EMPAT

32.3K 2.6K 61
                                    

PS: Pertama tama aku mau bilang mohon maaf lahir dan batin semuanya.... bagi yang masih nunggu cerita ini, mohon maaf kalo super ngarettttt huhuhu

Oke disini aku mau cerita sedikit, mungkin bakal ada yang bingung kenapa disini tokoh cowoknya ada begitu banyak. IYA, memang disini aku make tiga tokoh cowok ( nggak nanggung nangung mamen >.<) satu dari masa lalu, satu dari masa kini dan satu lagi you know what... hehehe...

aku emang sengaja mau bikin Deandra bingung tujuh keliling mau buat nentuin siapa belahan jiwaknya.

dan sampai bab 4 ini, ku pikir aku cukup untuk kasih spoiler tentang ke tiga tokoh cowoknya yahh??  nah masuk bab 5 bakal di mulai lah cerita sesungguhnya.. jadi please stay tune here.

pai pai ^^

see you tomorrow >.<

***

Tiga tahun ini ku pikir aku sudah berhasil keluar dari bayang – bayang masa lalu ku bersama Revian. Menjalani hidupku dengan tenang tanpa lagi di hantui mimpi buruk yang sebelumnya selalu merongrong tidurku. Tiga tahun ini ku pikir aku sudah cukup ikhlas menerima apa yang sudah Tuhan takdirkan padaku. Ke ikhlasan yang membuatku merasa telah lahir kembali menjadi sosok Deandra Prasasti yang baru. Yang lebih realistis, lebih bahagia, dan lebih mencintai diriku sendiri. Tapi kini aku mulai meragukan diriku sendiri.

Mendapati Revian berdiri di hadapanku dalam sosok lelaki dewasa dan nampak begitu bahagia bersama keluarga kecilnya membuat sesuatu dalam diriku bergejolak hebat. Rasa rindu, marah, kecewa hingga muak datang silih berganti seperti rol film yang bergerak dengan begitu cepat. Membuatku lelah luar biasa. Mendadak ingatan membawa ku kembali pada kenangan tujuh tahun yang pernah kami miliki bersama. Tentang awal mula perkenalan kami hingga akhirnya memutuskan untuk menjalin asmara. Tentang euforia yang kami rasakan bersama ketika akhirnya aku di terima di universitas dengan jenjang pendidikan yang sama dengan pria itu hingga akhirnya aku berhasil bergabung ke perusahaan paling bergengsi di Indonesia, Palupi Contruction. Menyusul Revian yang lebih dulu di terima disana. Semuanya berjalan lancar, terlalu lancar bahkan hampir tidak ada pertengkaran diantara kami.

Tapi siapa yang menyangka jika lautan nan tenang itupun bisa menciptakan badai besar yang mampu menghancurkan benteng kokoh yang sudah ku bangun selama ini. Ya badai besar itu akhirnya datang, tepat dua bulan menjelang pernikahan kami. Perpisahan yang tidak hanya mengecewakan ku melainkan untuk ibuku. Masih segar betul dalam ingatanku bagaimana tagisan ibuku saat Revian datang dan mengatakan jika dia tidak bisa menikahi ku karena dia harus bertanggung jawab atas benih yang sudah dia tanam di rahim perempuan lain. Satu kenyataan pahit yang tidak pernah ku bayangkan sebelumnya. Mimpi buruk yang bahkan tidak pernah hadir dalam tidurku.

Saat itu rasanya dunia benar – benar runtuh tepat di atas kepalaku. Bagaimana mungkin, lelaki yang selama ini ku percayai sebagai lelaki paling sopan, paling menghargai perempuan sanggup melakukan pengkhianatan yang sangat menjijikan seperti itu.

Kemudian ingatan ku beralih pada satu tahun pertama setelah perpisahan kami, bagaimana aku harus berjuang keras untuk tetap waras, bagaimana aku harus berjuang untuk terlihat baik – baik saja di depan ibuku, di depan semua orang tanpa harus menerima perasaan dikasihani. Bagaimana setiap malam yang ku lalui hanyalah menangis hingga jatuh tertidur karena kelelahan. Hingga akhirnya takdir mempertemukanku kembali dengan Arkan, sosok yang berhasil membawaku keluar dari kegelapan. Sosok yang membantu ku dalam menata hidupku kembali. Melahirkan sosok Deandra yang baru.

Dan sekarang, aku merasa Tuhan sungguh tidak adil padaku. Bagaiamana mungkin dia yang meninggalkanku tampak baik – baik saja, tampak bahagia dengan keluarga kecilnya sementara aku yang dia tinggalkan harus bersusah payah memunggut kepingan hati yang sudah tercecer karena ulahnya? Bagaimana mungkin garis takdir begitu kejam mempermainkanku?

