Penunggu Jalan Tembus Stasiun

8.3K 343 4
                                    

Waktu itu memang terlalu larut untuk mahasiswa pulang kembali ke Kosan. Namun demi membawa nama Jurusan agar menjadi juara di ajang Pertemuan Tahunan (kini lebih dikenal dengan nama Petang Kreatif), Saya dan teman-teman saya rela pulang terlalu malam untuk berlatih teater.

Di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya memang unik. Mereka mempunyai cara sendiri untuk menonjolkan kebolehan tiap jurusan dalam mendidik juniornya. Bukan dengan cara kasar, apalagi kekerasan Fisik. Disini para senior melatih mahasiswa baru untuk bermain dan bekerja sama mementaskan sebuah penampilan teater. Nantinya pada ujung semester pertama untuk Mahasiswa Baru mereka akan diadu kebolehannya dalam bermain teater di ajang Pertemuan Tahunan. Pemenangnya tentunya mendapatkan kebanggan tersendiri dan rasa haru yang luar biasa.

Zaman saya masih mahasiswa mungkin tidak seperti sekarang yang sangat mudah mendapatkan fasilitas kendaraan dari orang tuanya seperti motor maupun mobil. Fasilitas Bis Kuning kampus juga hanya terbatas hingga jam 8. Terpaksa jika kita pulang lebih dari jam tersebut, Biasanya kita pulang bersama-sama teman yang satu arah.

Hampir setiap hari saya dan ketiga teman saya pulang dari FIB tempat kami berlatih teater menuju gang Kober demi mempersiapkan pementasan kami. Untuk menuju gang Kober, kami biasa melewati hutan yang menjadi jalan pintas menuju Stasiun UI dari FISIP UI (sekarang hutan di sebelah utara telah berubah menjadi kandang rusa). Kami biasa pulang sekitar jam 12 hingga jam 3 subuh tergantung dari seberapa besar kemampuan kita pada saat itu. Namun selama 3 bulan kami berlatih untuk persiapan pementasan, ada 1 hari yang masih teringat jelas di kepalaku.

Malam itu saya tidak mengira sesuatu yang buruk akan terjadi. Berkali-kali kami melewati jalan tembus Stasiun UI memang terasa mengerikan, namun hal tersebut menjadi biasa karena hampir setiap hari kita lewati. Jam tanganku menunjukan pukul 01.51 tengah malam. Latihan teater baru saja selesai dan kami ber-empat bergegas pulang melewati jalan tembus.

Saya, Fino, Adit dan Taufik berjalan seperti biasa menuju jalan tembus, biasanya kami selalu mengobrol ataupun bercanda di tengah perjalanan, tujuannya tidak lain memecah keheningan agar di perjalanan tidak begitu membosankan. Namun kali ini kami ber-empat hanya diam saja sepanjang perjalanan. Mungkin kami semua lelah karena latian teater tinggal beberapa pertemuan lagi dan kami sebagai maba harus tampil ekstra keras untuk mendapatkan juara itu.

Adit memimpin di depan, dia memang memiliki langkah yang lebih panjang dibandingkan dengan kami semua. sesaat kita memasuki jalan pintas tersebut, udara yang lebih dingin selalu terasa seperti biasa, begitupula dengan bulukuduk berdiri juga sudah biasa, toh selama ini kami tidak pernah menemukan apa-apa, apalagi kami ber-empat. Namun persis di tengah-tengah jalan tembus tersebut Adit menghentikan langkah kakinya, mendangakan kepalanya keatas, bengong sambil menyiapkan diri untuk kabur.

"Se... Se... SETAAANN.....!!!!"

Adit berteriak dan berlari ke belakang melewatiku, saya dan teman-teman lainnya pun mengikuti sambil berteriak tidak karuan ke arah FISIP. Fikiranku sudah tidak jelas, rasanya hampir saja aku ngompol karena ketakutan. Kami berlari ketakutan tanpa tujuan, untungnya di dekat FISIP kami bertemu rombongan kakak kelas kami yang selesai rapat membahas latihan teater kami.

Muka saya pucat, begitupula dengan yang lainnya. Jantung masih berdebar, nafas ngos-ngosan, kaki dan tangan pun gemetar. Padahal pada saat Adit berhenti mendadak, aku langsung menunduk kebawah karena takut melihat ada sesuatu di depan sana. Yang dilihat Adit, Fino dan Taufik ialah sosok seperti Genderuwo berwarna putih sebesar pohon sambil goyang-goyang, konyolnya Adit justru malah menatap wajah dari Genderuwo tersebut.

Semenjak kejadian itu, aku tidak pernah berani melewati jalan tembus tersebut di malam hari meski bersama-sama teman.

by nikkocute

Horror StoryWhere stories live. Discover now