Bab 13

477 128 127
                                    

"Invigor das Pilia!" seru Peter sembari memosisikan kedua telapaknya saling berhadapan, terpisah jarak sekitar dua puluh sentimeter. Sesuai arahan Ronald, anak itu sedang berusaha memusatkan energi sihirnya untuk menciptakan sebuah bola cahaya di antara kedua telapaknya.

Seiring peluh mengalir membasahi wajah, seberkas sinar kekuningan sedikit demi sedikit terbentuk menyerupai bola. Mulanya kecil, semakin lama semakin besar.

"Lemparkan energimu ke batu itu!" Ronald memberikan petunjuk.

Peter pun mengikuti arahan dari sang guru, mendorong bola energi buatannya ke sebuah batu besar.

Seiring gerakannya, bola itu pun meluncur menghantam batu, menimbulkan getaran kecil yang hanya cukup untuk menjatuhkan butir-butir pasir yang menempel pada permukaannya.

Meski bola energi yang dibuat Peter tidak sampai menimbulkan keretakan pada batu, Ronald tersenyum puas. "Perkembanganmu bagus. Kau sudah bisa mengeluarkan dan mengendalikan energi sihirmu tanpa bantuan air ajaib."

Peter pun cukup puas dengan hasilnya berlatih hari itu. Sambil tersenyum simpul, ia menyeka peluh yang mengucur di dahinya. Meski belum tengah hari, udara di gurun sangat kering dan panas. Ronald sengaja mengajaknya berlatih di tengah padang pasir sebelah utara kota untuk mencegah kerusakan dan kehebohan yang mungkin ditimbulkan oleh latihan sihir.

"Baiklah, ayo kita mengambil air dan beristirahat dulu," ajak Ronald.

Peter mengekor di belakang gurunya melangkah ke tepi sungai. Melihat pepohonan hijau di tengah teriknya padang pasir membuat pemuda itu menelan ludah membayangkan kesegaran air yang akan segera mengalir membasahi kerongkongannya.

Karena lokasi mereka berlatih agak jauh dari kota, tepian sungai itu sepi. Meskipun begitu, ada juga dua orang lain yang sedang mengambil air.

Dari kejauhan, Ronald berusaha mengamati. Alisnya bertaut saat ia merasa sosok itu tak asing baginya.

"Kau mengenalnya?" tanya Peter.

Ronald mengangguk pelan. "Ya, mereka tak asing."

Tak lama kemudian, kedua sosok itu berpisah. Sementara yang satu menuju ke selatan, ke Kota Bergstone, satu lagi berjalan ke utara, tempat padang gurun terbentang luas seolah tak berbatas. 

Merasa ada yang tak beres, Ronald pun berkata, "Aku akan mengikutinya. Kau kembalilah ke Bergstone. Sebisa mungkin, amati dia," ujar Ronald. Matanya bergerak mengikuti langkah pria yang berjalan menuju selatan.

"Siapa dia?"

"Namanya Arian, dia adikku yang bungsu."

"Lalu kenapa aku harus mengamati adikmu? Apakah dia berniat jahat?" tanya Peter.

"Aku tak tahu. Yang pasti, orang yang baru saja ia temui terlihat mencurigakan," sahut Ronald sambil menatap pria tua yang berjalan ke utara. "Tak ada orang waras yang pergi ke sana tanpa persiapan matang. Dia bahkan tak menunggangi unta."

"Siapa dia?"

"Namanya Karl, seorang mantan pemuka agama di Kingsfort." Setelah mengatakan itu, Ronald pun bergegas bangkit dari tempatnya beristirahat.

"Oh ya, jangan katakan pada siapa pun kalau aku pergi mengikuti Karl. Katakan saja ada yang harus kulakukan di Desa Orrenster." 

Setelah itu, Ronald pergi meninggalkan Peter yang masih duduk termangu di balik pohon di tepi sungai. Meski rasa penasaran kini menyusupi benaknya, Peter akhirnya memutuskan untuk kembali ke Bergstone sesuai instruksi Ronald.

Sambil sesekali bersembunyi di balik pohon, Peter terus mengamati langkah Arian. Pria itu tampaknya sama sekali tak menyadari kehadiran Peter.

Setelah berjalan kira-kira satu jam lamanya, mereka akhirnya tiba di Bergstone. 

Putra Penyihir : Fajar Kegelapan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang