Bab 10

501 140 146
                                    

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih seminggu, pasukan Eric akhirnya tiba di hutan perbatasan wilayah Kilead. Karena hari sudah mulai gelap, sang kesatria pun memerintahkan pasukannya untuk mendirikan tenda di situ.

Sementara itu, Borin yang berniat buang air pergi meninggalkan perkemahan untuk mencari tempat sepi di dalam hutan. Sinar lembut sang rembulan menembus celah dedaunan, menggantikan terik mentari yang baru saja lingsir ke peraduannya. Suara binatang-binatang malam pun mulai terdengar. Ditambah gemeresak daun kering yang tertiup angin, suasana jadi terasa agak mencekam bagi Borin. Entah mengapa, ia merasa ada sosok lain yang sedang mengawasi. Bulu kuduknya sontak terasa meremang.

Usai menyelesaikan urusannya, Borin berniat untuk segera pergi. Namun, baru saja hendak melangkah, ia dikejutkan oleh sesosok serigala besar berbulu keperakan yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya. Sambil menggeram, binatang itu memamerkan taringnya yang tajam berliur.

"T-TOLOONG!" Borin sontak berteriak dan segera mengambil langkah seribu. Sementara itu, sang serigala mulai melompat menerkam.

Diselimuti kegelapan malam, Borin lari pontang panting menerobos rapatnya ranting pohon dan melompati akar-akaran. Dalam waktu singkat, wajahnya yang bulat pun basah bercucuran keringat. Bayangan dirinya saat dikejar harimau beberapa bulan yang lalu di pulau Amui terlintas kembali dalam benaknya. Namun, kali ini ia sendiri. Tak ada Peter, Anna, Susan, apalagi Pogna yang dapat membantu.

Apakah aku akan mati sekarang? pertanyaan itu seketika terlintas dalam benaknya.

Ketika seekor serigala saja sudah membuat Borin ketakutan setengah mati, kini malah muncul dua ekor lagi dari sisi kiri dan kanannya. Borin pun tak memiliki pilihan selain berlari sekuat tenaga, masuk lebih dalam menembus rimbunnya hutan.

Setelah berlari begitu jauh, Borin merasa staminanya terkuras habis. Kedua kakinya pun terasa kebas. Namun anehnya, ketika kecepatan larinya sudah begitu pelan, serigala-serigala itu tidak menerkam, bahkan justru ikut melambat. Hingga akhirnya Borin tak kuat lagi dan jatuh tersungkur ke tanah. Anak itu tak sanggup berpikir apa pun lagi. Ia pasrah.

Serigala-serigala itu mendekati tubuh Borin yang tergolek lemah di tanah. Namun, alih-alih menerkam dengan cakar dan taring mereka, ketiganya justru menjilati tubuh Borin dan melompat-lompat seperti kegirangan. Borin hanya bisa melongo tak mengerti.

"Borin? Kau kah itu?" Suara seorang wanita tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunan Borin yang masih terduduk keheranan. Anak itu pun menoleh ke arah sang sumber suara.

Sesosok wanita paruh baya berambut cokelat bergelombang tampak berdiri di sana, bersama dengan seorang lelaki cebol berjenggot di sampingnya. Tanpa menunggu lama, sang wanita segera berlari menghambur ke arah Borin lalu menangkupkan kedua tangan di pipi pemuda itu. Sang wanita lalu menggerakkan kepala Borin ke kanan, kiri, atas dan bawah, seperti sedang menyelidiki dengan seksama.

"T-tu-nngh-u, s-sia-ph-a kh-au?" Suara Borin terdengar tak jelas karena pipinya yang tertekan.

Alih-alih menjawab, wanita itu justru tertarik ketika melihat sebuah sapu tangan yang tersembul dari balik baju Borin. Matanya berbinar ceria.

"Lihat sapu tangan ini?! Dia memilikinya! Dia Borin! Dia benar-benar Borin! Dia anak kita!" Wanita itu berseru memanggil sang pria cebol, yang langsung berlari tergopoh menyusul istrinya.

Mendengar itu, Borin sontak terkaget-kaget. Wanita yang memelihara serigala, beserta seorang pria cebol berjanggut tebal adalah orang tuanya? Sebuah fakta yang tak mudah diterima dengan akal sehatnya.

"Ayo, ikutlah ke rumah." Sambil tersenyum, sang wanita mengulurkan tangannya untuk membantu Borin berdiri.

"Perkenalkan, namaku Wanda Alona, ibumu. Dan ini Glarmarck Durdoir, ayahmu," ujar wanita itu memperkenalkan diri, sementara Borin berjalan sambil melongo keheranan.

Putra Penyihir : Fajar Kegelapan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang