4 || Terima

18 7 0
                                    

PENAMPILAN mereka telah usai. Jill dan Steven berdiri sejajar lalu membungkuk hormat di hadapan ribuan pasang mata yang bersorak takjub. Lolosnya Steven di lomba tingkat nasional membuat penggemarnya harus berebut tiket demi memberi semangat untuk sang idola.

Namun, kenamaan Steven bukan berarti apa-apa jika dibandingkan dengan Jill. Gadis itu sudah terkenal sampai ke luar daerah Esmeralda. Kepiawaiannya mengkomposisi lagu membawa namanya melambung tinggi.

Mendadak Jill menarik tangan Steven mengakibatkan cowok dengan pakaian  serba merah itu terkejut. Steven berusaha melepaskan cengkraman Jill. Sayangnya, usaha itu semakin menguatkan kelima jari Jill. Lama-lama Steven menyerah dan membiarkan Jill menyeret tubuhnya.

Steven tahu ke mana Jill membawanya kala melihat hamparan rumput hijau di hadapan mereka. taman. Pertanyaan ‘mau ke mana?’ yang terus berputar di kepala Steven kini berganti menjadi pertanyaan: ‘mau ngapain di taman?’.

Jill berhenti menyeret Steven seraya melepas cekalannya. Tatapan penuh kesal yang Steven berikan Jill sambut dengan senyuman manis.

“Kamu apa-apaan, sih?” protes Steven. Mata merah milik Steven memancarkan kemarahannya.

“Gimana puisiku tadi?” tanya Jill tanpa menghiraukan emosi Steven.

Bukannya menjawab pertanyaan Jill, Steven malah menggerutu.

“Kenapa harus ke sini, sih? Kenapa nggak di backstage aja?” keluh Steven emosi.

Jill mengalihkan wajahnya, menatap hamparan kapas putih yang menyelimuti langit biru, yang melayang bebas di atas mereka.

“Langit biru terbentang luas di atas kita, seolah mendukung bersatunya kau dan aku.” Jill mengerling manis ke arah Steven. “Kita lewati sedih dan bahagia bersama. Sumpah aku akan setia di sampingmu.”

Steven kembali tertegun. Matanya tak berkedip menatap Jill dan mulutnya terbuka sedikit.

“Gimana?” Senyum merekah dan tatapan penuh harap terpancar dari mata Jill.

“Jujur, puisimu keren. Aku tak menyangka kau benar-benar menambahkannya,” ucap Steven datar. Pujian Steven semakin membuat senyuman Jill mengembang. “Aku tau. Tadi itu kode, ‘kan?”

Gadis itu tersenyum lebar dan mengangguk.

Steven melengos sambil menampilkan seringai tanda keangkuhan. Sayangnya, gengsi Steven berhasil menyingkirkan permintaan Jill dari hatinya.

Cowok itu kembali menolak Jill.

Namun, Jill tak mau menyerah. Bagaimana pun ia harus dekat dengan Steven. Setidaknya walau sekadar sahabat. Jika ditanya alasannya, Jill akan menjawab, “Di mataku, Steven itu berbeda jika dibandingkan dengan cowok yang pernah kutemui”.

“Ih, ditolak lagi. Kalau seperti ini sifatnya, Steven nggak punya teman, loh,” omel Jill.

“Aku nggak peduli!” balas Steven. “Lagian aku memang nggak punya tema, kok.”

“Makanya aku mau jadi teman kamu, Steven” 

“Aku nggak mau!” tukas Steven.

Jill memelas penuh permohonan kepada Steven. Namun, Steven tetap keras kepala tak ingin menjalin hubungan pertemanan dengan siapapun. Duetnya dengan Jill saja sudah cukup merepotkan, katanya.

“Ayolah Steven. Aku pengen banget sahabatan sama kamu. Kamu itu spesial untukku. Please. Mau, ya?” rengek Jill.

“Gak!” Steven menyentak. Matanya menatap gadis itu jengkel. Jill tak mengindahkan sentakan Steven.
“Steven ganteng, deh. Mau, ya, jadi sahabat Jill?”

“Gak, aku jelek,” sengit Steven.

Rentetan pujian tentang Steven terus Jill lontarkan–tentu saja dengan maksud membujuk Steven–sampai posisi Jill semakin dekat dan membuat Steven risih. Bentakan dan kata-kata kasar tak mempan untuk memukul mundur tekad Jill yang semakin menggila.

Kesal, risih, dan benci, semua emosi itu bercampur di dalam dada Steven. Rasanya, darah Steven mendidih. Dengan busur biola yang Steven bawa sejak turun dari panggung, tangannya mengendalikan benda itu mendarat mulus tepat di tengkuk Jill.

Jill bergeming. Untuk pertama kalinya, kepala Jill tertunduk di depan Steven. Suara ringisan terdengar, Steven tahu Jill kesakitan. Namun, Steven membiarkan Jill menahan sakit.

Setelah cukup lama tak da pergerakan dari Jill, Steven pun memilih pergi meninggalkan Jill. Namun, seketika saja ia mematung begitu mendengar perkataan Jill.

“Jahat kamu.”

“Kenapa, sih, kamu itu jahat banget? Aku salah apa?” lirih Jill dalam tunduknya.

Rambut sebahu yang ada di bagian depan menjadi tirai penutup wajah Jill. Namun tanpa Steven sangka, suara isak terdengar dari cewek itu. Tangan kanannya mengepal erat bagai menahan emosi karena bombardir hinaan yang Steven lontarkan.

“Aku cuma minta kamu jadi sahabat aku, itu aja kok” Kepala Jill mendongak, bibirnya mengembangkan senyum kelu yang diapit derasnya air mata di pipinya.

Mata Steven membelalak lebar. Sesakit itukah pukulannya tadi? Steven jadi merasa bersalah. Emosinya mengurai perlahan seiring dengan tangis Jill yang semakin menjadi.

Tangan Jill menghapus butiran-butiran air mata yang semakin deras. Kenapa aku sebodoh itu, sih? sungut Jill dalam hati.

Steven merengkuh tubuh Jill yang menangis sesenggukan. Steven dapat merasakan rasa sakit yang begitu dalam lewat tatapan Jill. Cowok itu memang benci dipaksa, namun ia lebih benci melihat cewek menangis.

“Sudahlah, aku menyerah. Kamu berhasil meluluhkan hatiku,” bisik Steven dalam peluk. “Selamat.”

Air mata yang sempat tertahan, kembali mengalir bak sungai di pipi putih Jill.

•••
Presented by Room Genre Fantasy,
yang diketuai oleh Penaskye

Judul: FISSANDO IL CIELO
Penulis: Kirasuma_Lalah
Mentor: Penaskye

FINAL PROJECT GEN 1

FISSANDO IL CIELOWhere stories live. Discover now