Bab 14

475 128 132
                                    

Peter dan Zalika berjalan beriringan menyusuri jalanan Kota Bergstone hingga tiba di pasar. Meski panas dan berdebu, suasana pasar sangat ramai oleh penjual dan pembeli yang saling bertransaksi. Untuk mengurangi teriknya sengatan sinar mentari, ada kain yang sengaja dibentangkan di atas, terikat antara dua bangunan yang saling berseberangan, menghasilkan bayang-bayang yang sedikitnya mengurangi intensitas panas.

"Aku akan mentraktirmu makan. Aku tahu kau pasti masih lapar," ujar Zalika sambil tersenyum.

"T-tidak." Peter berusaha berbohong. Ia merasa tak enak harus merepotkan putri penguasa wilayah.

"Kau tidak bisa membohongiku. Ayo!" Tanpa mempedulikan lagi reaksi Peter, Zalika langsung melangkah menyusuri jalanan ramai di pasar Bergstone. Peter pun tak memiliki pilihan selain mengikutinya.

Zalika berjalan ke arah seorang penjual makanan di pinggir jalan, lalu memesan satu untuk Peter. "Makanlah. Kau pasti suka."Makanan itu berbentuk seperti gulungan dengan isian daging dan sayur di dalamnya.

"Terima kasih," sahut Peter. Sedikit ragu, ia pun memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.

"Enak juga," sahut Peter dengan mulut penuh.

"Ssh ... jangan berbicara saat makan." Zalika mengingatkan dengan meletakkan telunjuknya di bibir.

Mendengar teguran dari sang putri, Peter pun menutup mulut lalu melahap makanannya hingga tak bersisa. "Lezat sekali," gumamnya. "Apa nama makanan ini?"

"Namanya kendap," sahut Zalika sambil menyerahkan satu keping koin perak pada sang penjual.

"Lalu apa rencanamu setelah ini?" Zalika bertanya sementara Peter menenggak minuman dari kantong airnya.

"Kembali berlatih ... mungkin," sahut Peter. Di kota yang asing itu ia memang tidak memiliki aktivitas lain. Sebuah hal yang bagus untuk membantunya berkembang dengan lebih pesat.

"Boleh aku ikut?" tanya Zalika. "Sudah lama aku ingin melihat ilmu sihir."

"Err ... b-boleh saja. Tapi aku akan berlatih di padang pasir. Apakah kau—"

"Tak masalah! Ayo!" Tanpa basa-basi, Zalika langsung menarik tangan Peter, membawanya berlari menyusuri kota menuju pintu gerbang.

Huh, kenapa gadis ini selalu menarikku sesuka hatinya, gerutu Peter dalam hati. Namun ia tetap mengikutinya tanpa perlawanan.

Di dekat tembok kota, ada unta-unta tertambat yang bisa disewa, lengkap dengan pelana terpasang dan kantong-kantong persediaan air. Zalika segera melompat ke salah satunya, lalu menyuruh Peter mengikuti tindakannya.

"Hei, tunggu!" teriak sang empunya unta. Tanpa sepatah kata, Zalika melemparkan sekantong uang—guna membungkam mulut pria yang tadi berteriak—lalu memacu sang binatang gurun berderap keluar dari kota.

Padang gurun seluas pandang segera menyambut di balik kokohnya tembok kota. Angin gurun yang kering, disertai debu pasir berterbangan membuat Peter sedikit terbatuk-batuk. Sementara itu, Zalika sendiri sudah lebih siap dengan menutup hidungnya menggunakan cadar. Saat itu, meski sudah lewat tengah hari, sinar mentari terik masih menyengat, memaksa Peter menggunakan kain untuk menutupi kepalanya.

Beberapa saat berjalan, Peter mulai membuka percakapan. "Mengapa kau memilih menggunakan unta yang disewakan? Bukankah di kastelmu banyak unta?"

"Orang tuaku takkan mengizinkan aku pergi keluar dari kota," sahut Zalika enteng. 

Mendengar jawaban itu, Peter pun menyadari bahwa sosok putri Bergstone sama sekali bukan tipe gadis bangsawan kebanyakan yang manja dan penurut. Di balik paras cantiknya, tersembunyi jiwa petualang yang tak mudah dikekang.

Putra Penyihir : Fajar Kegelapan (END)Where stories live. Discover now