|Part 26| Bullying

800 162 52
                                    

Belajarlah dari bulu ketek
Walau posisi terhimpit, dia masih bisa tumbuh dengan tegar.

Bulu ketek walau terhimpit di lengan nyatanya tetap tumbuh dan terus menerus ada di tempatnya. Filosofi itu mengajarkan kita bahwa sebesar apa pun masalah, terhimpitnya diri kita di masalah, yakinlah bahwa kita harus tegar dalam menghadapi itu semua. Tak ada masalah yang tak terselesaikan tanpa kita lalui, tak ada kebahagiaan jika kita masih terjebak dalam masalah diri. Keluarlah maka kamu akan menemukan segalanya.

Dulu ia kira, tak ada lagi yang mengerti dirinya. Dulu ia kira hidupnya akan hampa tanpa teman dan keluarga. Awal ia datang ke Jakarta, tak ada satu pun keluarganya yang menginginkan dirinya membuat ia putus asa akan kehidupannya. Namun itu dulu, pikiran masa lampau yang membuat ia terpaku satu titik tanpa arah tujuan. Sekarang berbeda lagi pembahasan. Senyum terus mengembang. Hatinya seolah-olah berbunga-bunga kala ia menemukan seorang pria yang begitu mengerti juga mempunyai masalah seperti dirinya. Nyaman? Mungkin hanya perihal kata, namun di hati ia rasakan. Dari Panji ia belajar bahwa dalam hidup harus ada ketegaran.

Lorong sekolah ia lalui dengan senyuman yang terus menghiasi wajahnya. Sepanjang lorong itu pula banyak sekali murid yang melihat dirinya sembari melihat ponsel yang ada di tangan mereka masing-masing. Ada tatapan tak suka yang timbul dari mereka, namun tidak di sadari oleh Prima. Prima hanya fokus melangkahkan kakinya sampai ia tak memperhatikan sekelilingnya.

"Lihat, deh. Udah kampung, kegatelan lagi," ujar salah satu siswi kala Prima berjalan di hadapannya.

Seketika senyum itu lenyap. Ia kemudian menghentikan langkahnya. Ia membalikkan badannya menghadap salah satu siswi yang menghina dirinya. Jika ia di hina kampung, ia tak masalah. Namun jangan salah sangka bila dirinya dihina ia akan baik-baik saja. Ia tak suka jika seseorang menghina dirinya dengan kata-kata yang tak benar seperti itu.

"Siapa?" tanya Prima pada siswi yang kemudian menyilang-kan kedua tangannya di depan dada.

"Lo, lah! Siapa lagi yang lewat di depan gue kalau bukan lo?" Siswi itu tampak menatap Prima dengan tatapan tak suka.

"Kamu boleh bilang aku kampung, tapi jangan pernah merendahkan aku. Kamu bukan siapa-siapa, dan kita gak saling kenal," balas Prima menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada wanita yang sudah menghinanya.

Tak selamanya yang kita lihat adalah sebuah fakta. Kita tak boleh menghina padahal kita tak tahu sebenarnya itu apa. Kita bisa berbicara namun jika fakta itu sudah jelas dan memang ada di dalam dirinya, namun jelas-jelas Prima bukan orang yang seperti itu. Bahkan para siswa dan siswi hanya bisa melihat Prima yang menegur salah satu siswi yang ada di hadapannya. Semuanya nampak tak membela Prima.

"Udah, gasak aja!" seru salah satu siswi berusaha memanaskan suasana.

"Siapa yang gak kenal lo? Cewek udik, kampung, gak jelas, kegatelan, jalang semuanya ada di lo. Baru juga anak baru, tapi udah berani sikat cogan," cibir siswi itu membuat Prima mengepalkan tangannya.

Tatapan siswi itu kemudian terarah pada tangan Prima yang sudah mengepalkan tangannya. "Kenapa? Gak suka?"

"Jangan hina seseorang karena fisik dan penampilannya. Yang cantik juga belum tentu sempurna kok. Orang itu akan sempurna kalau bisa jaga omongannya," ujar Prima sembari menunjuk muka siswi itu membuat siswi itu tampak emosi karena ucapan Prima.

"Jadi menurut lo gue gak cantik?"

"Buat apa cantik? Kalau omongannya gak bisa di jaga?"

Milenial VS Old Style (Completed) Where stories live. Discover now