Bagian 31

4.3K 959 60
                                    

Dear Yasa,

Maaf, aku tak mungkin sanggup mengisi buku jurnal ini dengan kisah perjalananku keliling dunia. Aku mau melompat ke halaman terakhir. Biarkan Paris menjadi tujuan pertamaku pergi.

Setidaknya bila nanti aku pergi ke tempat lain, hatiku tak terus terusik dengan perasaan rindu yang menyebalkan. Aku temui dirimu dahulu, baru kita pikirkan akan ke mana lagi kaki melangkah. Jalan bersama atau hanya bertemu sejenak lalu berpisah lagi.

Oh ya, apa kabar Paris? Apa tempat yang kamu tinggali sekarang menyenangkan? Apa bermain salju itu mengasyikkan?

Eh, sejak kamu menghilang, aku jadi rajin mengisi buku diari. Dulu sewaktu kamu ada di dekatku, rasanya selalu buntu dan bingung yang akan kutulis. Sebab semua kekesalan, kecewa, ketakutan, dan kecemasaanku sirna saat bersamamu. Kamu seperti buku diariku yang hilang, tempat menumpahkan segala keluh kesah pada saat terburukku.

Tuh, kan, aku bisa menulis sebanyak ini!

Oh ya, tak usah khawatir saat aku ke Paris nanti, aku pastikan bisa mengucapkan kata sederhana dalam bahasa Perancis.

Salut!¹
Bonjour!²
Je m'appele Lalita.³
J'habite à Jakarta.

Apa kamu masih mau bertemu denganku nanti? Di depan Eiffle?

🍁🍁🍁

Lita meletakkan pena di atas meja, mengusap lembut buku jurnal pemberian Yasa yang selalu diisi dengan keluh kesah dan bertanya kabar mengenai laki-laki itu. Ia menatap langit di luar melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Apa langit di Paris sebiru ini?

Yasa benar-benar menghilang. Lelaki itu sepertinya berganti nomor ponsel. Sesekali Lita berkirim e-mail, itu pun tak berbalas. Memalukan sekali. Bibir gadis itu mengerucut kemudian menelungkupkan wajah di atas lipatan kedua tangan.

Butuh waktu berapa lama lagi untuk menyelesaikan perkuliahan? Oh, bagaimana meraih kesempatan bisa terbang ke Paris? Adakah cara instan semacam menang lotre liburan ke Paris?

Otak Lita terlampau lemah bila harus mengejar beasiswa S2. Mau mengandalkan fee menulis dari blog lifestyle pun kurang menjanjikan sebab baru jalan beberapa bulan. Upah dari kantor Tante Daniela pun tak sanggup bila harus membeli tiket pulang-pergi ke Jogja-Paris. Mau minta Mama dan Papa pun memalukan. Mereka berdua sudah tak bekerja di kantor media. Hanya bisnis kafe di depan rumah ini sumber penghasilan orang tuanya dan sesekali Mama masih menerima tawaran menjadi penulis artikel lepas di media. Pun sama dengan Papa.

Lita mendesah putus asa. Di tahun pertama ia kuliah tak seberat ini rasanya. Mendekati masa-masa skripsi, jiwa Lalita Paramita berontak. Otaknya penuh dengan revisi skripsi yang tak kunjung selesai. Mau lari, tapi sudah telanjur basah begini.

"Kenapa sih harus ada skripsi? Langsung lulus aja bisa enggak?" Lita menggeram frustrasi di depan pot bunga aster, berharap tumbuhan itu menjawab. Lima menit ia habiskan menatap bunga tak berdosa itu. "Aku tahu, tak usah menasihatiku! Aku akan menyelesaikannya. Kamu puas?!"

Perempuan yang kini genap 22 tahun itu meraih laptop di pojok meja. Ia tak punya pilihan kecuali tekun menyelesaikan revisian skripsi, mengajukan persetujuan sidang, dan wisuda. Itu pun kalau lulus. Lita berdecak, bergumam sendiri, dan sesekali menatap jajaran foto yang terplester pada lampu tumblr di dinding kamar.

Lalita's DiaryWhere stories live. Discover now