Bab 8

509 141 122
                                    

Setelah menempuh perjalanan melintasi banyak kota, Peter dan Ronald akhirnya tak jauh lagi dari Bergstone. Keduanya menunggangi kuda menyusuri Sungai Hesa yang membelah gurun dan menjadi sumber kehidupan masyarakat di sana. Lebarnya yang mencapai seratus meter tak pernah kering sepanjang tahun. Bermacam vegetasi pun tumbuh di sepanjang tepinya, menjadi peneduh di tengah teriknya gurun pasir.

Setibanya di perbatasan Kota Bergstone yang dikelilingi tembok batu tinggi, Ronald berjalan mantap melewati gerbang. Karena tidak ada yang mencurigakan dari kedua pendatang itu, para penjaga gerbang pun tampak tak acuh.

Dari pengamatan sekilas, suasana di Kota Bergstone sama ramainya seperti Fortsouth. Meski udara panas serta berdebu, para warganya seolah sama sekali tidak terganggu. Mereka seperti sudah terbiasa dengan iklim semacam ini. Semua orang mengenakan penutup mulut dan kerudung di kepala untuk mengurangi teriknya pancaran panas dari sang surya.

Melintasi jalan berbatu, Ronald terus melangkah menuju kastel Bergstone. Ia tampak cukup mengenal seluk beluk kota terbesar di gurun itu. Meski sedikit penasaran, Peter urung menanyakannya pada sang guru.

Beberapa menit berjalan, mereka akhirnya tiba di sebuah bangunan megah berdinding batu sewarna pasir. Puncak-puncak menaranya menjulang angkuh bak menantang sang penguasa langit. Peter merasa begitu kerdil di hadapan sebuah pintu kayu besar yang berdiri gagah, membatasi dirinya dengan kediaman sang penguasa. 

Mengabaikan muridnya yang masih terpana, Ronald langsung melangkah menghampiri salah seorang penjaga yang sedang bertugas.

"Sampaikan pada Tuanmu, Ronald Alane ingin bertemu."

Mendengar itu, sang penjaga bergegas pergi meninggalkan gerbang untuk menyampaikan pesan Ronald pada Tuan Edgar, sang penguasa wilayah.

"Ingatlah untuk tetap bersikap sopan. Ia tak akan segan untuk memenjarakanmu jika sampai kau menyinggung perasaannyaa." Ronald berpesan pada Peter yang segera menganggukan kepala.

Tak lama menunggu, sang penjaga pintu pun kembali untuk menemui Ronald. "Masuklah, Tuan Edgar bersedia bertemu."

Setelah mendapat izin, keduanya pun melangkah mengikuti sang penjaga melewati  halaman kastel yang ditumbuhi berbagai macam tanaman unik seperti kaktus, kurma, dan zaitun. Keunikan yang sempat membuat Peter terpesona untuk sesaat.

"Silakan, Tuan Edgar sudah menunggu," ujar sang penjaga setelah membawa kedua tamunya ke pintu depan kastel. 

Ronald dan Peter pun masuk ke sebuah ruangan mirip aula yang cukup besar. Pada zaman itu, sebuah kastel umumnya memang dilengkapi semacam ruang serbaguna tempat sang tuan rumah mengadakan jamuan ataupun menemui tamu. 

Seorang pria tua berambut abu-abu sebahu tampak duduk di ujung ruangan. Secara sekilas, Peter merasa garis wajahnya memiliki kemiripan dengan Ronald. 

"Selamat pagi ... Kakak," sapa Ronald setelah ia berdiri di hadapan Edgar.

"Selamat pagi," sahut Edgar sambil tersenyum. "Kira-kira apa yang membuat adikku bersedia datang jauh-jauh kemari? Rindu dengan kakakmu ini? Atau hanya mampir sejenak sebelum berkunjung ke makam kekasihnya?" Ia lalu terkekeh sejenak. 

"Ah, kau memang tak pernah berubah," sahut Ronald sambil berusaha menyembunyikan senyum kecut dari bibirnya. "Aku sengaja datang kemari untuk meminta air dari sumur ajaib milikmu," sahut Ronald berterus terang.

"Untuk apa? Bukankah sihirmu sendiri sudah begitu hebat?" tanya Edgar seraya menyipitkan mata menyorot Peter yang berdiri takut-takut di sebelah Ronald.

"Dia muridku," sahut Ronald.

"Ah ... ya, tentu saja. Kau sudah tua dan perlu meneruskan ilmumu," jawab Edgar sambil mengelus janggut putihnya.

Putra Penyihir : Fajar Kegelapan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang