Bab 4

581 171 144
                                    

"Tangkap ini!" teriak Bram. Kala itu, ia sedang berada di atas pohon untuk mengambil sarang lebah hutan. Anna akan membawanya ke ibu kota untuk ditukar dengan pakaian yang ia idam-idamkan. Untuk mencegah sengatan lebah, Bram mengenakan pelindung wajah berupa jala yang dianyam dari sulur-sulur tipis tanaman serta menggunakan asap untuk mengusir serangga itu dari sarangnya.

"Turunlah! Kurasa ini sudah cukup," teriak Anna dari bawah pohon. 

Bram pun turun menggunakan tangga bambu yang dibuatnya selama beberapa hari kemarin.

"Hasilnya lumayan, sisanya bisa kita makan sendiri," ujar Bram sambil melepas pelindung wajah lalu menyeka keringatnya.

"Terima kasih sudah bersedia membantuku," sahut Anna sambil tersenyum. Karena hari sudah sore, keduanya pun kembali ke gubuk untuk mengambil madu dari sarang dan beristirahat.

Keesokan harinya, Anna sudah siap sejak pagi dengan dua kendi madu yang ia bawa di punggung. Selain membantu Anna mengambil sarang lebah, Bram juga membuatkannya sebuah pikulan kayu.

"Baiklah, aku pergi dulu." Anna yang sudah bersiap pergi pun berpamitan.

"Berhati-hatilah dan pulanglah sebelum gelap," sahut Bram.

"Baiklah .... Kau tenang saja, aku bisa menjaga diri," sahut Anna sambil melambaikan tangan dan melangkah memasuki hutan.

Tak sabar ingin mendapatkan pakaian yang ia sukai, Anna berjalan cepat melintasi pepohonan rindang. Angin segar dan sinar mentari hangat menerpa wajahnya yang putih merona. Seulas senyum tersungging di bibir kecilnya membayangkan ketika nanti ia bertemu Peter dalam balutan baju barunya. Ia pasti akan menyukainya, batin Anna sambil bersenandung ringan.

Tak lama kemudian, gadis itu pun tiba di pintu gerbang kota. Tak seperti biasanya, hari itu suasana terasa sepi. Jauh lebih sepi dibandingkan dengan saat terakhir Anna berkunjung ke sana bersama Susan.

"Ke mana semua orang?" tanyanya pada seorang penjaga di pintu gerbang.

"Kau tak tahu? Hari ini adalah hari besar agama Herod. Seluruh penduduk kota telah berkumpul di kuil dan tak ada pekerjaan yang boleh dilakukan."

"Ooh ..." sahut Anna kecewa karena belum bisa mendapatkan pakaian yang ia inginkan. Meski begitu, gadis itu memutuskan untuk tetap masuk ke dalam kota. Selain karena sudah terlanjur tiba di sana, ia juga ingin mengikuti peribadatan. Dulu, ketika ibunya masih hidup, ia sering pergi ke kuil untuk berdoa bersama. 

"Di mana kuil itu?" tanyanya pada salah seorang penjaga.

"Pergilah ke sebelah utara kota. Kau akan menemukannya di sana."

"Baiklah, terima kasih," sahut Anna lalu segera melangkah.

Ketika melewati area pasar, suasana pun terasa agak aneh karena sepinya. Jalanan kota yang biasanya ramai dengan kereta kuda berlalu lalang kini terasa senyap. Semua itu membuat perasaan Anna tidak nyaman. Ia seperti sedang berada di sebuah kota mati.

Dalam perjalanan menuju kuil, memori Anna terbawa ke masa lalu saat mengikuti ibadat bersama ibunya di Arvendale, kota kelahirannya. Letaknya di sebelah utara kerajaan Ethardos. Betapa ia merindukan masa-masa itu, ketika ia bisa menghabiskan waktu untuk bermain bersama sang ibu yang sangat ia sayangi.

Ingatlah untuk selalu menjadi orang yang peduli akan kesulitan orang lain. Kemampuan sihirmu adalah anugerah, jangan menyia-nyiakannya. Pesan terakhir sang ibu itu kembali terngiang di kepala Anna, membuat perasaannya seketika menghangat. Tak mau terhanyut dalam emosi, gadis itu segera mengusap matanya yang mendadak basah.

Beberapa saat kemudian, ketik sudah cukup dekat dengan kuil, Anna mendengar suara seseorang yang sedang berdoa sambil merintih.

"Tuhan, jika kau benar-benar ada, tolong sembuhkan penyakit hambamu ini."

Putra Penyihir : Fajar Kegelapan (END)Where stories live. Discover now