Bagian 23

4.3K 923 47
                                    

Gadis dengan jepit rambut berbentuk pita di sisi kanan itu berhenti sejenak. Ia baru saja memasuki halaman kantor. Mobil Yasa sudah  terparkir, sepertinya cowok beraroma lemon itu datang lebih pagi.

Lita merogoh saku ransel, meraih benda berbentuk stik warna pastel kesukaannya. Ia lalu membungkuk tepat di depan spion mobil, memoles sedikit saja bibir dengan warna lembut. Merasa pulasan kurang rapi, Lita merapikannya dengan ujung jari.

"Selesai!" gumamnya seraya menegakkan tubuh, membenarkan posisi ransel di bahu, dan beranjak masuk kantor.

Kosong. Biasanya Yasa menunggu di kursi kerja Lita. Nia juga tak ada. Ke mana? Gadis berkaus biru tua dipadu kemeja kotak-kotak warna senada itu mengerucutkan bibir, mempaskan pantat ke kursi sembari meletakkan tas ke pangkuan. Ia baru saja akan menekan tombol daya layar CPU di bawah meja ketika pintu ruangan Cipto terbuka.

Yasa keluar diikuti Nia. Lelaki itu tersenyum mendekat. Sayangnya, Lita sudah tak sanggup menyembunyikan kegembiraan setiap Yasa datang. Gadis itu tersenyum dengan mata berbinar seraya mencondongkan tubuh ke depan.

"Bahagia kelewatan ini bocah," celoteh Nia diikuti tawa kecil.

Lita hanya terkekeh sembari merapikan rambut panjangnya.

Yasa menahan tawa. Lelaki yang berpakaian casual di hadapan Lita mengeluarkan sebungkus biskuit bar. "Enggak ada jatah Cola dan Ciki hari ini."

Wajah Lita mendadak berkerut kecewa. Namun, ia tetap menerima biskuit yang kali ini berlapis cokelat putih bertabur buah kering. "Not bad-lah. Lumayan buat diet," kelakarnya.

Ada Mama di rumah kembali mengekang pola makan Lita. Sepertinya Yasa paham sehingga lebih memilih memberikannya makanan ringan rendah kalori. Demi kebaikan.

"Aku pulang, ya. Selamat bekerja." Usai mengacak puncak kepala Lita, Yasa berlalu.

Lita mengangguk, menatap kepergian Yasa melalui pintu utama kantor.

"Yasa udah bilang dia berhenti jadi kontributor hari ini juga?" Nia membuka pembicaraan. Wanita yang sedang sibuk mencoret artikel di meja menghadapkan tubuh ke arah Lita.

Lita urung menyobek ujung bungkus buskuit. "Kenapa berhenti?" Ia mendadak tak bersemangat.

"Sibuk urus persiapan berangkat ke Asutria katanya."

"Oh ... gitu, ya?" Nada bicara Lita melemah.

"So, hubungan kamu dan Yasa ada perkembangankah? Sepertinya aku lihat kalian makin hari makin akrab. Kamu siap menjalani long distance relationship?"

Lita tertunduk menatap biskuit pemberian Yasa. Hubungan yang mana? Mereka bahkan belum membicarakannya secara serius. Pagi itu datang, Yasa hanya memeluk dan mengatakan kalau mengkhawatirkan Lita. Gadis itu sendiri terlalu sibuk merasakan letupan-letupan di dada dan gembira luar biasa.

Ah, dangkal sekali pengetahuannya mengenai hubungan lawan jenis. Lita hanya merasa bingung, gelisah, galau, merindukannya, tapi tak berani tanya.

Namun, itu semua bukan titik permasalahannya. Saat ini Lita hanya berpikir takut Yasa berada jauh darinya. Khawatir lelaki itu melupakannya ketika berjauhan. Cemas andai nanti mereka tak saling berkabar. Lita takut Yasa menghilang dari peredarannya.

Sedikit tergesa Lita bangkit dari kursi. "Aku izin hari ini ya, Ni. Toh enggak ada liputan. Kalau ada koreksian yang perlu dibantu kirim email enggak apa. Entar malam aku kerjain. Makasih."

"Lho ... lho ... eh, mau ke mana?!" Nia berteriak bingung.

Namun, gadis yang dipanggil terus berlari keluar kantor. Ia harus menemui Yasa sekarang.

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang