Bagian 9

4.4K 1K 49
                                    

Jakarta selalu padat meski waktu terus bergulir dan menunjukkan pukul sembilan malam. Satu lampu merah lagi, laki-laki yang tengah bosan berkendara itu sampai di kantor media sang papa. Ia menyangga kepala dengan tangan kanan yang bersandar ke jendela mobil. Swiper di kaca mobil bergerak ke kiri dan kanan seiriama rintik hujan yang tak begitu lebat.

Manik beralis tegas itu melirik ke arah ponsel di kursi sebelah kemudia. Benda pipih itu tampak bergetar dan berkedip dua kali. Sembari menunggu lampu lalu lintas berubah hijau, Yasa meraihnya.

Apa kita bisa bertemu? Sekali ini saja.

Deretan pesan itu hanya membuat Yasa mengembuskan napas panjang. Nomornya tak asing. Ia sudah lama menghapus dari daftar kontak sejak setengah tahun yang lalu. Namun, meski sudah dimusnahkan, siapa pula manusia yang bisa melupakan seseorang yang pernah menoreh luka batin mendalam. Malas membuat perkara lebih panjang, Yasa menghapus pesannya dan melempar kembali ponsel ke kursi. Ia bergegas melajukan mobil begitu lampu hijau menyala.

***

Juan mengetuk-ngetukkan jemari di atas meja rapat. Beberapa kertas tampak terserak di atas meja panjang itu. Sesekali lelaki berkacamata itu memperbaiki posisi duduk lalu menatap jam di dinding yang terus bergerak. Ia cukup gelisah semenjak pagi tadi mantan istrinya menyapa di akun WhatsApp dan mengatakan telah sampai di rumah. Juan cukup yakin putrinya akan bersitegang dengan sang mama.

"Tumben dari tadi duduk kayak kodok. Bentar-bentar lompat." Tera berucap sembari menulis sesuatu di buku agendanya.

Bela menyeret kursi yang ia duduki ke samping, mendekat pada Tera. "Mantan bini hadir kembali."

Tera berjengit. "Hah? Lianti pulang ke Jakarta?"

"Biasa aja kali. Dari dulu juga gitu. Bilangnya udah cerai tapi bentar-bentar nyamper," sindir Bela sambil menyenggol bahu Tera mesra.

"Sok tahu." Juan menimpali. Ia bersandar malas pada tepi meja dan menyangga kepala dengan sebelah tangan. "Kalau enggak ada anak juga enggak bakalan kayak gini keadaannya."

Suara ketukan pintu menghentikan obrolan. Yasa menunjukkan dua jari pertanda damai dan mohon maaf atas keterlambatannya. "Macet," keluhnya berhias senyum.

"Dari dulu Jakarta macet, Yas." Bela bangkit lalu membuka kulkas di pojok ruangan. Ia menyodorkan sekaleng Cola pada pemuda yang baru saja hadir di acara lembur malam ini.

"Makasih," ucapnya lirih.

"Aih, dapat ucapan terima kasih doang dari anaknya Pak Sam kenapa aku berbunga-bunga," canda Bela. Ia terkekeh-kekeh.

Juan menatap serius pada putra sulung Sam yang sedang duduk sembari menyugar rambut ke belakang. Ia hampir bertanya mengenai Lita saat ponsel di sisi laptopnya bergetar meminta perhatian. Nomor rumah menelepon. Ada apa ini?

"Iya?" Juan mengangkat telepon.

"Tuan, Non Lita belum pulang. Tadi berantem sama Nyonya." Suara Mbok Yus terdengar bergetar. Sepertinya wanita tua itu secemas Juan ketika mendengarnya.

"Lita enggak pamit mau pergi ke mana?"

"Enggak, Tuan. Nyonya sedang mencari juga."

"Ya sudah, aku pulang bentar lagi, Mbok," pungkas Juan lalu menekan ikon merah untuk mengakhiri panggilan. Ia mengusap wajah frustrasi.

"Apa yang terjadi?" Tera mengerjap.

"Lita kabur lagi. Lama-lama aku stres juga ngadepin anak cewek satu kabur-kaburan gini." Juan mematikan laptop.

"Untung Dik Yas--oi, mau ke mana, Boy?" Ucapan Bela terpotong saat tiba-tiba Yasa tergesa bangkit dan pergi begitu saja sambil membawa kaleng minuman soda pemberiannya.

Lalita's DiaryWhere stories live. Discover now