Bagian 3

6.1K 1.1K 41
                                    

Lita sudah benar-benar memutus urat malunya. Ia tak peduli meski beberapa karyawan yang lewat memperhatikannya sambil bergeleng tak habis pikir. Namun, cewek itu tak punya pilihan. Kembali kabur dari rumah membuatnya terpaksa harus mengemis pekerjaan di kantor media yang dulu sempat mempekerjakannya. Papa sama sekali tak tahu soal ini, tapi cepat atau lambat, Lita yakin Mama pasti menghubungi Papa.

Ia tak tahan. Sungguh tak tahan. Malam itu sepulang dari lari maraton sepanjang jalan, Mama tak ada di rumah. Ke mana lagi kalau bukan pergi bersama rekannya ke kelab malam. Sedih bercampur geram membuat Lita tak berpikir panjang untuk kembali hengkang dari rumah.

Berbekal tas selempang dan jaket entah punya siapa ia kembali ke Jakarta. Beruntung Papa selalu mengisi saldo ATM-nya meski sudah bercerai dari Mama.

Lita bangkit dari berlututnya di depan ruangan Cipto--pemimpin redaksi di kantor.

"Masih di sini juga?" Cipto sama menggeleng heran dengan karyawan lain. Pria berambut cepak dengan usia berkisar 30-an itu menghela napas panjang.

Lita tertunduk sambil memainkan buku-buku jarinya.

"Duduk di dalam," perintah Cipto seraya menunjuk kursi di dalam ruangannya. "Kamu tahu, kan, kantor ini masih bertumbuh? Bukan kantor media bergengsi seperti tempat papamu kerja."

Lita mengangguk pasrah.

"Kami mana ada duit untuk merekrut wartawan profesional. Untuk biaya produksi saja kesulitan apalagi harus membiayai semua wartawan pelatihan. Kalaupun ada yang gratis, kami bersedia mengirimkan wartawan untuk ikutan." Cipto mengetuk-ngetuk meja sedikit kasar.

"Iya, Pak, maafkan papa saya. Saya janji tidak akan melibatkan orang tua dalam kehidupan pekerjaan saya." Lita masih tertunduk, takut menatap wajah lelaki yang tengah duduk dan meradang.

Ternyata Papa sungguhan mendatangi kantor ini dan mengancam akan menuntut atas kejadian waktu itu.

"Saya ...." Suara Cipto terpotong ketika ketukan pintu terdengar. "Ya?"

"Pak, hari ini siapa yang bertugas liputan aksi demo? Kita kan cuma bertiga. Saya sibuk urus rekap keuangan produksi. Ada 2 wartawan lain, tapi mereka sudah ada agenda lain." Wanita dengan rambut sebahu dan tahi lalat di hidung itu terdengar panik.

Mendengar ada peluang, Lita segera berdiri. "Saya, Pak! Saya siap bertugas hari ini! Saya janji akan berhati-hati dan tidak akan melibatkan Papa lagi," katanya tegas sambil menatap penuh harap.

Cipto mengerjap beberapa kali. "Bener, ya? Aku pegang kata-katamu itu."

"Hah? Serius boleh? Saya boleh kerja lagi di sini?" Bola mata gadis berusia 20 tahun itu berbinar.

"Ya, ya ... sana pergi! Minta Nia menyiapkan kamera dan keperluan lain." Cipto mengibaskan tangan seolah mengusir Lita agar bergegas. Mungkin lelaki itu jenuh mendengar kalimat permohonan Lita sepanjang hari ini.

Nia tersenyum melihat kegembiraan Lita. Gadis itu berlompatan mengekor di belakangnya, membuat Nia tertawa kecil.

***

Yasa sibuk mengamati sekitar. Semua masih terlihat kondusif dan rentetan pasukan keamanan masih ketat menjaga Istana Negara. Lautan manusia makin berjubal dan penuh sesak membawa spanduk. Sesekali terdengar orang berorasi yang berapi-api. Yasa tak yakin situasi ini akan terus berlangsung aman seketika dari ujung jalan ia melihat kumpulan pelajar berteriak ganas sembari menggenggam batu.

Mereka berusaha merusak pembatas jalan dan melempar batu ke arah istana secara brutal. Kedamaian seketika berubah keributan. Kepulan asap dari ban mobil yang dibakar membentuk gumpalan hitam yang membumbung tinggi.

Lalita's DiaryWhere stories live. Discover now