah. Nada suara yang tinggi, dan tatapan yang nyalang membuat lelaki itu jelas tersulut emosi. Ditambah lagi mata merah yang melengkapi kesempurnaan api amarah Steven tersimpan sebuah keyakinan bahwa ia melihat hati Jill yang menangis.

Jill tak bisa membantah ucapan Steven karena semuanya benar. Kelopak matanya terkulai. Sepertinya butiran bening akan melesat turun dari mata. Steven merasa iba melihat perubahan ekpresi dari wajah Jill. Tangan Steven tergerak menyentuh kepala gadis itu bermaksud untuk menenangkannya. Entah kenapa kebiasaan itu selalu muncul saat Jill tengah murung.

“Kalau mau nangis, menangislah. Keluarkan saja. Aku tak akan marah lagi,” ucap Steven tanpa menatap Jill.

Steven menurunkan tangannya saat Jill mulai terisak. Semakin lama air mata Jill semakin deras. Nama Steven terucap lirih di sela tangisannya.

“Ada apa? Mau peluk?” tebak Steven berusaha menghaluskan nada suaranya.

Jill mengangguk pelan.

Mulut Steven mengembuskan nafas lalu tangannya terbentang memberi pelukan untuk Jill. Mata Jill yang basah menatap ke arah Steven. Jill tak percaya Steven memperbolehkannya memeluk dengan bebas. Mungkin saja syarat untuk bisa memeluk Steven adalah menangis. Steven membalas pelukan Jill yang sudah menangis meraung-raung.

Manik merah Steven menatap pintu ruang piano yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Steven penasaran apa yang terjadi dengan Lilian.

“Jill, kamu sudah selesai belum nangisnya? Kalau sudah, aku mau ajak kamu ke ruang piano,” ucap Steven. Jill mengangkat kepala dan mengurai pelukan.

“Mau... ngapain?” tanya Jill masih terisak.

“Aku penasaran dengan mamamu. Kita tengok dia, yuk,” jawab Steven serius.

Kedua punggung tangan Jill menghapus air mata yang tersisa di pipinya. Setelah pipinya kering dari air mata, Jill mengangguk membalas ajakan Steven. Kaki mereka melangkah ke ruangan piano yang terletak di sebelah gudang. Pintu ruang piano sengaja didesain berbeda dengan yang lainnya supaya tak sembarang orang bisa masuk ke sana.

Ukiran kuno dan pintu berwarna putih membuat kesan elegan semakin jelas terlihat. Mereka menembus pintu itu dengan mudahnya dan Steven tak percaya hal itu bisa terjadi. Rasanya seperti hantu yang bisa menembus pintu meski terkunci dari dalam. Untuk sejenak mereka tercengang melihat kondisi ruangan yang tidak terlalu berantakan.

Ada beberapa serpihan kaca di bawah meja dekat jendela. Jill menduga serpihan kaca itu adalah gelas yang tak sengaja jatuh dari meja itu. Sosok Lilian yang duduk di hadapan piano menyita perhatian Steven dan Jill. Lilian nampak frustasi. Mata yang sama dengan Jill terlihat bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.

Tangan Lilian membuka penutup tuts piano lalu mengambil posisi untuk mulai memainkan sebuah lagu. Lilian  menarik napas lalu membuangnya agar dadanya tak sesak lagi.

“Lagu ini kubuat untuk yang pertama dan terakhir kalinya,” gumam Lilian.

Jari Lilian menekan nada pertama lagu ciptaannya. Setelah beberapa nada dimainkan, Jill dan Steven ingat pernah mendengar bahkan memainkan lagu ini.

“Jiil, ini lagu Look At The Sky,” tutur Steven seraya menatap Jill.

“Aku tahu itu.”

Ada genangan air di pelupuk mata Jill. Saat ini lagu Look At The Sky berada di titik klimaks. Di titik inilah air mata mulai tak sopan berjatuhan. Steven merasa matanya mulai panas. Pandangannya tertutup genangan air. Dadanya nyeri.

Ugh, kenapa saat penciptanya yang memainkan, semakin menyedihkan juga nadanya? batin Steven.

Jill terduduk karena lututnya tak lagi mampu menopang tubuhnya. Pipinya sudah banjir air mata dan dadanya pun terasa sesak. Semakin lama semakin sesak sehingga tangannya ia taruh di dada.

“Sial! Kenapa bisa sesesak ini?” keluh Steven di sela tangis.

Steven merasa seluruh tulangnya perlahan hilang dari tubuh. Steven jatuh terduduk lalu punggungnya ia sandarkan pada dinding di belakangnya. Sekelebat pemikiran muncul di otak Steven. Punggungnya bisa menyentuh dinding. Setelah itu Steven ingat kejadian sebelum pingsan ia tersandung batu.

Saat Steven memikirkan penyebabnya, otaknya kembali bereaksi. Pemikiran itu hanya mampir tanpa meninggalkan solusi dan pergi meninggalkan rasa sakit. Argh! Kenapa di saat seperti ini malah sakit? jeritnya dalam hati sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tak lama kemudian lagu itu berhenti.