Rasanya aku ingin marah, meluapkan semua emosiku yang sejak dulu telah tersimpan rapi di sudut hatiku. Tapi siapa aku yang berani marah pada Tuhan?

"Kamu nggak mau masuk?" suaranya membuyarkan lamunanku, menyadarkanku bahwa lift yang ku tunggu sudah datang dan dia ada di sana, berdiri di sisi ujung, sendirian. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum melangkahkan kakiku memasuki lift.

Hening.... dan canggung.

Tidak ada sedikitpun suara yang terdengar dalam ruangan sempit ini selain hembusan nafas yang terdengar seperti di tahan menandakan bahwa ruangan ini berpenghuni, bukan hanya ruang kosong yang bergerak turun.

Rasanya aku ingin mengumpat, kenapa mall sebesar ini dan seramai ini hanya kami berdua yang mengunakan lift. Dimana manusia – manusia yang lain? Konspirasi macam apa ini Tuhan?

"Ponselmu Ra."

"Bajingan sialan," umpatku tanpa sadar saat tanpa sengaja aku menjatuhkan ponselku karena terkejut oleh suara Revian yang begitu dekat telingaku. Jangan tanyakan bagaimana keadaan jantungku, seperti lari maraton saking terkejutnya.

"Bisa nggak, nggak bikin orang kaget?" semprotku setelah menerima ponsel yang diangsurkan oleh pria itu. Aku mengusap dada, benar – benar kaget luar biasa.

"Sejak kapan kamu jadi kasar begini, Ra?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat. Nada tak suka terdengar jelas dari suaranya.

Aku mendengus. "None of your business!" jawabku sebelum menjawab panggilan teleponku. Dari nomor tidak di kenal!

"Hallo," sapaku setelah mengatur suaraku agar terdengar normal.

"Aku udah kirim supir buat antar kamu pulang. Dia udah hubungin kamu?"

Oh Leonard.

"Bukannya aku udah bilang kalau Arkan bakal jemput aku?"

"Ya, dan aku udah telepon Arkan kalau supir aku yang akan jemput kamu jadi dia nggak perlu repot – repot jemput kamu."

Apalagi ini ya Tuhan. Rasanya kepalaku ingin pecah.

Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya sebelum berbicara, "Kenapa kamu nggak bilang dulu sama aku kalau kamu mau kirim supir dan nelpon Arkan?"

"Aku hanya mencoba untuk bertanggung jawab atas kamu, dan karena aku nggak bisa antar kamu pulang aku suruh antar supir aku. Then what wrong Deandra?"

"Oke thanks, i will call you later," tutupku setelah ada panggilan masuk dari Arkan.

Menarik napas panjang, aku segera mengeser tombol hijau di layar.

"Ya Ar."

"Parkiran F9."

"What the fuck!"

Aku melongo. Aku yakin saat ini ekspresiku terlihat seperti orang paling bodoh sedunia. Antara bingung dan tidak percaya.

Seriously barusan yang menutup panggilan telponnya tanpa basa basi itu Arkan? Arkan Brawijaya? Arkan kembarannya Ardana Brawijaya? Is he kidding me? Ya Tuhan rasanya aku ingin menjedotkan kepalaku ke tembok.

"Jangan terlalu dekat dengan Leonard. He is not good enough for you Ra."

Aku menoleh, memincingkan mata ke arah pria itu. "Untuk ukuran mantan, kamu terlalu ikut campur dalam urusanku."

"Aku hanya memberi masukan karena aku tau track recordnya. Aku hanya...."

Aku segera menyela, tak membiarkannya menyelesaikan omong kosongnya yang tidak penting. "Dan aku nggak butuh masukan kamu Ian, aku sudah cukup dewasa untuk menentakan mana yang baik dan mana yang buruk buat aku!"

Revian mengangguk mengerti, sorot matanya nampak terluka. Namun siapa yang peduli? Dia terluka ataupun tidak itu sama sekali bukan urusanku.

"Aku hanya nggak mau kamu kembali terluka. Cukup aku yang membuat kamu terluka di masa lalu."

"Dan kamu pikir aku masih sama bodohnya dengan diriku 7 tahun yang lalu Ian? Deandra yang nggak menyadari jika ternyata pacarnya tidur dengan wanita lain? Konyol kalau kamu masih punya pikiran seperti itu! Deandra yang sekarang nggak akan membiarkan siapapun menyakiti dirinya."

***

CURE | MOVE ON SERIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang