Bagian 25

4.2K 920 93
                                    

"Hanya terapi dan dukungan keluarga terdekat yang bisa membuatnya bangkit, Pak."

Keterangan wanita berusia 50 tahun dengan jas putih itu menampar batin Juan dan Lianti. Orang tua mana yang tak sakit melihat putrinya yang jatuh di lembah kegelapan?

Juan hampir tak percaya dengan apa yang telah menimpa putrinya. Lelaki itu mendongak, menatap langit-langit ruangan dokter dengan mata memerah dan terasa panas. Dada Juan terasa sesak. Berkali-kali ia menarik napas, tapi tetap udara yang dihirup serasa tak cukup melegakan hatinya.

Ibu dari sang putri menangis hebat, bahunya bergetar sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Hatinya terkoyak saat harus dipaksa menerima kenyataan Lita menjadi korban kebejatan laki-laki tak bertanggung jawab.

"Ibu, saya butuh bantuan Anda untuk menguatkan Lita. Segera berikan obat yang saya resepkan untuk menghindari hal buruk lain yang bisa menambah risiko depresi dan gangguan psikis lain, mengingat putri Anda sudah pernah berusaha melukai dirinya karena trauma. Selalu tenangkan dia saat mulai merasa cemas."

Lianti menarik napas dalam, mengangguk seraya menghapus lelehan air mata yang tak bisa ia bendung.

"Terima kasih, Dok." Juan memapah istrinya keluar ruangan.

Keduanya berjalan limbung seperti hilang arah. Langkah kaki terasa berat menuju kamar rumah sakit di mana Lita terbaring.

***

Kemeja putih lelaki itu masih penuh noda merah yang mulai mengering. Rasa bersalah terus menggerogoti dadanya. Batinnya terus merutuki diri yang lengah. Terlalu tolol, begitu ia menyebut diri sendiri.

Juan mendekat, duduk di kursi kosong sebelah Yasa di depan kamar putrinya. "Belum pulang?"

Yasa masih terdiam. Ia duduk bersandar sembari menatap jajaran lantai rumah sakit. "Tunggu Lita bangun, Om."

Juan tersenyum samar lalu mendesah lelah. "Pulanglah. Kehadiranmu di depan Lita hanya membuatnya semakin menyalahkan diri sendiri. Dia tak mungkin sanggup menemuimu. Mengertilah."

Yasa terdiam. Ia tak punya banyak kata kecuali menyesali kelalaiannya. "Aku ... minta ...."

"Bahkan kata maaf saja tak cukup menyembuhkan luka batin putriku satu-satunya," potong Juan cepat. "Pulanglah. Aku dan mamanya Lita masih sanggup berjaga di sini."

Lelaki paruh baya itu bangkit meninggalkan Yasa sendirian. Yasa menghela napas panjang seraya menumpukan kedua siku di atas lutut. Kedua tangannya meremas rambut. Dadanya berdegup kencang. Ingin sekali berteriak sampai suaranya habis. Bahkan sampai pita suara putus pun tak bisa melonggarkan rasa lega dalam hatinya. Kalau boleh, ingin ia bunuh saja saudara sialan yang telah menenggelamkan Lita dalam kubangan sakit yang tak berujung.

Yasa berlalu dengan kedua tangan terkepal, membawa amarah yang siap membeludak. Ke mana pun Zuhri pergi akan ia bawa kembali untuk memukulinya sampai mati.

***

Cahaya putih yang menimpa wajah Lita teramat menyilaukan. Perlahan mata gadis itu membuka. Ia sama sekali tak ingat sedang berada di mana. Yang Lita tahu saat bangun, pintu di depan tempat tidurnya sedikit terbuka.

Kedua telapak kakinya turun dari ranjang, merasakan dinginnya lantai yang menusuk sampai ke tulang. Bayangan lelaki tampak lewat di depan kamar, membuat Lita segera bangkit menghampiri.

"Yasa?" panggilnya diiringi senyum dan mata membulat ceria.

Namun, saat pintu itu terbuka sepenuhnya, ruangan di hadapan kamar itu kosong. Sayup-sayup terdengar seringai tawa. Cahaya terang meredup bersamaan dengan sosok lelaki bertato yang datang menghampiri. Lita melangkah mundur.

Lalita's DiaryWhere stories live. Discover now