Bagian 13

4.3K 966 49
                                    

"Lita ...."

Panggilan itu membuat gadis yang bergelung di atas ranjang menutup telinga. Semalam Yasa mengantarnya pulang. Tepat sesuai dugaannya, Mama tampak setengah mabuk dan membuat Lita justru semakin muak.

"Mama ... minta maaf, Sayang." Suara Mama kembali terdengar.

Semalam Mama juga menangisi kondisi putrinya yang babak belur. Namun, Lita tetap berkeras hati tak ingin berbaikan dengan sang mama dalam waktu dekat ini.

"Mama berangkat, ya. Kamu hati-hati di rumah sampai Papa pulang."

Lita semakin mengencangkan selimut. Anak mana yang tak marah saat ibunya lebih percaya pada laki-laki hidung belang macam Rudi?

Ponsel di nakas bergetar beberapa kali. Namun, Lita sedang benar-benar tak mau diganggu dan memilih mematikan daya ponsel lalu melemparnya ke karpet. Pagi ini ia sudah izin tak masuk kantor pada Nia dengan alasan sakit. Tak mungkin juga berangkat dalam kondisi wajah seperti ini. Biarkan saja Pak Cipto mencarinya.

Lita mengembuskan napas panjang, menatap langit-langit kamar. Suara mobil Mama terdengar semakin menjauh. Ia mengintip sedikit melalui korden. Mama kembali ke Jogja hari ini. Lita sendiri lagi.

Gadis dengan piama katun itu kembali menatap langit-langit kamar. Ia sudah biasa sendiri. Bahkan sebelum mama dan papanya bercerai, Lita sudah biasa di rumah hanya bersama ART. Harus berbuat apa ia hari ini? Rasanya hanya menulis keluh kesah dalam buku harian tak lagi bisa membuatnya lega.

Lita bangkit dari rebahan, membuka laci nakas, dan meraih buku diari berwarna biru. Ia membuka halaman buku. Kosong dan hanya ada satu kata yang ia tulis. Yasa.

Ah, mungkin ada baiknya ia menemui Yasa. Laki-laki itu juga luka-luka karena membelanya semalam. Lita bergegas meraih handuk dan membersihkan diri, lalu menutup bekas lebam dengan salep. Sedikit bedak sepertinya bisa menyamarkan luka. Tak ada salahnya kalau ia menjenguk Yasa dalam kondisi begini, kan?

***

Gadis berambut kecokelatan yang tengah mengeluarkan belanjaan dari keranjang ke meja kasir itu berdecak. "Apa aku bilang? Suami Salsa itu emang enggak beres, Yas. Tebakanku sama Mama tepat, kan?"

Yasa hanya memutar bola mata. Ia lalu merogoh dompet di saku belakang celana chinonya, memberikan tiga lembar uang merah pada Padma.

"Terus, kenapa bisa Zuhri mukulin kamu?" Padma tersenyum sejenak saat petugas kasir menerima lembaran tunai untuk membayar belanja isi kulkas Yasa.

"Aku yang mukul dia duluan, sih," sahut Yasa akhirnya. Ia mendesah seraya mendorong troli ke luar antrean di kasir.

Bulu mata lentik Padma mengedip beberapa kali. "Lah, kenapa? Ketahuan Papa bisa dipenggal tahu." Padma menabok lengan kiri kakaknya gemas.

Namun, Yasa hanya melirik Padma sekilas dan terus berjalan mendahului sambil menenten dua keresek belanjaan. Ia yakin Papa tak mungkin langsung menyemburkan amarah tanpa tahu alasan anaknya melakukan hal itu.

"Kayak enggak kenal aku aja," gumamnya.

"Makanya aku tanya kenapa. Apa karena Zuhri sering mukulin Salsa sampai kamu semarah itu? Inget, kalian udah bukan siapa-siapa lagi. Apa hak kamu sampai mukulin Zuhri? Biarin aja orang tua Salsa yang urus." Padma berceramah tanpa jeda. Ia sempat membenarkan posisi tas selempang di bahu kiri sebelum ikut masuk ke dalam mobil. "Ish, kok diem? Jawab dong, ah!"

Yasa batal menyalakan mesin mobil dan terdiam sejenak. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir mobil. Ia menimbang-nimbang sejenak, haruskah mengungkapkan kejadian itu pada adiknya atau tidak. Namun, mengingat bagaimana Lita yang ketakutan dan malu luar biasa atas apa yang menimpanya membuat Yasa urung membuka suara.

Lalita's DiaryWhere stories live. Discover now