Lilian bangkit dari duduknya dan berjalan ke jendela. Air matanya mengalir deras. Matanya menatap langit seolah meminta perhatian dan waktu untuk melihat tangisannya.

“Kenapa kamu tega selingkuh di belakangku? Aku sudah sabar dengan sifat dinginmu dan selalu berpikiran positif kalau kamu tak akan mungkin selingkuh,” tutur Lilian sambil mengepalkan tangan di jendela.

Jill yang mendengar keluhan mamanya seketika berhenti menangis. Kepala Jill terdongak menatap Lilian yang berjalan setelah mengambil serpihan kaca di bawah meja. Mata Jill membelalak lebar. Kaca itu Lilian gores tepat di pergelangan tangan. Membuat darahnya berhamburan tak terarah. Ada yang jatuh ke lantai, ada juga yang jatuh di atas tuts piano.

Tangan Jill menepuk kaki Steven yang terluka. Membuat cowok itu mengerang kesakitan.

F*ck! Sakit tauk! Kamu menepuk lukaku,” umpat Steven lalu menangis lagi.

“M-maafkan aku, Stev. Aku nggak tau,” ucap Jill. “Coba kamu lihat itu.” Jill menunjuk mamanya yang sudah kesakitan.

Gigi Steven mengeras menahan kesal.

“Bodoh! Bunuh diri dengan cara seperti itu nggak akan mempan!” pekik Steven.

“Jadi dengan cara apa?” suara Jill terdengar panik.

“Gantung diri! Lagi pula kenapa harus bunuh diri, sih?”

Belum sempat Steven menutup mulut, cahaya misterius muncul dari piano kristal. Cahaya itu sangat terang sehingga mereka menutup mata dengan kedua telapak tangan. Selang beberapa saat cahaya itu menghilang. Mereka menurunkan kedua telapak tangan dan membuka mata. Pandangan mereka masih silau namun mereka menangkap sosok kakek-kakek di sebelah piano.

“Beraninya kamu menodai piano buatanku,” ucapnya.

Jill dan Steven sudah tak asing lagi dengan suara ini. Cepat-cepat mereka menstabilkan pandangan untuk memastikan siapa dibalik suara itu. Kontan Jill berdiri saat mengetahui siapa sosok itu.

“Jarma!” seru Jill spontan.

Steven ternganga mendengar Jill memanggil buyutnya dengan nama tanpa ada sopan-santun. Mendengar namanya disebut, Jarma melirik ke arah Jill. Rupanya kakek tua itu masih bisa melihat Jill dan Steven. Jarma menyunggingkan senyum ke arah Steven dan Jill.

“Oh, hai anak-anak. Kita bertemu lagi. Tapi maaf, ya, kali ini aku tak bisa menemani kalian menjelajah waktu karena aku harus mengajari cucuku yang satu ini,” ucapnya sambil menatap ke arah Lilian yang saat ini membeku.

“Oh iya, satu lagi. Jaga cara bicaramu wahai cicitku. Yang ada di depanmu ini adalah leluhurmu. Kamu paham?”

Jarma menatap erat mata Jill seolah mengunci manik amber itu. Jill mengangguk paham lalu jarma mengucapkan terima kasih. Lilian kembali bergerak. Ia tak menyangka sosok kakeknya muncul di hadapan.

“Haah, aku terbangun hanya karena sebuah noda darah rupanya. Cepat! Bersihkan itu! Kalau tidak, aku akan menyeretmu masuk ke dalam piano menemaniku hidup abadi di dalamnya.”

Karena mendapatkan ancaman seperti itu, Lilian buru-buru membersihkan noda darah yang ada di atas tuts. Jarma melihat tangan Lilian yang mulai diselimuti darah.

“Ada apa dengan tanganmu?”

“Ah, ini... aku tertusuk serpihan kaca,” kelit Lilian.

“Tertusuk... atau menusuk?” tanya Jarma.

Jill dan Steven tertegun melihat perubahan Jarma. Mereka tak menyangka Jarma bisa bersuara tegas seperti itu.

“M-menusuk,” jawab Lilian sambil tertunduk menahan tangis.

“Bersihkan lukamu. Aku nggak mau darahmu menodai pianoku.”

Lilian menuruti perintah kakeknya.

“Hei, Cucuku. Apakah portal itu punyamu? Dia menganggu sekali.”

Pandangan Lilian, Jill, dan Steven mengikuti arah tangan Jarma. Ada portal di atas piano yang berhasil membuat mereka tercengang.

•••
Presented by Room Genre Fantasy,
yang diketuai oleh Penaskye

Judul: FISSANDO IL CIELO
Penulis: Kirasuma_Lalah
Mentor: Penaskye

FINAL PROJECT GEN 1

FISSANDO IL CIELOWhere stories live. Discover now