Bagian 26

4.2K 968 117
                                    

Zuhri terseok-seok. Darah terus membanjir melalui pelipis yang sobek, hidung, dan kedua sudut bibir. Sebelah pipinya membengkak dan lebam membiru. Namun, kondisinya yang sedemikian mengenaskannya tak lantas mengundang simpati lelaki berkemeja denim yang terus mencengkerang kerah leher bagian belakang dan menyeretnya sampai di depan kantor polisi.

Sam beringsut mengambil alih, khawatir emosi putranya kembali membeludak dan mengesampinkan logika. "Kamu duduk. Biar Papa yang bawa masuk."

Yasa masih bergeming dan mempererat cengkeraman.

"Yasa ...." Suara lirih itu mendekat. Perempuan berwajah keibuan itu perlahan menyentuh lengen putranya sembari menatap penuh permohonan.

Cengkeraman itu mengendur, membuat Zuhri yang tak kuat lagi berdiri tersungkur ke aspal. Yasa menampik tangan Tera dan berjalan mendahului orang tuanya masuk. Tangan kirinya meremas gulungan kertas yang tak lagi rapi dan flasdisk bertali biru.

Sosok lelaki berkacamata di dalam sebuah ruangan pelaporan membuat Yasa ragu melangkah. Namun, ia berusaha menguatkan hati bahwa ini adalah cara terakhirnya untuk menebus rasa bersalah. Setidaknya lelaki paruh baya yang sedang duduk di meja pelapor itu mau sedikit membuka maaf untuknya meski ke depan Yasa tak diizinkan lagi menemui Lita.

Yasa meletakkan barang bukti ke meja, membuat Juan dan seorang polisi di ruangan itu menatapnya. Ia tak banyak bicara, hanya terdiam menatap Juan penuh harap. Beberapa detik tak ada tanggapan dari papa Lita membuat Yasa berbalik badan, hendak berlalu bersamaan dengan kedua orang tuanya memapah tersangka yang tak berdaya. Zuhri mengerang sembari duduk di kursi.

"Temui Lita sebelum Om membawanya pergi," sergah Juan, menghentikan langkah Yasa. "Dia ingin bertemu."

Yasa mengangguk. Ada sedikit kelegaan meskipun nanti ia harus rela melepas Lita. Gadis itu berhak menentukan pilihannya, termasuk bila harus memilih menjauh dari kehidupan Yasa. Namun, dalam diam Yasa tetap mengingat janji mereka yang sempat terucap dan tertulis dalam memori ponsel gadis itu.

***

"Kita bisa buka kafe di depan rumah. Kecil-kecilan saja. Nanti kita bertiga gantian jaga di meja kasir, ya?" Lianti tersenyum seraya mengupas kulit jeruk. Wajah wanita itu masih sembap. Diam-diam saat putrinya tertidur, air mata kepedihan selalu tumpah ruah.

"Memangnya Mama bisa masak?" Lita menghentikan kunyahan buah berasa sedikit masam yang membuat sebelah matanya menyipit.

"Kita ajak Mbok Yus sama Bi Inah buat jadi koki." Lianti tergelak.

Semalam Lianti dan Juan memutuskan akan membawa Lita kembali ke Jogja. Keduanya sepakat resign dari kantor dan berusaha memulai hidup baru untuk mengganti waktu kebersamaan keluarga yang terbuang dan mendampingi Lita menerima masa lalunya.

"Aku mau Mama berhenti minum kalau lagi stres." Lita memicingkan mata seraya menyingkap selimut dan menurunkan kaki dari ranjang pasien.

Wanita dengan rambut terjepit ke atas itu mengacungkan dua jari. "Oke, Cantik! Mama janji berhenti minum. Biarkan saja Tante Daniela yang minum-minum sendiri."

Lita tersenyum simpul.

Ponsel di dalam tas tangan Lianti berdenting sekali. Perempuan itu segera menghampiri sofa di dekat jendela. Raut wajah Lianti tampak berubah. Ia menghela napas panjang sembari menatap Lita yang berjalan ke sisi jendela. Plester di punggung tangan kirinya baru dilepas sejam yang lalu dan sore ini akan segera pulang.

Ibu satu anak itu menggigit bibir. Berusaha memilih kata yang tepat pada putrinya. "Lita," katanya pelan, "Yasa mau menemuimu."

Manik mata yang semula menatap langit melalui jendela itu mengerjap. Gadis berpiama rumah sakit itu membuang napas sebelum akhirnya tersenyum dan mengangguk. Namun, dari tatapan itu, Lianti bisa melihat betapa sorot matanya meredup penuh kesedihan saat mendengar nama kekasihnya disebut.

Lalita's DiaryWo Geschichten leben. Entdecke jetzt