TIGA PULUH DUA

13.6K 1.4K 88
                                    

"Astaga kaget," kataku saat membuka pintu ruanganku dan begitu terkejut begitu mendapati Leonard tengah duduk santai sembari membaca sebuah buku berukuran tak cukup besar.

Dia menoleh kemudian meletakkan bukunya dia atas meja. "Dari mana?"

"Beli minum di cafe bawah," jawabku setelah menyalakan lampu sentral. Dengan pencahayaan yang tak lagi tamaram aku bisa melihat penampilan Leonard dengan jelas. Sore ini dia mengenakan turtle neck warna hitam. Membuatnya terlihat lebih muda beberapa tahun dari umur aslinya.

"kenapa nggak nyuruh orang aja?"

"Kenapa harus nyusahin orang lain selagi aku bisa sendiri?" aku bertanya balik.

"Tapi kamu lagi hamil besar Dean."

Aku memutar mataku. "Aku cuma hamil, bukan orang dengan penyakit kronis. Itung - itung olah raga lah. Dari tadi aku duduk mulu," kataku sembari mendudukkan tubuhku di kursi kemudian perhatianku tertuju pada paper bag yang ada di atas mejaku. "Kamu yang bawa?"

Dia beranjak dari duduk dan berjalan ke arahku. "Emangnya ada orang selain aku?"

Aku mendecakkan lidah sebelum mengeluarkan sekotak macaron dari salah satu toko kue ternama. Mataku berbinar tanpa bisa di cegah. "Thank you. Pas banget aku lagi pengen macaron. Tadi ke bawah sayangnya lagi kosong," kataku sembari mengambil satu buah macaron setelah sebelumnya memakai hand sanitizer.

"Sama – sama." Dia mendudukan tubuhnya di kursi yang ada di hadapanku. "Kamu lagi banyak kerjaan?" tanyanya kemudian.

Aku menggeleng, kembali fokus pada laptopku. Membalas beberapa email yang belum sempat ku jawab. "Tadi habis diskusi sama salah satu manager ku. Ini belum sempet di beresin aja."

Dia mengangguk. Pandangannya mengedar ke sepenjuru ruangan.

"Jadi apa yang mau di omongin?" tanyaku merujuk pada pesannya yang dia kirimkan sekitar dua jam yang lalu. Menanyakan keberadaanku.

Dia kembali menoleh. Perhatiannya kini kembali tertuju padaku. "Sabtu ini kamu kosong? Orang tuaku pengen ketemu."

Aku menghela napas panjang. Mendadak macaron yang sedang ku makan tak lagi nampak lezat di mataku. "Kamu cerita?"

Dia mengangguk. Punggungnya menyandar di punggung kursi. Gesture nya terlihat begitu santai. "Mereka berhak tau bahwa ada keturunan Haryanto selain Stefany."

"Kamu bikin aku sakit kepala."

"Aku pernah mengecewakan mereka Deandra. Dan aku nggak mau mengecewakan mereka lagi. Aku harap kamu mau ngerti," kata Leonard, membuatku sekali lagi menghela napas panjang.

"Sabtu ini aku nggak bisa. Mau nemenin Arkan ke nikahan temennya."

"Minggu gimana?"

Aku kembali menggeleng. "Nggak bisa juga. Ibu nya Arkan pengen ketemu."

Dia mengangguk mengerti. "Oke kabarin aku aja kamu bisanya kapan, orang tuaku fleksibel. Tapi kalau bisa jangan mendadak karena mereka nggak stay di Jakarta."

Aku diam sejenak kemudian bertanya, "Mereka nggak akan mendesak kita buat menikah kan?"

"Tadinya iya tapi aku udah mencoba memberi mereka penjelasan soal keinginan kamu dan dengan bujukan dari Stefany akhirnya mereka setuju."

"Kamu yakin?"

Dia mengangguk. "Trust me."

Aku mendesah lega.

"Kamu segitu nggak maunya menikah, Dean?"

Aku meletakan sisa macaron yang ada di tanganku, mengambil selembar tissue untuk membersihkan tanganku dari remah – remah sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Leonard. Dengan nada yakin aku menjawab, "Keputusanku untuk tidak menikah sekarang bukan berarti aku tidak akan menikah seumur hidupku, Leo. Aku akan menikah tapi nanti, ketika aku sudah benar – benar merasa siap."

Suasana di antara kami mendadak menjadi hening, Leonard tampak sibuk dengan pikirannya sendiri sedangkan aku sama sekali tidak tertarik untuk membangun sebuah percakapan. Biarkan saja. Begini lebih baik, pikirku. Kami bisa berbicara dengan tenang tanpa ada adu urat untuk mempertahankan pendapat masing – masing.

