Bagian 11

4.3K 988 57
                                    

"Iya, Rudi, aku paham. Tolonglah mengerti sedikit. Putriku itu memang sedikit susah diatur."

Lianti tampak menggebu. Ia membenarkan posisi earphone di telinga. Tampaknya pemilik agensi model itu naik pitam sejak pertemuan terakhirnya dengan Lita.

"Oke, nanti malam akan aku ajak putriku untuk menemuimu. Aku jamin dia akan menjadi model tercantik."

Panggilan berakhir saat Rudi menyetujui permohonan Lianti. Wanita bergaun hitam tanpa lengan itu melepas earphone sedikit kasar. Anting berbentuk lingkaran di telinganya tampak  bergoyang. Ia begitu stres memikirkan semua. Anak yang susah diarahkan, Daniela yang kerap menelepon sebab banyak deadline tertunda karena ditinggal sang pemimpin redaksi ke Jakarta, dan Juan yang ... ah, laki-laki itu mengesalkan sekali!

Lianti menekan klakson sedikit kasar ketika sampai di rumah Juan. Mbok Yus terlihat tergopoh membuka pintu pagar, tapi ia malah semakin kerap menekan klakson.

"Tuan udah berangkat?" Tanpa menyapa, wanita itu bertanya sambil mengibaskan rambut ke belakang lalu menutup pintu mobil.

"Sudah, tadi jam enam pagi Non Lita yang antar ke bandara."

"Lita bawa mobil sendiri? Memangnya dia punya SIM?" Lianti menyerobot dengan tatapan geram.

Mbok Yus tertunduk, bahunya mengerut takut. "Ditemani sama Mas Yasa, kok, Nyonya."

Otot wajah yang menegang Lianti melemas. Ia berpikir sejenak. "Yasa? Siapa?"

"Putranya Pak Samudra, atasan Tuan." Takut mendapat semburan lain, perempuan bersanggul dengan rambut hampir semuanya putih itu undur diri ke dapur.

Lianti memijit pelipis dan bersandar ke mobil. "Apaan, sih? Kok bisa-bisanya Lita dekat sama anaknya Sam?"

***

Gadis di ruang makan itu membuka lebar-lebar koran di meja. Mata bulatnya terus terpukau menatap berita yang ia liput terbit di media cetak pagi ini. Lidahnya tak henti berdecak kagum. Sementara sepiring nasi goreng belum ada minat ia sentuh. Lita bahkan tak menyadari suara gemeletuk pumpshoes yang menuju ruang makan.

"Ck, kalau sarapan jangan sambil baca begini. Ini kenapa sarapan begini? Pagi itu cukup minum susu sama salad, Lita." Mama meraih piring di tengah meja makan dan beranjak ke meja pantry. Ia meraih susu rendah lemak dalam kulkas, menuangnya dalam gelas lalu meletakkannya di hadapan Lita usai menyingkirkan koran.

Lita mendesah pasrah. Ia meneguk susu sampai tandas diikuti melahap habis semangkuk salad yang menyusul dari suguhan sang mama.

"Sejak kapan kamu dekat sama anaknya atasan Papa?"

"Yasa?"

Mama memutar bola mata. "Iyalah, siapa pun namanya. Kamu pacaran?"

"Cuma teman, kok." Lita sedikit ragu mengucapkan kata teman. Gadis dengan setelan celana jins dan kaus oversize itu memilih menghindar dari kejaran pertanyaan Mama dengan berpura-pura sibuk mengembalikan gelas dan mangkuk kosong ke cucian piring.

"Bener, ya? Cuma teman? Mama enggak mau kamu menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun sebelum jadi wanita sukses."

"Ck, iya ... Lita juga mau fokus kerja, kok." Lita kembali duduk di kursi.

"Kalau gitu nanti malam temui Pak Rudi. Mama temani, oke?" Mama melipat kedua tangan di atas meja. Manik matanya terlihat menatap tajam pertanda tak ingin ditolak.

Lita mengembuskan napas kasar sembari menyandarkan punggung. "Aku berangkat sendiri. Tapi kalau laki-laki itu kembali macam-macam, jangan salahkan kalau Lita enggak segan buat ninju hidungnya sampai berdarah."

Lalita's DiaryWhere stories live. Discover now