LIMA PULUH SEMBILAN

8.1K 871 17
                                    

*** 

Nggak ada yang salah dari pernyataan bunda. Aku sepenuhnya mengerti, bahwa di usianya yang sudah memasuki senja, yang beliau inginkan hanyalah hidup tenang bersama anak dan cucunya. Wajar jika beliau ingin menghabiskan masa tuanya dengan damai tanpa harus di hantui perasaan abstrak yang berasal dari masa lalu. Dan aku rasa bunda memang pantas mendapatkan itu setelah semua hal buruk yang bunda lalui selama ini.

Belajar self healing membuatku berada di satu pemahaman, bahwa salah satu cara untuk mencapai kedamaian hati ialah iklas berdamai dengan masa lalu, aku tau tidak ada yang salah dengan keputusan bunda untuk memaafkan ayah dan berdamai dengan masa lalu yang mereka miliki. Karena itu juga yang di katakan oleh dokter Ratri padaku tempo hari. Aku harus berdamai dengan masa laluku.

Tapi masalahnya di sini adalah egoku yang masih ingin di manja. Egoku masih memeluk erat logikaku agar tidak menyerah begitu saja atas perasaan melankolis yang terkadang mendadak hadir. Katakan lah aku keras kepala, tapi perkara memaafkan dan melupaksan prakteknya tidak semudah itu. Apalagi yang ku alami bukanlah perkara sehari maupun dua hari, tapi bayang – bayang mengerikan itu sudah melekat selama bertahun – tahun di kepalaku dan tidak mudah untuk mengenyahkannya begitu saja.

Aku tidak sedang membuat pembelaan ataupun pembenaran atas keputusanku saat ini. Tentu saja aku ingin sembuh, aku ingin hidup tenang seperti yang bunda rasakan. Aku ingin hidup bahagia bersama Arkan tanpa ada beban berat di kedua pundakku. Tapi setiap orang perlu berproses kan? Biarkanlah aku menikmati setiap proses yang akan ku lalui, karena aku ingin memaafkan ayah karena memang aku ingin bukan karena sebuah keharusan.

"Kamu marah sama bunda nduk?" suara lirih bunda menyadarkanku dari lamunan. Aku bahkan tidak sadar jika aku sudah terlalu lama tenggelam bersama pikiranku sendiri.

Menghela napas panjang, aku mengalihkan pandanganku pada bunda sebelum akhirnya menggelengkan kepalaku, pelan. "Aku nggak ada alasan untuk marah. Karena sepenuhnya Itu hak bunda dan kak Desita mau memaafkan ayah atau enggak."

Aku yakin jika hal ini ku hadapi satu tahun yang lalu atau minimal tiga bulan yang lalu reaksiku tidak akan setenang ini. Aku pasti akan merasa menjadi orang paling di khianati sedunia. Tapi sekali lagi, aku merasa begitu beruntung karena melalui Arkan, aku bisa menjadi diriku yang sekarang. Better person of me.

"Tapi maaf, untuk sekarang aku belum bisa memaafkan ayah. Nggak semudah itu buat aku untuk melupakan semua perbuatan ayah, seperti yang kalian lakukan." Aku tersenyum kecut sebelum melanjutkan kalimatku, "Rasanya peristiwa tidak mengenakkan itu masih begitu segar di otakku. Seolah baru terjadi kemarin."

Setetes air mata jatuh di ke dua pipi bunda. Kepalanya lantas menunduk, menatap lantai dengan bahu bergetar. Nampak sekali jika beliau tengah menahan tangisannya. Sementara aku hanya bisa duduk diam di tempatku, menatap kak Desita yang tengan memeluk bunda dengan kepala penuh dengan pertanyaan. Apakah keputusanku untuk berkata jujur pada keluargaku sebuah kesalahan?

"Bunda nggak akan memaksa kamu nduk. Take your time. Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan untuk menyembuhkan luka batinmu," kata bunda, suaranya terdengar serak. "Ya Tuhan, bunda sama sekali tidak menyangka jika keputusan yang dulu bunda pikir yang terbaik buat kalian justru memberikan trauma yang begitu dalam untuk kamu nduk. Maaf bunda belum bisa menjadi orang tua yang baik buat kamu dan Desita."

"Maafkan kakak dek, maaf karena keegoisan kakak kamu harus menanggung semuanya sendiri. Seharusnya kakak di sana sama kamu, nemenin kamu bukannya malah sibuk sama dunia kakak sendiri. Maafkan kakak."

Aku mendesah frustasi. Bukan reaksi seperti ini yang aku inginkan. "Keputusanku untuk jujur bukan untuk membuat kalian merasa bersalah sama aku." Aku menarik napas panjang dan membuangnya dengan kasar. "Jadi please stop blaming yourself. Karena aku juga nggak mau hidup dengan masa lalu yang aku punya."

CURE | MOVE ON SERIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang