Gadis itu memandang Arsa dengan senyum kemenangan. "Tuh lihat, 'kan, kelakuan cewek yang kamu sukai itu? Nggak jauh beda sih sama mantan kamu si Syakira. Adik kelas yang nggak tahu diri, yang bisa-bisanya suka sama kakak kamu saat kamu masih pacaran sama dia," katanya, "aku sih nggak sudi, ya, suka sama cewek kek Kara yang awalnya sok jual mahal eh ditawar sedikit ternyata aslinya murahan, iyuh banget!" serunya antusias dikala Arsa belum juga merespon perkataannya maupun tindakan Arsa lebih terkesan bingung tanpa emosi.

Arsa menoleh, beraninya gadis itu menyamakan Kara dengan Syakira yang sikapnya sudah terlihat kontras dan bertolak belakang serta mencoba menghina Syakira yang bagaimanapun sikapnya pada Arsa waktu itu, tetap, gadis itu Arsa anggap sebagai 'seseorang yang pernah menumbuhkan kebucinan yang besar sampai-sampai tak sadar cintanya diduakan' itu membuat Arsa geram mendengarnya.

Arsa menggebrak meja, berdiri dan menatap gadis itu dengan datar. Aura yang mencekam menguatkan sinyal bahwa Arsa sangat anti ketika seseorang berbicara yang tidak-tidak tentang orang yang dipedulikan oleh Arsa. Satu kelas merasa terkejut dan merinding seketika.

"Lo nggak pantes ngomong kek gitu." Arsa menatap Dara dingin.

Arsa mencengkram kerah baju Dara, tampak bola mata gadis itu yang terlihat gelisah setelah bertatapan langsung dengannya, membuat Arsa berdecih pelan.

"Jangan lo kira gue takut lawan lo karena lo cewek, Dar. Gue bisa aja layang-in satu kepalan tangan untuk lo, tapi, gue masih punya kepekaan dan hati, karena gue masih bisa mengerti sama keadaan yang dihadapi temen gue sekarang." Arsa menghempaskan tangannya dari kerah gadis itu.

Arsa memandang Dara merendahkan. "Lagian anak umur lima tahun aja tau, siapa yang sebenarnya pantas buat gue perjuangkan," lanjutnya sedikit menyindir, membuat Dara terkesiap, merasa kesal dan takut.

"Jadi, jangan jatuhkan harga diri orang lain demi mendapatkan simpati banyak orang ke lo. Ubah sikap lo, jaga ucapan lo, gue jamin, lo bakal dapat simpati dan seseorang yang terbaik," ucap Arsa memperingati.

Arsa berjalan. Namun, sebelum dirinya lenyap dari pintu, dia pun berbalik.

"Lo cantik, Dar. Tapi, mulut lo masih perlu diajari etika sebelum berbicara," ujar Arsa memperingati, berlalu meninggalkan kelas yang mulai menyoraki kebodohan gadis itu. Benar, ia salah memilih Arsa sebagai korban provokasinya.

••

Kara frustrasi sekarang, dia berjalan menuju atap. Namun, tangannya terhalang membuat tubuhnya terhuyung ke belakang. Terlihat seorang guru bernama Dinda yang masih berumur dua puluhan, menariknya ke ruang BK.

Guru itu membawa Kara ke ruangannya. Namun, sejak lima menit berlalu, diam menyapa mereka berdua. Kara, yang memasang wajah kaku tanpa ekspresi, melihat ke arah guru dengan ekspresi yang menunjukkan rasa sakit yang dia rasakan.

Kara sangat paham kenapa dirinya dibawa masuk ke dalam ruangan ber-AC milik guru BK ini. Sekolah memiliki koneksi yang menyebar dengan sangat cepat hingga guru BK menemukan masalahnya. Kara mencoba untuk menenangkan diri dan menyingkirkan perasaan yang sedang menjajah hatinya.

Guru itu menghela nafas, jelas bahwa desahan itu menyiratkan rasa kegusaran yang mendalam. "Kara ...." Belum selesai terucapkan, Kara memotongnya cepat.

Kemudian Kara memandang Dinda dengan mata yang berkaca-kaca. "Bu, percaya sama Kara. Kara nggak mungkin buat mesum apalagi masih di area sekolah. Itu semua salah paham, Bu."

"Kamu jujur saya akan mempertimbangkan-"

"Saya nggak mungkin berbuat mesum di sekolah. Orang tua saya nggak pernah ngajarin saya berbuat yang aneh-aneh, Bu!" Kara tidak bisa berkata-kata. Dia sudah emosional dengan semua yang dia hadapi.

KARA |Serendipity|Where stories live. Discover now