Bagian 29

4K 921 44
                                    

"Apa pedulimu? Kenapa datang ke sini? Mau minta cerai?" Lelaki dengan beberapa luka di wajah itu enggan menatap wanita yang sedang duduk di seberang meja.

Salsa mengeluarkan kotak makan dan sebotol jus jeruk dingin. Sepuluh bulan mendekam di balik jeruji besi tak bisa mengubah sifat keras suaminya. Berkali-kali masuk tahanan khusus karena kerap berkelahi dengan nara pidana lain. Salsa teramat yakin Zuhri sengaja membuat masalah di sini agar bisa meluapkan amarah dengan perkelahian dan puas sampai babak belur. Menyiksa diri sendiri lebih tepatnya.

Salsa bangkit dari bangku, melepas plester luka yang sempat ia bawa dari rumah. Wanita berdress motif bunga mawar merah itu hendak menutup luka di pipi Zuhri. Namun, dengan tidak tahu terima kasih lelaki itu menampiknya.

"Enggak usah sok perhatian. Aku enggak butuh dikasihani."

Salsa mengepalkan kedua tangan di samping badan. "Kalau begitu kenapa kamu tidak menyusul Lita memutus nadinya saja, hah? Mati saja dan tak akan ada lagi yang peduli padamu."

Urat di wajah Zuhri menegang. Ia menatap tak suka pada wanita yang telah membatalkan gugatan cerainya. Lelaki itu tak bisa mengingkari kebaikan Salsa. Istrinyalah yang menemani di meja sidang sampai keputusan hakim ia dapatkan. Salsa pulalah yang rajin besuk seminggu sekali ke rutan.

"Aku cuma mau kita berubah, Mas. Jangan ada lagi peristiwa lain yang mempersulit rumah tangga kita. Cukup Lita saja, jangan ada yang lain. Ajari aku untuk menghargaimu sebagai suami dan mencintaimu." Riak di pelupuk mata Salsa tak kuasa dibendung. Lelehan bening itu membasahi wajah tirusnya.

"Aku sudah cukup merasa bersalah pada gadis itu. Aku enggak nyangka kamu bisa setega itu." Kali ini dengan gerakan kasar Salsa menghapus air mata yang menganaksungai. "Aku pamit."

Wanita itu berbalik hendak berlalu. Namun, genggaman di telapak tangan kanannya membuat ia urung.

"Sal, aku ... minta maaf."

"Cuma perubahan yang bisa membuatku percaya kamu tulus minta maaf, Mas." Salsa melepas genggaman tangan hangat pria itu.

Zuhri terpekur menatap kotak makan dan sebotol jus di meja. Sungguh ia menyesali kekerasan hatinya. Andai mau sedikit bersabar menunggu Salsa sebentar saja untuk mencintainya, mungkin rumah tangga mereka tak seberantakan ini. Andai ia mau sedikit saja menahan luapan emosi saat bibir ranum Salsa mengucap nama Yasa, mungkin Salsa tak akan lari darinya.

Sekarang, wanita itu berbaik hati mengasihani. Namun, hatinya terlalu sombong dan berujung Salsa kembali meninggalkannya.

***

Jendela kamar masih terbuka lebar. Yasa enggan menutupnya meski jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam. Bibir itu tersenyum samar tatkala memori itu kembali menyambangi pikiran. Lita yang memeluk dan mengusap lembut punggungnya.

Itu kali pertama Yasa bisa merasakan kedekatan yang lebih dari ikatan pertemanan. Gadis bermata lebar itu menembus dinding dingin yang ia bangun susah payah. Nyatanya perhatian kecil dan cara Lita membutuhkan keberadaan Yasa membuat hati pemuda itu menghangat.

Kepergian Salsa bukan perkara mudah untuk bisa diterima. Namun, kehadiran Lita seperti air yang menyiram tanah gersang, menghapus luka, dan memberikan kepercayaan bahwa Yasa sanggup jatuh cinta lagi.

Ya, jatuh cinta dengan si gadis ceroboh yang pemalu dan kekanakan.

"Belum tidur?"

Suara Tera membuyarkan lamunan putranya. Wanita itu mengeratkan cardigan di bahu seraya membawa amplop cokelat di tangan kanan.

Yasa menoleh dan menggeleng. Ia hendak menutup jendela saat sang mama justru menghentikan pergerakan tangannya.

"Enggak apa, Mama suka kok merasakan udara malam meski dingin," ucap Tera diiringi kedikan bahu. "Untukmu, tapi Mama enggak maksa kamu mau."

Lalita's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang