DUA PULUH TIGA

16.5K 1.7K 55
                                    

"Kamu sudah yakin sama keputusanmu Nduk?" tanya bunda setelah aku menceritakan tentang rencana masa depanku. Wajah tuanya menatapku dengan teduh sementara tangan yang sudah menunjukkan tanda – tanda keriput itu mengusap kepalaku dengan lembut.

Aku mengangguk, mengiyakan.

"Udah kamu pikirin matang – matang?" Sekali lagi beliau bertanya.

Aku menghela napas panjang kemudian meraih jemarinya, mengenggamnya dengan erat dengan kedua tanganku. "Sudah bun, aku sudah pikirin ini sejak awal."

"Besarin anak sendirian itu nggak mudah loh Nduk. Apalagi kita tinggal di tengah masyarakat yang adat ketimurannya masih kental. Kamu siap dengan segala resikonya?"

Sekali lagi aku mengangguk, yakin.

Bunda menghela napas panjang. "Mendidik anak itu nggak mudah. Kamu sudah siap lahir batin?"

"Aku memang bukan orang yang sempurna, tapi setidaknya aku orang yang mau terus belajar. Aku nggak akan memutuskan punya anak kalau aku tidak benar – benar siap bun."

Bunda mengangguk paham, tangan yang berada di genggamanku kini beralih mengenggam tanganku, meremasnya lembut. " Ketika anak kamu sudah lahir nanti, kamu harus kuat Deandra. Kamu harus sabar. Sabar yang benar – benar sabar. Kamu akan jadi satu – satunya penompang anak kamu nanti. Memerankan peran ganda, sebagai ayah dan ibu sekaligus. Kamu siap?"

"Bun, pilihan aku untuk tidak menikah bukan berarti aku menutup hak anak aku untuk menerima perhatian dan kasih sayang dari ayah kandungnya. Anak aku akan tetap mendapatkan apa yang anak lain dapatkan, hanya saja dengan cara yang berbeda." Aku menarik napas panjang. "Aku tau ini nggak akan mudah, tapi aku yang memberikan yang terbaik buat dia nanti."

"Kalau itu memang sudah jadi keputusan kamu, bunda akan mendukung sepenuhnya."

"Bunda keberatan sama keputusan aku?" tanyaku saat melihat sendu yang terpancar dari sorot matanya. Membuatku mendadak merasa tidak nyaman. Sekelebat pertanyaan tiba – tiba terlintas di kepalaku. Sudah tepatkah pilihan yang ku ambil? Terlalu egoiskan keinginanku? Dan ucapan Leonard satu minggu yang lalu kembali terlintas di kepalaku.

'Kamu boleh egois untuk kebahagiaanmu sendiri, tapi bukan berarti keegoisanmu bisa mengorbankan orang lain. Pikirkan bunda kamu, apa kamu mau membuat bunda kamu merasa gagal sebagai orang tua? Gagal memberi contoh ke anaknya?'

"Kamu sudah dewasa, kamu sudah bisa berpikir dengan logika sehat. Kalau itu memang keputusanmu dan kamu bertanggung jawab atas keputusanmu, lakukan. Jangan ragu," kata bunda dengan senyum teduhnya.

Mataku terasa perih dan aku langsung menghambur, memeluk perempuan yang sudah melahirkanku. Aku tidak ingin beliau melihat air mataku. "Bunda terima kasih, maaf kalau aku bikin bunda kecewa." Air mataku menetes tepat setelah bunda membalas pelukanku, tangannya terangkat untuk mengusap punggungku.

"Ingat ini hidup kamu, kamu yang akan menjalaninya. Lakuin apa yang menurut kamu paling baik buat hidup kamu," pesan bunda dan aku mengangguk sebagai jawaban, tak lupa juga ku bisikkan kalimat terima kasih.

***

Keesokan harinya aku di kejutkan dengan kedatangan Leonard yang sangat tiba – tiba. Pria itu datang bersama perempuan muda yang dia kenalkan sebagai putri kandungnya. Stefany Haryanto namanya, mungkin usainya sekitar di akhir belasan. Sosoknya sangat cantik dengan mata bulat seperti boneka. Bola matanya pun berwarna abu – abu terang. Sedangkan postur tubuhnya tinggi semampai dengan rambut sebahu berwarna coklat gelap.

"Nggak! Daddy udah janji sama aku kalau daddy bakal nemenin aku nonton konser NCT di Korea. Janji itu hutang dad, dan hutang harus di bayar." Aku sedang menuruni tangga dengan langkah pelan ketika sayup – sayup suara Stefany terdengar memasuki gendang telinga.

CURE | MOVE ON SERIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang