Extra Part

8.4K 1K 57
                                    

Jakarta. Kota yang semula menjadi tempat asyik untuk melarikan diri bagi Lita. Kota yang membuat semangatnya menggebu mengejar mimpi. Kota yang mempertemukannya dengan lelaki yang kini bersanding dengannya. Semua bahagia terukir di kota metropolitan ini. Namun, di kota ini pula Lita pernah hancur, remuk tak bersisa sampai ia merasa hidup pun sia-sia saja.

"Kamu sakit?" Suara Yasa menyadarkan Lita.

Wanita yang sedang duduk di atas koper besarnya menoleh, tersenyum lalu menggeleng pelan. Lima menit yang lalu keduanya baru turun dari kereta di Stasiun Pasar Senen. Undangan makan malam dari Oma Meilan memaksa Yasa dan Lita harus berangkat ke Paris dari Jakarta. Yasa sudah meminta Lita untuk tak harus menerima tawaran makan malam itu. Namun, rasanya tak etis menolak sebab Lita yakin Oma Meilan pasti merindukan Yasa.

Ketika sebuah Honda Brio berhenti di depan stasiun, seorang pria berseragam hitam turun, memberikan kunci usai menyapa Yasa sebentar.

"Bawa saja, Mas, nanti saya bisa pulang naik ojol untuk kembali ke rumah Nyonya." Pria itu pamit. Sepertinya ia sopir pribadi keluarga Samudra. Usai membantu menaikkan tas dan koper ke bagasi, sopir itu berlalu.

Yasa membukakan pintu untuk Lita sebelum akhirnya ia masuk ke sisi kemudi.

"Mobil kamu enggak ada yang berubah meski ditinggal ke Paris," celetuk Lita seraya mengedarkan pandangan.

"Kenapa? Kangen pergi liputan berdua pakai mobil ini?" Yasa tersenyum sembari melajukan mobil.

"Ah, enggak, ada kejadian memalukan di mobil ini," sahutnya. Lita melipat kedua tangan di depan dada.

Kedua alis Yasa terangkat. "Memalukan?"

"Pura-pura lupa! Kamu balikin pakaian dalamku di dalam mobil ini. Kamu pikir itu bukan kejadian memalukan?" Wanita dengan bibir mengerucut itu menggerutu sebal.

Yasa menahan tawa. "Itu karena aku menghargaimu. Masa mau aku balikin di kantor media punya Cipto."

"Haish, jangan dibahas lagi! Aku malu!" protes Lita. Ia bersandar malas ke kursi.

Namun, kekesalan Lita justru membuat Yasa semakin tak kuasa menahan kikikan gelinya. Ia mengaduh pelan saat sebuah tinju mendarat di lengan kirinya.

***

Denting piring dan sendok terdengar nyaring. Jamuan makan malam di rumah Oma Meilan cukup membuat Lita puas makan.

"Berapa lama lagi kontrak kerjamu di Paris, Yas?" Oma Meilan bersuara. Ia menyendok pelan sup ayam hangat di mangkuk miliknya.

"Mungkin satu tahun lagi, Oma. Tapi kalaupun udah selesai, aku sama Lita udah mutusin mau menetap di sana." Lelaki yang duduk bersebelahan dengan Lita itu menyahut setelah meneguk air putih hingga setengah tandas.

Perempuan berambut kelabu itu tertunduk, mengaduk-aduk sup pelan. "Oh, begitu ya? Hmm, Samudra Pers sepertinya tidak punya penerus. Padma fokus di bidang kuliner."

Pergerakan tangan Lita yang sedang menusuk semangka di piring terhenti. Benar sekali, suaminya harus kembali ke Jakarta meneruskan bisnis keluarganya. Apa Lita terlalu egois bila dalam catatan masa depannya tak ingin menginjakkan kaki lagi di kota ini?

"Ma ... Sam sama Tera masih kuat, kok. Biarkan Yasa dan Lita mandiri dan memikirkannya nanti." Sam menyela.

Tera tersenyum hambar. "Eh, Lita, apa kabar Jogja? Masih ramai mahasiswa?" Ibu dari Yasa itu mengubah topik pembicaraan. Berusaha mencairkan suasana agar tak membahas mengenai kebebasan putra dan menantunya di mana akan tinggal.

Beruntung Lita bisa menyesuaikan ritme obrolan ibu mertuanya. Saat Yasa menatap sendu padanya, Lita tersenyum sembari menggenggam erat tangan suaminya. Seolah ia sedang berusaha mengatakan, "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

Lalita's DiaryWhere stories live. Discover now