Sejujurnya aku masih tidak sepenuhnya percaya dengan apa yang Leonard katakan padaku satu minggu yang lalu. Kala itu dia datang berkunjung bersama Stefany, membawaakan beberapa paper bag berisi berbagai macam baju bayi yang sangat lucu – lucu sebagai oleh – oleh dari kunjungan mereka ke Korea. Bersama dengan Stefany, dia berkata padaku bahwa dia akan menghargai semua keputusanku. Dia tidak akan memaksakan kehendaknya lagi.

Tentu saja aku tidak langsung percaya, maksudku bagaimana mungkin orang bisa berubah dalam kurun waktu yang sangat singkat. Itu sangat mustahil. Tapi melihat bagaimana sikapnya hari ini membuatku mau tak mau untuk belajar mempercayai Leonard, mempercayai usahanya untuk berubah.

***

"You oke, Dean?"

Aku menoleh, menatap Leonard dengan kening berkerut. "I'm oke. Emangnya kenapa?" tanyaku saat lift yang kami tunggu akhirnya datang. Lima detik kemudian pintu besi itu terbuka. Ada Agus, anak buah Thomas menyapa kami dengan sopan.

Leonard menggeleng, tangannya menahan pintu lift ketika aku melangkah masuk. "Wajah kamu kelihatan pucet, kayak orang banyak pikiran."

Aku terkekeh. "Mungkin karena aku nggak make lipstick." Aku menjawab diplomatis.

"Kapan jadwal control? Jadi Selasa depan?"

"Masih belum tau, dokter Andreas belum ngabarin. Nanti aku kasih tau kalau udah dapet tanggal pastinya."

Dia mengangguk mengerti. Sekali lagi Leonard menahan lift agar tetap terbuka ketika aku melangkah kan kakiku keluar. Tak jauh dari tempatku berdiri aku bisa melihat Gea dan Natasha yang tengah mengobrol di lobby. Seperti biasa keduanya datang dengan penampilan yang mengundang perhatian dari orang sekitar.

"Kalau nggak salah itu temen kamu kan?"

Aku mengangguk, mengiyakan. "Aku nggak bohong kan waktu bilang mau nonton sama temenku?"

Dia tertawa, tawa lepas yang baru sekali ini ku lihat membuat atensi kedua sahabatku teralihkan pada kami. "Sorry udah mikir yang nggak - nggak."

Aku mengangkat bahuku, acuh tak acuh.

"Mau aku kenalin ke mereka?"

"Kalau kamu nggak keberatan."

Aku menarik napas panjang kemudian menghampiri kedua kedua sahabatku yang saat ini tengah menatap Leonard dengan sorot mata berbinar. "Girls, kenalin ini Leo. Leo, ini Gea dan ini Natasha sahabatku," kataku.

"Hallo, aku Natasha."

"Leonard." Leonard tersenyum tipis sembari membalas uluran tangan Natasha. Begitupun yang terjadi saat Gea mengenalkan dirinya.

"By the way, kita bertiga mau makan dan habis itu nonton. Barang kali mas Leo mau gabung sama kita," kata Gea yang langsung di angguki oleh Natasha.

Leonard menggeleng sembari tersenyum kecil. "Thanks atas tawarannya. Tapi saya pikir kalian sedang ingin girl's time. Lain kali saja."

"Oke kita tunggu lain kalinya ya." Kali ini Natasha yang menjawab. Dan Leonard mengangguk mengiyakan.

Aku melirik jam yang melingkar di tangan kiriku. "Ayo ah berangkat, nanti keburu makin susah nyari parkirnya."

Gea mengangguk setuju. "Kuy."

"Kita berangkat dulu ya, salam buat Stefany," pamitku pada Leonard.

Dia mengangguk kemudian menyampirkan jaketnya di bahuku.

"Di luar hujan, biar nggak kedinginan. Baju kamu terlalu tipis," jawab Leonard saat aku menatapnya dengan sorot bertanya.

"Thanks."

****

siapa yang kemarin nyari Leo?

By the way, thank you semua yang udah mampir dan baca cerita ini. sumpah nggak nyangka banget kalau cerita ini akhirnya bisa tembus 20 besar di chart Checklit hue hue hue (sound of crying). aku sangat terbuka atas kritik dan saran jadi jangan ragu buat menuangkan pikiran kalian tentang cerita ini yaaa

see you in another update

pai pai 💙

CURE | MOVE ON SERIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang