|Part 5| Empat Mata

1K 212 20
                                    

Boleh jadi, apa yang kamu anggap baik
Belum tentu sebuah kebaikan yang benar
Bisa berubah setiap saat
Dan waktu yang tak pernah kamu bayangkan.

Persepsi kita pada suatu hal memang terkadang tak benar. Terkadang apa yang kita anggap baik, belum tentu sebuah kebaikan yang benar-benar dilakukan. Kebaikan seseorang terkadang di salah gunakan untuk melakukan sesuatu hal yang seharusnya tak pernah dilakukan. Berujung pada tekanan dan menyakiti perasaan seseorang. Memang benar, jika kepribadian seseorang merupakan topeng dari wujud yang pernah kita kenali sebelumnya.

Hembusan angin malam begitu dingin ia rasakan. Menyapa dirinya yang sedang asik menikmati pemandangan malam di taman depan rumahnya. Ia hanya sendiri, karena ia menginginkan ruang kesendirian untuk menenangkan diri. Kejadian tadi membuat ia tak paham. Tak paham akan sikap kedua pria yang ia sayang. Kenapa begitu cepat berubah? Hanya butuh waktu tujuh belas tahun dan semuanya seolah asing untuk ia rasakan di kehidupannya. Tak ada lagi canda tawa, dan keceriaan yang ia rasakan dari kakaknya. Sesuatu yang asing seolah menghempaskan sifat asli sang kakak kepadanya.

"Suatu hari nanti waktu pasti akan menjawab semua pertanyaan yang aku punya saat ini," ucap Prima sembari menatap ke atas langit yang saat ini cerah.

Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. Udara dingin semakin ia rasakan, tapi tak ada satu pun niat untuk berhenti memandang. Berada di situasi seperti ini membuat ia berpikir keras. Menyimpan semua pertanyaan yang ada di dalam dirinya secara sendirian. Tak ada teman dan penghibur malam. Semua terasa asing dan membuat ia semakin terpojok dalam keluarga yang tak ia kenal akan seperti ini.

"Boleh mama bicara sebentar?" Pertanyaan dari seseorang membuat Prima menoleh dan langsung melihat siapa yang tengah duduk di sampingnya. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dengan piyama tidurnya.

"Boleh, ma. Ada apa?"

"Apa kamu senang tinggal bersama kami?" tanya Rina dengan mata yang terpusat pada halaman rumah yang ditumbuhi pepohonan dan bunga-bunga cantik.

Prima menoleh tepat ke arah Rina. "Situasi yang aku harapkan terjadi saat ini. Jadi Prima bersyukur bisa berkumpul lagi sama bapak dan kakak."

Rina terdiam. Diamnya wanita itu membuat Prima menatapnya dari samping. Wanita yang ada di sampingnya ini memang sangat cantik. Walau sudah tua, tapi gaya dan tubuhnya seperti orang muda saja. Prima yakin, bahwa pilihan sang papa memang yang terbaik. Ia tak mempersalahkan kedatangan orang baru dalam keluarganya, karena menurutnya fase kehidupan itu harus terus berjalan. Apa pun yang tak kita sukai, mau tak mau kita harus sukai begitu juga sebaliknya. Awalnya ia tak suka, namun mungkin ini takdir dari kehidupannya.

"Mama senang kalau Prima tinggal di sini?" tanya Prima membuat Rina menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk di artikan.

"Awalnya saya senang, tapi ketika melihat kamu seperti ini saya ilfiel punya anak sambung norak kaya kamu. Tapi mau tidak mau, saya harus akui kalau saya harus menerima kamu di keluarga saya. Saya mencintai papa kamu, jadi saya juga harus sayang sama kamu dan Farel. Untuk sekarang, saya hanya anggap Farel sebagai anak saya, bukan kamu," balas Rina membuat Prima tersentak dengan jawaban mama tirinya.

"Tapi kenapa?" tanya Prima membuat Rina memalingkan wajahnya.

"Kamu sadar tidak? Gaya kamu ini yang buat saya malu anggap kamu sebagai anak. Gaya kamu kaya pembantu. Pakai daster ketika mau tidur. Kamu pikir, bapak kamu gak malu apa? Dia orang kaya, masa anaknya gini?" tanya Rina dengan tatapan yang seolah-olah jijik.

Milenial VS Old Style (Completed) Where stories live. Discover now